Sudah hampir 67 tahun Indonesia merdeka, bahkan bila dilihat dari sumpah pemuda sudah mencapai 83 tahun sejak tangggal 28 Oktober 1928. Namun kenapa beda perkembangannya jika dibandingkan dengan manusia 67 tahun, pasti sudah jadi kake-kake. Mestinya harus lebih bijak menyikapi persoalan kenegaraan. Namun nyatanya di sana sini masih terdapat gejolak dari kulminasi ketidak puasan. Karena segala sesuatu disikapi dengan emosional dan terlalu mengedepankan sikap politik ketimbang kenegarawanan. Atau kearifan dan kebijakan yang penuh kasih sayang. Kenapa demikian karena sudah kadung menggelorakan semboyan sebagai Negara hukum. Namun dalam mendefinisikannya bukan keterarutan, atau ketaatan untuk memperbaiki akhlak manusia. Melainkan bagaimana menggiring orang supaya masuk ke penjara. Walaupun hanya berdasarkan pada surat kaleng. Surat budeng. Bahkan surat budeg itu sendiri bisa saja dibuat oleh oknum yang rakus dan serakah untuk memeras sesama eksekutif.
Jangan aneh bila kini dipersepsikan era saling balas dendam. Semua orang mencari kelemahan untuk membalas orang yang pernah menyeretnya menjadi terpojok dan tidak berdaya. Semua orang lupa bahwa semakin orang itu terpojok dan dipojokan akan muncuk kekuatan diluar batas kewajaran untuk mengumpulkan enerji membalas dendam. Sehingga tidak ada satu kebijakan yang mampu meredakan situasi dan kondisi membuat orang bisa tenang berekpresi, berimajinasi dan kreatif. Semua orang merusaha mencari aman. Supaya tidak menanggung beban resiko dituduh melanggar hukum. Dan melanggar aturan. Memang semua orang sudah merasa puas dikala mampu mengeluarkan aturan, jika mampu mengeluarkan surat keputusan. Walaupun pada akhirnya surat keputusan itu akan dijadikan alat pemukul jika ada orang yang menghujat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar.
Kebutuhan dasar itu bukan disikapi oleh orang, oleh barang, oleh anggaran. Tapi disikapi oleh peraturan apakah dalam bentuk Undang-undang, dalam bentuk KepPres, dalam bentuk KepMen, KepGub, KepWal, Kep Bup atau PerPres, PerMen, PerGub, Per Bub, Per Wal. Seolah olah bila sudah keluar surat keputusan maka bebas dari kewajiban memenuhi kebutuhan dasar. Contoh dikala ada program Wajar Dikdas. Maka keluarlah UU nomor 20 tahun 2003. Dijabarkan dengan setumpuk peraturan. Namun ketika mentok masalah anggaran ternyata tidak tuntas menyikapinya. Bahkan kini yang sedang dirasakan oleh Sekolah-sekolah swasta adalah terlalu seringnya BOS terlambat. Di sisi lain ada larangan untuk meminta sumbangan pada orang tua siswa. Ketika ada masalah tawuran pasti dituduhkan pada ketidak becusan sekolah mendidik siswa.
Ketika kualitas pendidikan menurun maka sekolah yang menjadi bulan-bulanan. Bahkan kini disinyalir oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dilansir salah satu surat kabar terbitan Sukabumi di halaman 2 kolom 7 tanggal 29 oktober 2011”Mayoritas Kada Salah Pilih Kadis Pendidikan”. Di sisi lain para pakar pendidikan bukan berkiprah di dunia pendidikan. Malahan banyak memilih terjun ke dunia politik. Dipihak lain malah banyak Kepala sekolah dan guru yang gusar. Karena terus-terusan dipanggil oleh oknum penegak hukum tentang DAK, BOS dan berbagai tuduhan Pungutan liar. Ya pantas kalau dulu Guru itu konsen mendidik anak. Sedangkan inspeksi dilakukan oleh Penilik. Tapi sekarang yang memeriksa Sekolah itu setumpuk. Bahkan bantuan itu bila dihitung secara ekonomis mungkin habis dipergunakan untuk bolak balik ngurus berbagai pemeriksaan. Dari mulai pemeriksaan internal, pemeriksaan fungsional aparat pemeriksa, pemeriksaan dari oknum media.
Tidak hanya sebatas di sekolah. Malah semua program pembangunan terlalu banyak yang mempunyai kepentingan dengan dalih pengawasan masyarakat. Dengan dalih transparansi, dengan dalih Undang-undang keterbukaan Informasi. Bahkan semua pekerjaan harus di tender, semua pekerjaan harus dipihak ketiga kan. Ketika dilakukan swakelola maka pemeriksaannya bertubi-tubi bahkan diakali oleh oknum-oknum menjadi sebuah alat sapi perahan. Anehnya ketika mau diadukan malah tersendat. Dikarenakan oknum yang sudah terbiasa menakut-nakuti mempunyai jaringan berlapis. Dari mulai oknum pengusaha, oknum media, oknum pemeriksa seperti jaringan gurita yang sulit dibuktikan. Bahkan ketika meminta uang mampu menolak memberikan tanda bukti.
Wajar kalau Indonesia terlambat maju. Karena orang yang konsentrasi kepada pekerjaan saja akan terganggu ketenangan dan kreatifitasnya oleh oknum yang gentayangan mencari mangsa yang bisa dijadikan ATM atau dijadikan tumbal untuk dimasukkan ke penjara. Oknum penegak hukum mempunyai dua mata pisau yang sama tajamnya. Ketika mereka lunak tidak menanggapi surat kaleng yang dibuat oknum tertentu maka konpensasinya jadi ATM. Ketika memegag prinsip tidak siap jadi ATM. Maka dikorek sampai bisa ada alasan untuk dijadikan tersangka. Yah yang namanya manusia di alam sekarang tidak mungkin ada yang sempurna dari sebuah kesalahan karena sangat banyak aturan yang siap menjerat.
Berkembanglah anekdot bahwa unsur pertama tindakan pidana adalah ketauan oleh oknum penegak hukum. Yang tidak terpidanan adalah orang yang sepaham dengan oknum penegak hukum. Permainan oknum penegak hukum adalah mengoper-oper mangsa dari orang yang satu ke orang yang lain. Selama masih sepaham dia dekapi. Ketika sudah tidak dijadikan ATM maka dilempar ke orang lain. Sementara oknum penegak hukum yang melanggar, paling banter bukan diperksa, mereka paling juga dipindahkan ke tempat lain. Kenapa demikian karena memang tujuannya bukan untuk membuat orang berakhlak mulia tapi bagaiman orang supaya sepaham. Kalau tidak sepaham dijadikanlah tumbal penjara untuk memenuhi target perkara.
Jangan aneh kalau banyak orang yang skeptic dan apatis tidak menghiraukan prestasi ataupun kreatifitas. Yang penting aman dan selamat tidak tersentuh oknum aparat hukum. Namun bagi orang yang yakin akan pertolongan Allah jangan gusar dan jangan takut oleh oknum penegak hukum. Sebab kejelekan yang dia lakukan pasti suatu saat akan kena pula pada dirinya. Hal ini sudah banyak di lansir oleh berbagai media masa. Oknum penegak hukum yang terjerat dan dijerat untuk masuk jadi penghuni penjara. Di satu sisi sebagai pembuktian bahwa keadilan pasti datang dari Allah SWT. Di sisi lain seorang oknum penegak hukum yang dholim menjerat orang pasti suatu saat akan ada orang yang menjerat pula. Dan yakin bahwa Allah tidak akan mematikan seseorang sebelum dirinya merasakan sakitnya di dunia atas kedholiman yang dibuatnya sendiri. Jadi kenapa Indonesia terlambat maju. Karena terlalu banyak orang yang berbuat dholim antara sesamanya dengan dalih penegakan hukum. Namun yang jadi pertanyaan siapa yang dihukum, kenapa dihukum, benarkah dia harus dihukum.
Kalau ingin Indonesia cepet maju coba dikedepankan kasih sayang dan kecintaan antar sesama. Yang harus dikedepankan adalah akhlak bukan semua orang digiring ke penjara. Sekeras apapun hukuman dijatuhkan oleh hakim dikala tidak mampu memperbaiki akhlaq maka yang muncul hanyalah residivis. Bukan efek jera malah menjadi kebal. Bahkan bisa terjadi, orang jadi keras setelah keluar dari penjara. Yang muncul bukan cinta kasih tapi sadisme dan hilang sifat kemanusiaan.
Ketika sifat kemanusiaan itu terkikis dan menjadi sirna. Maka manusia tidak akan punya harga.ketika tidak mampu menghargai otak dan pemikiran manusia maka kemajuan Indonesia akan semakin terhambat. Sebaik apapun hasil teknologi, sebagus apapun hasil pertanian, secerdas apapun binatang. Tidak akan mampu menyamai kecerdasan manusia, tidak akan secanggih otak manusia yang mampu menyimpan memori dan menghasilkan anti bodi yang canggih. Namun ketika manusia hanya jadi objek oknum penegak hukum untuk dipenjarakan maka akan sirna pula harapan Indonesia jaya di masa depan. Bahkan akan muncul dimana mana orang menaruh dendam dan bisa saja Indonesia tercabik-cabik menjadi beberapa Negara bagian. Atau bahkan bisa saja ingin memerdekakan diri masing masing.
Karena NKRI itu harga mati maka para pakar hukum bisakan menegakkan hukum internasional. Supaya kedaulatan Indondonesia benar benar diakui oleh Negara tetangga. Bisakah menghukum bangsa lain yang mencaplok wilayah Indonesia. Bisakan menghukum bangsa lain yang mengambil kekayaan alam dari negera Indonesia. Bisakah pakar hukum menghukum bangsa lain yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Jadi kalu ingin maju jangan berani menghukum dan memenjarakan bangsa sendiri. Tapi bangsa lain yang melanggar itu yang harus di hukum. Bisakah menghukum bangsa lain yang memasok narkoba ke Indonesia.
Bila Indonesia ingin cepat maju jangan hanya berani memenjarakan bangsa sendri. Coba berani kepada bangsa lain. Jadi jangan dibalik balik kalau ke bangsa sendiri kejam kalau ke bangsa lain ingin selalu damai. Dimana letak keberanian bangsa ini. Kalau dengan bangsa lain ingin memainkan diplomasi. Tapi terhadap bangsa sendiri ingin saling jegal. Yu kembangkan rasa kasih sayang antar sesama suku bangsa, antar sesame daerah, antar sesama pegawai, antar sesama politisi, antar sesama agama. Sehingga menjadi satu kesatuan sebagai bangsa yang besar sesuai dengan kebesarannya.
Jangan terlalu mengadopsi hukum orang lain. Kalu terlalu meratifikasi hukum internasional pasti akan selamanya ketinggalan dan di asingkan oleh kesepakatan yang diminta hukum bangsa lain. Yu kembali pada jati diri bangsa yang “silih asah, silih asuh, silih asih. Kacai jadi saleuwi kadarat jadi salebak”. Hentikan saling menghujat, hentikan saling memeras, hentikan saling menghukumi, hentikan sikap saling balas dendam. Yu melakukan rekonsiliasi. Damai dengan bangsa sendiri itu indah. Berani menghadapi bangsa lain itu anugrah.
Oleh: Hamdan