Negeri Indonesia tengah terluka. Menganga tersayat politik-politik nista penguasa di bawah kangkangan partai pengusungnya. Saat petugas partai mendudukkan pantatnya di kursi kepresidenan, subsidi bahan bakar minyak pun dicabut gila-gilaan, padahal harga minyak dunia tengah turun selonjoran.
Maka, belum diketuk harga baru bahan bakar minyak, harga sembilan bahan pokok mendahului merangkak naik. Rakyat pun tercekik. Lantas dengan ringannya penguasa keliling Indonesia membagikan kartu-kartu sakti, sebagai ganti balsem pengobat letihnya membanting tulang.
Belum hilang kecewa karena memilih presiden yang salah, kembali mereka disuguhi kabar menyayat. Harga Elpiji naik, tarif dasar listrik naik, lantas harga beras pun naik. Padahal katanya Indonesia negeri agraris. “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” kata mereka.
Belum cukup sampai di situ. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Paman Sam pun ambruk menembus angka Rp13.000. Padahal analis menjanjikan jika Prabowo Jokowi menjadi presiden, maka dolar hanya seharga ceban. Bukan mencari solusi atas tidak berharganya mata uang dalam negeri, mereka malah menyalahkan TKI yang sedikit mengirimkan devisa, juga menyalahkan China dan Amerika yang terlalu bagus perkembangan ekonominya.
Katanya, fundamental kita masih bagus. Katanya, semakin lemah rupiah, maka semakin berkah. Katanya, saatnya untuk memperbanyak ekspor. Katanya, ….., katanya, …. .
Masih lagi kekacauan hukum dan perseteruan antara dua lembaga hukum negara yang dimulai dari kebijakan penguasa yang tidak bijak.
Lalu terngiang senandung reformasi belasan tahun lalu.
Buruh tani… mahasiswa… rakyat miskin kota
Bersatu padu melawan perubahan
Bersatu tekad dalam suatu suara
Demi tugas nan mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtera
Terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa Orba
Marailah kawan mari kita berjuang
Di tangan kita tergenggam arah bangsa
Ayolah kawan ayo kita berdendang
Sebuah lagu tentang perubahan
Dibawah topi jerami
Kususuri garis jalan ini
Berjuta kali turun aksi
Bagiku satu langkah pasti
Kemudian dibuka koran dan majalah. Dinyalakan televisi dan radio. Ternyata senandung yang berderap gempita itu tidak ada lagi. Para mahasiswa yang konon agent of change, yang konon adalah iron stock, nyatanya asik duduk di depan para pelawak dan selebritis. Bertepuk tangan dan tertawa di bawah instruksi floor director studio-studio TV. Syukur-syukur dapat doorprize selfie bareng selebritis.
Aih, asyiknya jadi mahasiswa..
Dulu zaman revolusi kemerdekaan, mahasiswa menjadi pendukung utama perjuangan dan pergerakan intelektual.
Dulu zaman revolusi ideologi, mahasiswa menjadi pendukung utama perjuangan dan pergerakan mengokohkan ideologi bangsa.
Dulu zaman reformasi pemerintahan, mahasiswa menjadi pendukung utama menjatuhkan tiran dan mendukung pemerintahan anti korupsi.
Dulu zaman pembangunan kembali, mahasiswa menjadi pendukung utama pemerintahan bersih dengan berbagai diskusi dan aksi demonstrasi.
Kini, di zaman yang dikuasai selfie, mahasiswa menjadi penonton utama talk show selebriti dan dagelan dangdut di studio televisi.
Puluhan mahasiswa dan mahasiswi bertepuk meriah saat nama kampusnya disebut pembawa acara sebagai pentonton. Apa yang dibanggakan, sementara indeks prestasi PMDK?
Puluhan mahasiswa dan mahasiswi tertawa terkekeh melihat sang pelawak melontarkan cibiran hinaan fisik pada lawan lawaknya. Apa yang ditertawakan dari lelucon yang tidak lucu itu?
Maka, negeri Ini akan tetap terluka menganga saat para pemuda dan mahasiswanya masih asyik menjadi penonton di studio. Maka, rakyat kecil itu tidak akan dibela selama jas almamater mereka masih muncul di layar televisi jadi penonton acara komedi…