Beberapa bulan setelah menikah, aku pernah bertanya pada suamiku, tentang seorang gadis yang urung dinikahinya,. Sampai detik itu, dia belum menikah juga.
“Gimana kalau dia sekarang Mamas nikahi aja?” tanyaku, memberanikan diri dan sangat berempati dengan gadis tersebut.
Usul yang ditanggapinya dengan mendelik, “Tidak mungkinlah. Berat. Ngawur nih Ajeng usulnya”
Masalah ta’adud memang masalah sensitif, khususon buat perempuan. Tapi aku mencoba lebih banyak menggunakan landasan syari’at saat bicara masalah ini. Aku tak pernah meminta dia untuk berjanji bahwa dia tak akan menduakanku selamanya demi cinta. Dia juga tidak mau berjanji, karena dia tahu, itu sudah masuk wilayah taqdir Allah.
Betul, memang untuk kondisi saat ini, yang paling realistis adalah tidak melakukan ta’adud, tapi who knows for the next time?
Bahkan, diskusi tentang ta’adud ini sengaja sudah kubuka sejak malam zafaf, dan dia hingga sekarang selalu teringat statemenku waktu itu,”Kalau ditanya perasaan, mungkin tak ada perempuan yang rela hatinya dimadu oleh suaminya. Tapi karena ini syariat, dan saya seorang muslimah yang tidak ingin mengingkari syariat, maka perasaan harus diletakkan di bawah syariat”.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya 4 Pebruari 2007, diskusi tentang ta’adud kembali mencuat antara aku dan suami.
Aku mengirimi sebuah email padanya yang bunyinya begini:
Mas, kisah di bawah ini isinya bagus, pembelajaran buat kita. Bukan untuk mengharamkan poligami, tetapi untuk mencari cara yang paling ma’ruf (jika suatu saat, dengan alasan yang bukan karena nafsu, harus terjadi…).
Jadi, kalau ditanya tentang perasaan, mungkin selamanya Ajeng akan bilang tidak siap. Tapi seperti yang Ajeng katakan dulu sejak awal nikah, ini ada di Al-Qur’an dan tak boleh diingkari. Meski demikian, Ajeng sendiri tetap berdoa semoga selama hidup Ajeng ditaqdirkan tidak mengalami sendiri poligami ini. Tapi kalau suatu waktu nanti harus terjadi, ya itu artinya takdir juga…
Satu hal, jika suatu saat itu harus terjadi, entah karena perang atau apa sehingga banyak janda yang perlu dibantu, belajar dari kasus di bawah, Ajeng lebih suka dikasih hal-hal yang pahit dulu dari pada diumpetin tapi akhirnya pahit juga di belakang. Akan lebih sakit rasanya jadi istri yang seolah tidak tahu apa-apa tentang suaminya, akan merasa sangat dibohongi oleh pendamping hidupnya selama ini (meski tujuan si suami justru supaya si istri tidak sakit hati). Jadi, jangan main petak umpet lah, kita komunikasikan saja baik-baik. Ajeng yakin, meski mungkin kayak disambar gledek dan banjir air mata, tetap lebih baik untuk didiskusikan sejak awal, bukan untuk bercandaan tetapi meyakini hal ini sebagai bagian dari syariat Islam (yang mainstreaming masyarakat masih belum bisa menerima). Mudah-mudahan ajeng termasuk istri sholihat yang diridhoi oleh suaminya, sehingga dapat masuk surga melalui pintu mana saja yang ajeng inginkan.
Ajeng ingat ucapan Ustadzah Umi Rif’ah, hafidzoh (mudir LTQnya Hurin), kurang lebih begini: “Ya kalau suami nikah lagi jangan terus melempem dakwahnya, merasa tidak dicintai suami lagi. Cinta manusia itu kan terbatas. Yang penting Allah masih mencintai kita, dan ridha dengan kita. Tidak usah poligami jadi bahan guyonan juga, karena yang suka guyonan itu juga belum tentu siap untuk menjalankan. Saya sendiri ikut prihatin jika ada seorang istri mengalami poligami, dan berdoa mudah-mudahan saya tidak mengalami takdir yang seperti itu”
Ok, mas, semakin direnungkan, syariah itu makin indah ternyata ya. Kitanya aja yang kadang terlalu dangkal memahaminya.
Waktu itu aku menambahkan tautan yang kudapat dari situs eramuslim, tentang konsultasi seorang ibu rumah tanga, karena suaminya poligami dan ternyata tidak adil dalam penerapannya. Ketidakmampuan suami yang kemudian membawa dampak ikutan kepada berbagai pihak, baik pada istri pertama maupun istri kedua.
Dan ini email jawaban darinya, yang membuatku tersenyum simpul.
Sejatinya mamas tidak pernah mikirin serius masalah poligami. Prihatin aja mendengar tanggapan orang-orang yang anti poligami. Bukan berarti terus sudah ancang-ancang mau poligami lho. Belum.. belum satu langkahpun diambil.
Paling-paling menganalisa, kalau saya poligami kira-kira bagaimana saya, bagaimana Ajeng, bagaimana anak-anak, bagaimana di kantor dll. Secara pribadi merasa ‘belum siap’, ‘belum mampu’ atau kalau mau sedikit oportunis ya ‘belum menguntungkan’.
Mamas tidak tega dan insyaAllah tidak bakal menyia-nyiakan apa yang menjadi tanggung jawab mamas. Mamas ingin semua bahagia. Ya Allah berikan inayahMu.
Bukankah mamas selama ini selalu berterus terang kepada Ajeng? Apa ada yang mamas sembunyikan? Berbohong/menyembunyikan hal-hal ‘seperti itu’ rasanya buang-buang energi aja. Lagipula mamas tidak bakat insya Allah.
Tidak usah khawatir sayang, mamas akan selalu bermusyawarah untuk hal-hal yang penting. Do’akan istiqomah.
I love you, my darling
—–&&&—-
Pernah juga, dalam diskusi ringan menjelang tidur, kami bahas soal ini lagi.
“Kenapa kok berat untuk ta’addud, Mas?” selidikku kepedean.
Suamiku terdiam sejenak, lalu dengan tenang menjawab, “Gimana ya? Kadang juga ingin membuktikan bahwa bagaimanapun syari’ah itu benar, tak mungkin salah. Tapi takutnya nanti Mamas-nya yang nggak mampu, malah rusak dakwah yang selama ini kita perjuangkan. Misalnya, lihat anak-anak kita, na’udzubillah, ada yang bandel atau sakit melulu. Entar tetangga-tetangga pada ngomongin, ‘Tuh kan. Karena bapaknya nikah lagi, anaknya jadi kleleran. Kasihan yaa’
Wah, kalau sudah begitu, bagaimana mau mengikat hati dalam dakwah sya’biyah?”
Alangkah bijaknya dia! Aku tersenyum, mungkin senyum termanis seumur-umur. Lalu aku memeluknya, erat, dan lelap bersamanya dalam mimpi.
Hari yang lain, beberapa tahun kemudian. Saat ada salah seorang ummahat yang suaminya meninggal, dengan menekan rasaku sendiri, kutawarkan lagi pada suami untuk menikahinya. Mungkin ini ladang amal baginya untuk membantu.
Aku berani menawarkan begitu, karena aku yakin, usul ini juga pasti akan didukung teman-teman ‘lingkaran’ terdekatku dan ‘lingkaran’ terdekat suamiku, yang juga mengenal atau setidaknya tahu tentang musibah yang menimpa ummahat tersebut.
Suamiku masih menggeleng lagi, sambil mengelus dadanya sendiri.
“Ayo kita bantu dengan cara yang lain, bukan dengan itu”, jawabnya lama kemudian, sambil menggenggam erat tanganku.