Alangkah dahsyat semangat dan tekad penyeru dakwah itu, ia korbankan waktu, harta, dan jiwanya untuk Islam, agamanya hidup dan mati. Alangkah indah cahaya wajahnya tatkala tersenyum, menerima segala hujat cela dengan segala kelapangan jiwa. Alangkah bening air matanya saat menyaksikan segala kebatilan dan keburukan di hadapan, namun tak memiliki daya menahannya. Meski pedih, ia lantunkan doa itu, lirih, pelan, dan rahasia, agar hidayah dan ampunan meliputi mereka yang berbuat nista. Ada gelora yang membakar dadanya, untuk selalu dan terus berjuang tiada henti,
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jalan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.” (Q.S. Al Hajj: 58)
Tak ada yang meragukan kredibilitas penyeru kebaikan itu, namun ada satu hal yang sangat patut untuk menjadi bahan diskusi para aktivis itu.
Adalah kewajiban setiap manusia sebenarnya untuk menebar kebaikan dan kebenaran, namun betapa mengiris hati jika ternyata orang-orang yang kita cintai di dalam rumah kita jauh dari nuansa syar’i. Sedih, apalagi jika yang bisa kita lakukan hanya bingung dan menunggu. Dan akan lebih parah lagi jika itu semua sudah berkaitan dengan dunia anak .
Oke, Anda aktivis? Jam terbang tinggi? Selalu kejar syuting (alias syuro penting)? membina sekian halaqoh? Applause dan beribu apresiasi dulu untuk anda. Tapi, apakah Anda merasa sudah cukup? Saya yakin tidak, karena ada satu hal yang musti Anda pikirkan setelah itu, yaitu dakwah keluarga, dakwah kepada anak kita sendiri.
Ada fenomena yang unik dan aneh, yaitu kebanyakan anak dari seorang aktivis dakwah tidak mau seperti umminya, tidak mau seperti abinya. Mengapa terjadi? Komunikasi. Komunikasi menjadi satu hal penting yang sering terlupakan, paling sering diremehkan bahkan. Padahal komunikasi menjadi sebuah media penting untuk memahamkan pikiran anak kita yang masih kanak-kanak akan segala aktifitas kita, peran kita di masyarakat, bahkan keutamaan amar ma’ruf nahi munkar yang sedang kita perjuangkan. Alangkah ironis, kita berhasil mendidik anak orang, tapi tidak berhasil mendidik anak sendiri!
Lalu kapan memulai komunikasi yang tepat kepada anak? Tentu saja lebih baik jika dimulai sejak Allah mengamanahkan mereka kepada kita, melalui sebuah pendidikan anak sejak dini yang terarah dan terencana maka kita dapat memulai komunikasi yang baik.
Bagaimana jika anda belum mempunyai anak, bahkan belum menikah? Sekarang mari kita ubah paradigma lama tentang learning by doing dalam hal ini. Di luar negeri, sudah menjadi sebuah kejadian paling lumrah ketika seorang ibu yang belum hamil, merencanakan pendidikan anak mereka sejak awal pernikahan. Baiklah, hari ini kita sama-sama belajar untuk menjadi ibu, sama-sama belajar menjadi ayah. Berbagai buku tentang pendidikan anak sejak dini, bahkan pendidikan anak pra lahir telah beredar, kita bisa memilih materi yang sekiranya mampu diterapkan dan cocok untuk keluarga kita dan khususnya bagi sang anak karena materi tentang pendidikan anak terus berkembang dari tahun ke tahun, abad ke abad menghasilkan banyak penelitian dan teori baru tentang cara mendidik anak.
Doktor cilik yang menghafal Al Quran dalam usia 5 tahun, ibunya selalu berwudhu sebelum menyusuinya, menghindari acara-acara ikhtilat dan penuh kebatilan. Apa yang dilakukan oleh beliau merupakah bagian dari pendidikan. Abdurrahman faiz, putra pertama penulis Helvy Tiana Rosa, memiliki kepekaan sosial yang tinggi, ketika dalam kandungan, ibunya selalu mengajaknya berkomunikasi tentang rasa simpati dan empati terhadap sesama. Ada juga Ibu Wirianingsih yang memiliki 10 anak penghafal Al Quran di mana masa mudanya beliau habiskan dengan aktivitas-aktivitas kebaikan, amar ma’ruf nahi munkar. Nah tidakkah kita ingin melahirkan anak-anak yang menghujamkan bumi dengan kalimah La Ilahaillallah?
Ada sebuah ungkapan menarik yang diucapkan oleh seorang trainer sekaligus motivator Nasional, Ayah Edy, beliau menyampaikan bahwa Indonesia Strong From Home, Indonesia kuat bermula dari rumah. Lalu mengapa persiapan itu idealnya dilakukan sebelum menikah? Karena sebelum menikah kita masih memiliki banyak kesempatan untuk berbenah diri, memenuhi pundi-pundi ilmu ke dalam pikiran kita, dan tentu saja masih memiliki keluangan waktu yang lebih ekstra dibanding saat sudah menikah. Inilah poinnya, kelapangan yang lebih di masa muda membuat kita mampu untuk lebih siap dalam menghadapi masalah-masalah pendidikan anak yang tak habis-habis menjadi tema perbindangan hangat dalam seminar-seminar parenting.
Wahai calon ibu, calon ayah, aktivis dakwah yang dirahmati Allah, mari kita mulai perhatian kita kepada (calon) anak sendiri dengan menyiapkan materi pendidikan yang menyenangkan dan aplikatif.