Dengan adanya rasa nyaman, damai, tentram, dan gembira, orang akan merasakan kebahagiaan. Ketika semua rasa itu tak ada, maka kebahagiaan pun tak dirasakan. Hati menjadi galau, gelisah dan tak jarang pula menjadi rendah diri. Tubuh menjadi …lemah. Merasa bahwa Allah tak bersikap adil. Mengapa aku tak layak mendapat kebahagiaan, sementara orang yang telah berlaku curang dan kejam saja dapat merasakan kebahagiaan. Rasa itu lalu membawa diri menyudut ke dalam ruang yang sunyi. Menangis menyesali diri. Ujung-ujungnya, banyak aktivitas yang terbengkalai. Maka, hari-hari pun berlalu tanpa makna yang indah. Waktu yang disediakan Allah selama 24 jam pun sia-sia tanpa kebaikan . Rugi. Na’udzubillah..
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr (103):1-3)
Betapa berartinya kebahagiaan. Hingga demi menciptakan kebahagiaan, para ilmuwan dari London School of Economics and Political Science, Inggris, melakukan analisa data genetik pada 2500 partisipan dan telah berhasil mengidentifikasi gen pemicu rasa bahagia yang disebut sebagai 5-HTT. Gen bahagia tersebut membantu sel syaraf untuk mendaur ulang senyawa serotonin, yang diketahui berhubungan dengan mood dan depresi, seperti yang dikutip dari Independent. “Menemukan gen ini membantu kami untuk menjelaskan mengapa beberapa orang cenderung lebih bahagia dari pada yang lain,” tutur De Neve.
Memang, masing-masing orang berbeda dalam memandang dan menakar kebahagiaan. Cobalah tilik setiap sudut ruang di jiwa kita. Ada banyak bahagia di sana. Jika tak kita peroleh bahagia yang kita harapkan, mungkin akan kita peroleh di kehidupan berikutnya, atau akan kita peroleh kebahagiaan yang lain. Ketika kita senang dapat membuat orang lain tersenyum, tertawa, atau terharu karena kejutan yang kita berikan, bukankah itu membahagiakan? Ketika kita dapat mencintai dan dicintai, bukankah itu kebahagiaan? Ketika kita berhasil mengalahkan amarah dan ego kita, juga nafsu kita yang lainnya, dan kita gembira, bukankah itu bahagia juga? Banyak. Ada banyak bahagia. Yang jika kita coba sebut satu persatu takkan pernah bisa disebut semua, karena terkadang kita bahagia tanpa kita sadari.
Rabi’ah al Adawiyah, bahagia dengan kesendiriannya, karena begitu tinggi cintanya kepada Allah, hingga tak ingin memiliki cinta yang lain. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara.
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ma’rifatullah, mengenal Allah SWT. Al-Ghazali pun mengatakan,
“Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu bila kita rasakan nikmat, kesenangan dan kelezatannya maka rasa itu ialah menurut perasaan masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dan tubuh manusia.“
Kelezatan hati adalah ma’rifah kepada Allah, karena hati diciptakan untuk mengingat Sang Pencipta. Maka dapat mengenal Allah adalah puncak kebahagiaan. Dan tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan di sisi Allah.
Sedang menurut ulama besar Prof. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih akrab dipanggil Buya Hamka, Islam mengajarkan empat jalan menuju kebahagiaan. Pertama harus ada i’tiqad, yaitu motivasi yang sungguh-sungguh dari diri sendiri. Kedua yaqin, yaitu keyakinan yang kuat akan sesuatu yang sedang dikerjakannya. Ketiga iman, yaitu yang lebih tinggi dari sekedar keyakinan, yang dibuktikan dengan lisan dan perbuatan. Keempat ad diin, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, sehingga menjadi penghambaan diri yang sempurna. Mereka yang menjalankan ad diin secara sempurna tidak akan berlama-lama dalam kesedihan, karena mereka benar-benar yakin akan jalan yang telah dipilihkan Allah untuknya.
Allah sebagai Pemilik Jiwa dan Penguasa. Jika kita telah mengenalNya dengan baik, maka akan kita ketahui mengapa ada sedih dan gembira, musibah dan bahagia. Dua hal yang seperti keping mata uang, selalu bersisian. Tak pernah ada yang sia-sia atas semua kehendak Allah. Jika kita mau merenung dan membuka hati dengan luas, akan kita lihat kebenaran dan hikmah di setiap peristiwa. Kita akan menjadi lebih bijak dalam mensikapi hidup dan kehidupan. Lebih banyak bersyukur sebesar apapun pemberian Allah, agar Allah menambahkan nikmatNya.
“Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim (14):7)
Dan tak perlu menjadi yang terbaik, tapi berusaha untuk menjadi lebih baik.
Rasulullah SAW mengajarkan doa yang sangat dahsyat. Doa memohon kepada Allah agar di luaskan hati untuk menerima kebenaran dan mengikutinya serta ditunjukkan yang salah agar dapat menjauhinya. Ada banyak orang yang telah mengetahui banyak kebenaran, tapi tak cukup mampu untuk mengikuti. Dan mengetahui sesuatu itu salah, tapi tak menjauhinya.
“Allaahumma aarinal haqqa haqqan warzuq nattibaa’ah wa aarinal baathila baathilan warzuqnajtinaabah, yang artinya, Ya Allah, tampakkan kepada kami yang baik itu baik, dan anugerahi kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tampakkan kepada kami yang salah itu salah, dan anugerahi kami kekuatan untuk menjauhinya.”
Dan Allah memberikan janji,
“Maka ingatlah kamu kepadaKu, Aku pun akan ingat kepadamu.”(QS. al Baqarah(2):152)
Kita semua berhak atas kebahagiaan. Mari, kita jemput bahagia! Agar hidup lebih indah. Lebih ceria. Lebih semangat. Biasanya suasana hati yang gembira akan memudahkan datangnya ide-ide cemerlang. Menginspirasi kita untuk melakukan banyak hal. Hidup pun tak akan sia-sia.
Kebahagiaan datangnya dari dalam jiwa. Kita sendirilah yang menciptakan. Bukan orang lain. Jangan hanya melihat kebahagiaan orang lain, agar tak mengecilkan hati kita. Nanti seperti kata pepatah, rumput tetangga tampak lebih indah daripada rumput di rumah sendiri. Tetap memandang positif atas kebahagiaan yang tak tercapai, sehingga mudah melapangkan hati untuk menerima setiap kehendakNya.
Selamat berbahagia. Semoga kita lebih bijak mengartikan kebahagiaan.