Mungkin mendengar semangat para ‘ulama zaman dulu yang setia untuk menyertai syaikh (guru) dalam keseharian, atau rela menempuh jarak beribu-ribu kilometer untuk menjumpai seorang guru guna memperoleh ilmu-ilmu syar’i adalah hal yang biasa di telinga kita, meski untuk masa sekarang, hal ini bisa dibilang sudah jarang dilakukan. Kita pun tak terlalu memusingkan apa istilah yang tepat untuk membahasakan metode belajar yang terdengar demikian ‘rumit’ itu. Metode belajar semacam itulah yang disebut dengan mulazamah.
Mulazamah sudah dikenal sejak zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Secara harfiah, mulazamah bisa diartikan menetapi dan tidak meninggalkan. Istilah ini kemudian dialamatkan pada metode pendidikan non-formal, dimana para santri menetapi dan tinggal bersama gurunya dalam rangka mempelajari suatu ilmu. Metode belajar mulazamah ini menjadi idola para penuntut ilmu generasi awal umat ini.
Sejarah mencatat, bahwa beberapa orang sahabat selalu berusaha menyertai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak kesempatan. Salah satu tujuannya adalah supaya mereka dapat mengais ilmu sebanyak mungkin dari beliau. Apalagi, ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tak hanya terangkum dalam lisan beliau, tapi juga mengalir dalam perilaku dan perbuatan dalam keseharian beliau.
Belajar secara mulazamah memang tak menjajikan surat tanda tamat belajar atau gelar, seperti halnya sistem pendidikan formal yang kerap menjadi pilihan banyak orang di masa sekarang. Karena memang, bermulazamah tidaklah ada batas waktunya. Tidak tiga tahun, tidak enam tahun, dan tidak pula sembilan atau dua belas tahun seperti halnya wajib belajar yang diterapkan di Indonesia. Belajar dari buaian hingga liang lahat. Itu prinsipnya.
Budaya metode belajar ini menuntut para murid untuk mempelajari dan mematangkan kaidah dasar dari masing-masing disiplin ilmu. Dan fakta yang harus dijumpai adalah wajibnya penguasaan Bahasa Arab, karena memang bahasa langit itu menjadi sarana utama transfer ilmu-ilmu dasar yang lain, meliputi ilmu hadits, tafsir, fiqh, serta ilmu dasar lainnya. Ya, ternyata dalam metode mulazamah, ilmu-ilmu itu masih lah berlabel ‘dasar’.
Ilmu dasar bak sebuah kunci yang menjadi alat untuk membuka setiap pintu-pintu ilmu yang hendak dimasuki. Setelah kunci dasar ilmu ada di tangan, para santri itu akan semakin mudah dan cepat untuk mendalami ilmu yang diinginkannya. Sebagai contoh adalah Ibnu Hajar, seorang ‘ulama hadits yang diakui kepakarannya dalam duni Islam. Sesudah mematangkan ilmu dasar yang memang diperlukan, dia lalu bermulazamah kepada Al Iraqi, seorang muhaddits (pakar haddits) di zamannya, dan memperdalam padanya ilmu Hadits.
Metode belajar dengan bermulazamah sangatlah fleksible karena memang tak banyak aturan atau persyaratan seperti hAl nya dalam penidikan formal yang memang kadang justru mempersulit sesorang untuk belajar. Hanya saja, yang harus diingat dan dijadikan maklum adalah penguasaan bahasa arab dan ilmu dasar yang memang tidak bisa ditawar lagi. Metode ini pada dasarnya terbuka bagi siapa saja yang menghendaki, yang ditutut oleh para masyayikh hanyalah kesungguhan dari santri.
Metode mulazamah lebih menekankan pada sisi penguasaan materi secara rinci. Para masyayikh tidak menjadikan target sebagai sesuatu yang diburunya. Target memang harus ada, tapi hal itu tidak mengorbankan pemahaman yang seharusnya diperoleh santrinya secara rinci dan mendetail. Dalam metode ini, setiap disiplin ilmu dipelajari secara tuntas dan demikian terperinci sebelum beralih pada disiplin ilmu yang lain. Dengan tanpa mengabaikan pemenuhan aspek spiritual santrinya, intelektual santrinya terus menerus diisi dan diasah.
Dalam sistem pendidikan ini, akhlaq dan adab para penuntut ilmu ini sangat diperhatikan oleh sang masyayikh. Menilik berbagai keunggulan sistem mulazamah ini, alangkah baiknya manakala sistem pendidikan formal yang kini menjamur pun ditopang dengan sistem mulazamah, hingga mampu melahirkan generasi rabbani yang faqih seperti halnya para pendahulu yang memang mengaplikasikan sistem pendidikan ini.
Dalam catatan sejarah, ribuan orang tersohor yang diakui kepakarannya dalam berbagai disiplin ilmu dan menjadi sumber rujukan, adalah sebagian dari mereka yang melalui metode pembelajaran ini. Mulai dari keempat khulafah rasyidin, hingga shahabat yang akhirnya berpencar di segenap pelosok bumi yang lain.
‘Ibnu Mas’ud yang faqih dalam ilmu tafsir pada akhirnya memilih Khuffah sebagai tempat tinggalnya dan ladang pahala baginya melalui transfer ilmu dalam ta’lim-ta’limnya. Dari halaqah Ibn Mas’ud ini lahir sejumlah ‘ulama besar seperti Al Qamah, Al Azwad ibn Yazid, Ibrahim An Nakhai, dan Asy Syabi.
Sementara itu, di Makkah, Ibnu ‘Abbas adalah salah satu masyayikh yang juga menyelenggarakan ta’lim. Dari halaqah Ibnu ‘Abbas, lahir sejumlah ‘ulama yang pakar dalam bidang tafsir semisal Mujahid, Ikrimah, Atho’ ibn Abi Rabah, dan Said ibn Jubair.
Metode mulazamah kala itu memang berkembang pesat karena banyaknya syaikh yang cukup mampu menjawab kobaran semangat keingintahuan para murid untuk mendalami suatu disiplin ilmu. Karena ketiadaan kondisi yang mengikat, para murid bisa berpindah dari satu syaikh ke syaikh yang lain sesuai dengan ilmu yang diperlukan atau yang ingin didalaminya. Bahkan tak jarang, para murid bertualang dari satu negeri ke negeri lain untuk mendapatkan ilmu.
Sebagi contoh adalah Imam Syafi’i yang semula bermulazamah pada Muslim ibn Khalid az-Zanji, lalu mengambil hadits pada Imam Malik di Madinah, kemudian berpindah ke Mekkah dan bermulazamah kepada Sufyan bin Uyainah, seorang ahli hadits di Makkah.
Beberapa ‘ulama kontemporer yang juga menjalani metode mulazamah ini diantaranya dalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani, Syaikh Abdul Aziz ibn abdullah ibn Baz, Syaikh Muhammad ibn Shalih Utsaimin, dan ulama lain yang sangat menguasai bidang-bidang ilmu syar’i dan dijadikan rujuk kaum muslimin.
Pada masa itu, segenap penjuru di Jazirah Arab sempat menjadi pusat-pusat mulazamah. Sebut saja kota Bashrah, Yaman, Mesir, dan Syam. Halaqah-halaqah mulazamah ini demikian eksis dan mampu melahirkan banyak ulama handal, hingga akhirnya seiring perguliran masa, terlahir sistem pendidikan formal yang lebih didominasi dengan cara pengajaran klasikal.
Hingga kini, beberapa negara di Timur Tengah masih mempertahankan mulazamah sebagai sistem yang dinilai sangat efektif membantu para mahasiswa yang belajar di pergutuan tingggi secara formal. Di Saudi Arabia, misalnya, masjid-masjidnya masih semarak dengan mulazamah yang kebanyakan diikuti oleh para mahasiswa yang ingin mempertajam ilmu yang didapatnya di kelas.
Di Indonesia, kini beberapa ma’had dan pesantren mulai kembali melirik metode ini dan menerapkannya dalam sistem belajar mengajar yang dilaluinya, meski memang jumlahnya masih belum terlalu banyak. Beberapa pesantren di Indonesia yang menerapkan mulazamah ini memang harus menyiapkan tenaga pengajar yang tinggal di kompleks pesantren, sehingga selama 24 jam siap untuk melayani transfer materi serta membimbing santri dalam memahami dan mengamalkan berbagai ilmu syar’i yang dipelajari. Pertimbangan untuk kembali menerapkan metode ini jelas lah karena jejak-jejak masa lampau membuktikan ulama handal yang lahir dari rahim metode Mulazamah tak terpungkiri kepakarannya.