Mazhab fiqih bukanlah sekte atau pecahan kelompok dalam agama. Mazhab fiqih adalah metologi yang sangat diperlukan dalam memahami nash-nash agama.
Mengatakan kembali kepada Quran dan Sunnah memang mudah, tetapi dalam kenyataannya, ada banyak masalah yang muncul dan tidak terpikirkan sebelumnya. Dan ujung-ujungnya, tiap orang akan berimprovisasi sendiri-sendiri dalam berpegang kepada Quran dan Sunnah, bahkan variannya akan menjadi sangat banyak tidak terhingga.
Munculnya aliran sesat semacam Islam Jamaah, Ahmadiyah, serta kelompok nyeleneh lainnya adalah akibat dari tidak adanya sistem istimbath hukum yang baku dalam menarik kesimpulan hukum yang benar dari Quran dan sunnah.
Semua jamaah sesat selalu mengklaim bahwa mereka merujuk kepada Quran dan sunnah. Untuk itu dibutuhkan rule of the game dalam menggunakan Quran dan sunnah, agar hasilnya tidak bertentangan dengan esensi keduanya.
Mazhab Fiqih Adalah Sebuah Upaya Memudahkan
Kita mengenal Al Quran dengan 6000-an ayatnya, serta mengenal jutaan hadits nabawi. Tentunya, tidak semua orang mampu membaca semuanya, apalagi sampai menarik kesimpulan hukumnya.
Apalagi mengingat bahwa Al Quran tidak diturunkan dalam format kitab undang-undang atau peraturan. Al Quran berbentuk prosa yang enak dibaca sebagai bentuk sastra. Tentunya, menelusuri 6000-an ayat untuk dipetakan menjadi sebuah kitab undang-undang yang rinci dan spesifik membutuhkan sebuah kerja berat.
Maka para ulama pendiri mazhab itulah yang berperan untuk menyelesaikan proyek maha raksasa itu. Satu demi satu ayat Quran dibaca, ditelaah, diteliti, dikaji, dibandingkan dengan ayat lainnya, lalu dicoba untuk ditarik kesimpulan hukum yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan hadits nabawi yang berjumlah jutaan itu, lebih repot lagi menanganinya. Sebab sebelum ditarik kesimpulan hukumnya, hadits-hadits itu masih harus mengalami proses validisasi terlebih dahulu, serta ditetapkan status derajat keshahihannya.
Hasil dari penelusuran panjang baik dari ayat Quran maupun jutaan butir hadits itu kemudian ditulis dengan susunan yang mudah, dengan bahasa yang lebih teknis dan komunikatif oleh para ulama mazhab itu. Dengan mengikuti sebuah pola tertentu yang sudah distandarisasi sebelumnya secara ilmiyah.
Ada puluhan bahan ratusan ulama ahli dan ekspert di bidangnya yang bekerja 24 jam sehari untuk melakukan proses ini sepanjang zaman. Sehingga menghasilkan kesimpulan dan rincian hukum yang sangat detail dan bisa menjawab semua masalah syariah sepanjang zaman.
Produknya telah berjasa besar sepanjang perjalanan hidup umat Islam sejak abad kedua hingga abad 15 hijriyah ini.
Dan semua itu kita sebut mazhab fiqih!!!
Kalau ada orang yang dengan lugunya mengatakan mengapa harus menggunakan mazhab dan tidak langsung saja mengacu kepada quran dan sunnah, jelaslah bahwa orang ini tidak tahu persoalan.
Dan ketika orang ini nantinya mengambil kesimpulan hukum sendiri langsung dari Quran dan sunnah, tanpa sadar dia sedang mendirikan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab dirinya sendiri.
Dan begitulah, setiap kali ada orang membaca Al Quran atau sunnah sebagai sumber hukum, maka apa yang disimpulkannya adalah mazhab. Mazhab itu bisa saja mazhab baru, karena belum ada orang yang memahami dengan cra demikian sebelumnya, atau bisa juga mazhab lama, karena sebelumnya sudah ada yang menyimpulkan seperti kesimpulannya.
Mengapa Ada Banyak Mazhab?
Banyaknya mazhab itu tidak ada kaitannya dengan perpecahan, apalagi permusuhan di dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya, banyaknya mazhan dan pendapat itu justru menunjukkan sangat dinamisnya syariat Islam, serta sangat luasnya wilayah ijithad.
Semakin banyak mazhab justru kita semakin bangga, bukan semakin sedih. Sebab mazhab itu tidak seperti sekte atau pecahan-pecahan yang saling bermusuhan. Adanya mazhab-mazhab itu menunjukkan kecanggihan dan keistimewaan syariah Islam.
Kita bisa ibaratkan sebuah organisasi, semakin banyak departemen dan bidang-bidangnya, menunjukkan semakin banyak besar dan semakin luas jangkauan organisasi itu. Dan tentunya semakin profesional.
Latar Belakang Perbedaan
Ada banyak latar belakang perbedaan pendapat yang menyebabkan banyaknya versi kesimpulan hukum, di antaranya adalah:
- Adanya nash-nash yang secara zahir saling bertentangan, baik antara Quran dengan Quran, atau antara Quran dengan hadits, atau antara hadits dengan hadits.
- Adanya celah penafsiran dan kesimpulan hukum yang berbeda di dalam satu dalil yang sama
- Adanya perbedaan status dan derajat keshaihan suatu hadits, sehingga sebagian ulama menerima suatu hadits karena menurutnya shahih bisa dijadikan dalil, namun sebagian lainnya menolak keshahihan hadits itu dan tidak mau menjadikannya sebagai dalil.
- Adanya metode istimbath hukum yang berbeda antara satu ulama dengan lainnya. Prakek penduduk Madinah (amalu ahlil Madinah) adalah metode atau sumber hukum yang diterima oleh Imam Malik, namun ulama lain tidak mau menggunakan metode ini.
- Adanya perbedaan dalam penggunaan istilah-isitlah fiqih di antara masing-masing mazhab. Sehingga meski sekilas kelihatannya salin berbeda, namun boleh jadi esensinya justru sama dan sejalan.
- Adanya ‘urf dan kebiasaan masyarakat yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Hal ini mengingat bahwa kesimpulan hukum itu seringkali terkait dengan realitas sosial yang berkembang pada suatu masyarakat tertentu.
Dan masih banyak lagi penyebab perbedaan pandangan di kalangan ulama. Hal seperti ini tidak bisa dihindarkan, bahkan sudah terjadi semenjak Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup. Bahkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri pernah berbeda pendapat dengan para shahabat dalam hasil ijtihadnya, dan justru ijtihad shahabatnya yang dibenarkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Maka kesimpulan dari jawaban ini adalah bahwa bermazhab itu adalah bentuk paling benar dari slogan kembali kepada Al Quran dan As-Sunnah. Dan bahwa berbeda pandangan yang terjadi di dalam masing-masing mazhab itu adalah sebuah keniscayaan yang mustahil dihindari.
Namun perbedaan itu haram untuk dijadikan dasar perpecahan dan permusuhan, sebaliknya harus menjadi sebuah khazanah kekayaan syariah Islam yang luas dan luwes.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.