Obrolan Toleransi di Warung Tegal

Sore itu setelah pulang kerja, Pak Kamsud mampir di sebuah Warteg. Di warung itu pak Kamsud ditanya oleh Pak Karman pemilik Warteg tentang pendapatnya mengenai mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada pemeluk agama Non-Muslim. Lalu terjadilah dialog antara mereka berdua, Pak Karman pun memulainya dengan sebuah pertanyaan;

“Menurut Pak Kamsud, apa sih hukumya ngucapin selamat hari raya kepada non-Muslim?”

“Kalo menurut saya sih, itu pekerjaan sia-sia dan gak ada gunanya.”

“Lho, koq gak ada gunanya? Kan itu bukti bahwa kita toleran terhadap umat lain?”

“Sekarang saya tanya, orang yang makan di Warteg Pak Karman ini apakah hanya orang Islam saja?”

“Tentu tidak lah pak.” Jawab Pak Karman

“Apakah Pak Karman pernah punya masalah dengan para pelanggan?”

“Kalo masalah pelanggan yang nge-bon dan ngutang sih banyak pak, tapi kita mah tetep akur-akur aja.”

“Pernah ngucapin selamat atau hadir dalam hari raya mereka yang non-muslim?”

“Ya nggak pernah tho, pak.”

“Nah, itu bukti bahwa Pak Karman sudah mampu hidup bertoleran dengan berbagai umat beragama dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga saya pak, saya telah hidup berdampingan dengan non-muslim selama puluhan tahun tanpa sekali pun mengucapkan selamat terhadap hari raya mereka.”

“Hmm… tapi bukan berarti kalau hubungan kita sudah rukun, lantas kita tidak boleh mengucapkan selamat hari raya kepada mereka tho, pak? Kan kita mengucapkannya untuk memperkuat jalinan yang telah ada?”

“Sekarang saya tanya Pak Karman, kalau ada orang yang sedang mabuk datang ke sini, apakah pak Karman akan mengucapkan kepadanya “Selamat Mabuk” dengan alasan agar pemabuk itu hubungannya tetap baik dengan bapak?”

“Kalo itu mah namanya nggak ada kerjaan Pak Kamsud, orang mabuk koq malah diselameti, pertanyaan bapak ini aneh-aneh saja.”

“Baik, saya akan tanya pertanyaan yang lebih aneh lagi; apa pendapat Pak Karman jika kita mengucapkan “Selamat Mencuri” kepada maling saat mencuri, “Selamat Membunuh” kepada pembunuh bayaran saat beraksi, “Selamat Berzina” kepada wts yang mau berangkat “dinas”, atau “Selamat Berjudi” kepada orang-orang yang taruhan gambling di casino, dan juga “Selamat Teler dan nge-Fly” kepada orang-orang yang sedang madat dan mabuk-mabukan di bar ataupun diskotik?”

“Maksud bapak gimana tho? Saya koq belum nangkap?”

“Maksud saya begini Pak Karman, di dalam Islam, dosa itu telah dibagi ke dalam beberapa tingkat, dosa terbesar dan tertinggi itu adalah Syirik dan Kufur, baru setelah itu dosa-dosa lainnya seperti membunuh, mencuri dan sebagainya. Kalo kita merasa janggal mengucapkan “Selamat Mabuk” kepada seseorang saat minum Vodka, atau “Selamat Membunuh” kepada tentara israel saat ngebom Gaza misalkan, aturannya kita lebih merasa janggal lagi jika kita mengucapkan “Selamat Bersyirik” atau “Selamat Berkufur-ria” kepada orang-orang yang secara terang-terangan memperingati hari raya mereka yang sudah jelas itu dosa yang lebih besar daripada minum arak misalkan.”

“Ya beda lah Pak Kamsud, mencuri dan membunuh itu kan menzalimi orang lain, masa kita tega ada orang kecurian justru kita mengucapkan selamat kepada pencurinya? Kalo mengucapkan selamat hari raya kan gak ada yang terzalimi.”

“Nah, itu dia Pak Karman, kepada sesama manusia aja kita gak sampe hati ngucapin kaya gitu, padahal orang yang kecurian itu bisa jadi bukan siapa-siapa kita, lantas bagaimana kita dengan Allah pak Karman? Yang telah memberi kita nyawa, rejeki, kehidupan, dunia dan seisinya, masa’ kita tega banget ngucapin “Selamat” kepada orang yang terang-terangan menyekutukan-Nya? Dimana adab dan nurani kita pak? Sungguh terlalu. Terus, kalo bapak bilang gak ada yang terzalimi itu juga salah pak, sebab orang yang di dalam hatinya terdapat kesyirikan sesungguhnya dia tengah menzalimi diri sendiri. Innas-Syirka ladzulmun ‘adzim. Sesunguhnya syirik itu adalah kezaliman yan sagat besar.”

“Tapi kan, Islam itu agama Rahmatan Lil ‘Alamin pak, tiada paksaan untuk masuk Islam.”

“Pertama, di dalam Al-Qur’an itu yang disebut sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin itu Rasulullah, bukan Islam, walaupun keduanya terdapat keterikatan kuat, tapi ini sekedar informasi saja buat bapak biar gak asal ikut-ikutan dalam menggunakan Istilah. Kedua, paksaan masuk Islam memang gak ada, tapi siksa bagi yang menolak Islam itu kekal dan nyata, pak.”

“Terus begini pak, saat saya misalkan mengucapkan selamat natal, itu kan saya sama sekali tidak mengakui keyakinan mereka. Begitu halnya saat saya datang ke gereja mereka, saya juga tidak ikutan berdoa seperti mereka.”

“Itu sama persis saat bapak pergi ke diskotik dan tempat perjudian. Apakah bapak main judi dan minum arak di sana? Tidak kan? Apakah bapak meyakini bahwa kelakuan para pemabuk dan penjudi itu baik? Tidak kan? Lantas ngapain bapak bela-belain ngucapin “Selamat berjudi” atau “Selamat mabuk” kepada mereka. Ini makanya saya menyebutnya sebagai hal yang tiada gunanya. Unsur manfaatnya itu terletak di mana? Jangan terlalu berkilah dengan memaksakan pembenaran yang terlalu dibuat-buat lah pak.”

“Tapi pak, tadi pagi di TV saya lihat ceramah Syaikh Rojih Al-Mikawy yang membolehkan ucapan selamat Natal kepada kaum Nasrani. Beliau kan ulama besar.”

“Aduh Pak Karman, saya ini hanyalah muqallid yang masih bodoh, mbok ya jangan disamakan dengan Syaikh Rojih. Ketinggian. Beliau itu kan ulama internasional yang sudah diakui di mana-mana. Saya juga banyak mendapat pelajaran dari buku-buku dan ceramah beliau. Jadi kalo seumpamanya saya tak sependapat dengan beliau dalam sebuah masalah, bukan berarti saya selevel dengan beliau. Tidak, sama sekali tidak. Namun saya hanya memandang, pendapat ulama lain yang selevel Syaikh Rojih dalam permasalahan tersebut lebih tepat dan mengena. Oiya, emang tadi pagi apa yang beliau sampaikan?”

“Beliau tadi pagi menyampaikan, bahwa Islam itu sangat toleran kepada Ahlu Kitab, kita dibolehkan memakan hidangan dari mereka, menikah dengan mereka, dan bahkan Islam telah memberikan bagian khusus bagi mereka dari harta Zakat, sebab mereka masuk dalam golongan “Muallafah Qulubuhum”. Islam saja membolehkan hal-hal besar seperti itu, apalagi hanya sekedar ucapan selamat hari raya.”

“Jadi begini Pak Karman, tiga hal yang bapak sebutkan tadi merupakan bukti bahwa Islam sangat toleran dalam berdakwah. Pendekatannya persuasif dan tidak frontal. Kita dibolehkan saling memberikan hidangan kepada Ahlu Kitab, yang dengan demikian dapat menjalin kedekatan. Coba saja bapak kasih saya gratisan makan di Warteg bapak ini semingu sekali saja, pasti di lain waktu saya akan membalas kebaikan bapak, dan dengan demikian kita akan semakin guyub dan rukun. Kedua, lelaki Muslim juga dibolehkan menikahi wanita Ahlu Kitab dan tidak sebaliknya. Mengapa? Karena kepala keluarga itu dominan mempengaruhi anggota keluarganya, sedangkan istri, lebih rentan terpengaruh oleh suaminya. Pak Karman gak percaya? Lihat saja itu ibu-ibu di kampung kita, waktu Pemilu kemarin milih siapa? Rata-rata pasti pilihannya ikut suaminya. Adapun mengenai golongan “Muallafah Qulubuhum” atau orang-orang yang hatinya dapat ditaklukkan dan dikukuhkan kepada Islam, mereka diberi zakat untuk menarik simpati rival-rivalnya yang non-Muslim agar mereka ikut masuk Islam juga. Mereka yang lemah kondisi ekonominya ketika kafir, dengan memberikan zakat kepada mereka tentunya akan membantu finansialnya, sehingga tumbuh di hati mereka rasa mantap bahwa Islam benar-benar Agama yang peduli terhadap kaum lemah. Di samping itu, akan menarik perhatian bagi komunitas lamanya untuk mengikuti jejaknya masuk Islam. Dengan tiga hal ini, sudah terbukti banyak non-Muslim yang akhirnya mendapat hidayah dan masuk Islam. Adapun mengucapkan selamat hari raya kepada mereka, sama sekali tidak bisa disamakan dengan satupun dari tiga hal di atas. Sekarang coba tunjukkan kepada saya satu saja non-Muslim yang masuk Islam karena lantaran diucapkan “selamat” atas hari raya mereka. Kita juga sebagai orang Islam, apakah dengan diberi ucapan Selamat Idul Fitri dari non-Muslim lantas kita terenyuh dan tertarik untuk pindah agama? Sama sekali tidak. Berbeda halnya jika seorang Muslim yang miskin diberi bantuan finansial, berobat gratis dan mie instant, tak jarang yang akhirnya takluk dan rela melepas akidahnya. Selain itu, saya paling tidak setuju apabila selamat hari natal itu dianggap sebagai sekedar ucapan. Coba saja dibalik, orang non-Muslim kita suruh mengucapkan Syahadat dengan alasan itu hanya sebuah ucapan, apa mereka mau?”

“Wah, masuk akal juga keterangan Pak Kamsud. Tapi kalo boleh tahu, inti kesimpulan dari keterangan bapak itu apa sebenarnya?”

“Intinya kembali ke awal. Jika bapak tanya saya tentang hukum mengucapkan selamat hari raya kepada non-Muslim saya hanya bisa mengatakan itu adalah hal yang sia-sia dan tak ada gunanya. Saya tidak berani mengatakan Halal atau Haram karena itu porsinya Mujtahid Fatwa, bukan kapasitas saya. Dan karena di balik Halal atau Haram terdapat konsekwensi panjang yang tidak sepele. Kedua, ucapan Selamat itu paling tepat disematkan kepada Rasulullah dan hamba-hamba yang saleh. Setiap kali kita Shalat di dalam doa Tahiyyat kita membaca; “Assalamu ‘alaika Ayyuhan-Nabiyyu” keselamatan bagimu wahai Kanjeng Nabi. “Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis-Shalihin” keselamatan bagi kita dan bagi hamba-hamba Allah yang saleh. Ini juga selaras dengan Firman Allah; “Wassalamu ‘ala man ittaba’al-Huda” dan keselamatan bagi orang yang mengikuti Hidayah, yaitu ajaran Rasulullah. Adapun yang ketiga, sekaligus ini kesimpulan yang terakhir dan terpenting, perut saya sudah benar-benar lapar Pak Karman. Saya datang ke Warteg bapak kan mau makan, lha koq tiba-tiba baru datang langsung diajak diskusi.”

“Ha ha ha… bisa aja Pak Kamsud ini. Ya sudah pak, monggo dihantam dulu makanannya. Itu pisang goreng kesukaan bapak masih anget, baru saja saya masak.”

“Okelah pak, tolong sekalian minta teh angetnya satu ya.”

Ustadz Musa Yusuf