Saya baru membaca status bagus dari saudara Dwi Kuncoro:
“Dahulu, kaum Muslimin bepergian ke berbagai negeri untuk mempelajari hadits dan lainnya. Sekarang, kita juga bepergian ke berbagai negeri. Sama. Bedanya, kita hanya jalan-jalan dan hura-hura.”
Seandainya seorang Muslim sering membaca literatur ilmiah karya ulama masa lalu -dengan kekayaannya di tangan sehingga bisa pergi ke mana-mana sekehendaknya-, jerih payah mereka, dan sirah mereka, niscaya dia tidak akan tega jalan-jalan ke luar negeri atau ke beragam daerah hanya untuk jalan-jalan, hura-hura dan kepuasan pribadi semata.
Terlebih jika qalbu muslim ini hidup untuk Rabb-nya dan untuk kaum Muslimin. Jika hidup begitu, niscaya dia akan lebih suka memandang bahwa betapa banyak dari Muslimin yang butuh harta, sedangkan betapa banyak harta dari yang dia punya sebenarnya tidak dia butuhkan karena saking berlebihnya.
Terlebih di zaman seperti ini, kawan-kawan, banyak orang membutuhkan dan tidak banyak orang berpunya.
Banyak orang membutuhkan ilmu syariah, bahkan semua orang; tetapi tidak banyak yang punya.
Banyak orang membutuhkan lapangan pekerjaan; tetapi tidak banyak yang menciptakan lapangan kerja.
Banyak orang membutuhkan dana untuk mencukupi hajat; tetapi tidak banyak yang berpunya segala.
Jika yang berpunya rata-rata menghamburkan untuk kepuasan dirinya, maka yang bodoh semakin bodoh, yang nganggung semakin nganggur, dan yang miskin semakin miskin. Hancurlah masyarakat.
Jika orang bodoh semakin banyak, maka moralitas semakin merosot.
Jika pengangguran semakin banyak, maka produksi semakin merosot.
Jika orang miskin semakin banyak, maka pencurian semakin meningkat.
Jika moral merendah, tidak produktif dan serba-korupsi, maka tunggu apa lagi? Matilah semua. Bravo kapitalisme. Mental kapitalisme adalah mental mau enak sendiri. Dan itu mental Yahudi…. honestly.
Realize?
Ustadz Hasan Al Jaizy, Lc.