Sebuah refleksi ..
Aku terbangun di awal waktu sahur, jam menunjuk pukul 03.00, kudapati tempat mushola rumahku temaram. Senyap. Qiyamulail yang telah kubiasakan pun kuurungkan. Aku tersadar; “Oh, iya, ini sudah bukan Ramadhan.”
Aku terbangun lagi pukul 04.00, beberapa menit sebelum waktu imsak. Kudapati meja ruang keluarga kosong melompong dari makanan; kukira hari ini ada sahur. Aku pun menyadari; “Oh, iya, ini sudah bukan Ramadhan.”
Aku sholat Subuh di masjid. Lalu, kudapati masjid lebih sepi. Usai Subuh, kubersiap i’tikaf sejenak sambil membaca Al Qur’an, namun kantuk terasa menguasai. Pikiranku pun makin senang tatkala menyadari; “Oh, iya, ini sudah bukan Ramadhan.”
Aku berangkat sekolah sampai dicegah ayah-ibu. “Nak, belum makan ya?” Aku pun tersenyum sambil berkata pelan,”Oh, iya ini sudah bukan Ramadhan.” Makankupun makin bersemangat, makin lahap.
Aku bertemu orang yang suka mengejekku di tengah jalan. Ketika aku berpapasan, aku diamkan sambil bergumam,”Innii sho’imun-Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Namun, ketika kusadari bahwa; Oh, iya, ini sudah bukan Ramadhan. Aku hampiri dan aku kirim bogem mentah ke wajahnya. “Duaghh”
Aku ujian di sekolah. Awalnya, aku menahan diri untuk tidak mencontek. Karena “ini bukan Ramadhan”, aku pikir bisikan syetan lebih terasa nyata. Dan kesempatan itu pun datang sendiri. Aku mencontek.
Aku menunggu bus di halte. Sambil menunggu, aku hampir saja mengeluarkan Quran miniku, hendak tilawah. Namun, dimana Qur’anku? Oh, iya, sudah ditata rapi di rumah sambil aku bergumam,”Oh, iya, ini sudah bukan Ramadhan.”
Aku melihat nenek tua renta meminta-minta di pinggir jalan. Aku hendak kasih, tapi hanya tinggal 50ribuan. Karena “ini bukan Ramadhan” aku urungkan niatku.
Aku mendengar adzan. Lantas, kususuri jalanan, hendak mengejar waktu sholat. Tapi, bus keburu datang. Karena bukan Ramadhan, aku pun lebih memilih bus.
Aku hendak berbuka, lari-lari aku menghampiri rumah, rasanya senang sekali hendak menyambut buka. Tapi begitu masuk waktu buka, tak ada buka. Ah, yasudah, “Oh, tidak. Aku mulai rindu Ramadhan.”
Aku duduk habis sholat Isya’. Aku sempatkan duduk agak lama. Hey, mana tarawihnya? Mana witirnya? Mana tausiyahnya? Aku pun merenung,”Ya Allah, aku rindu.” Tak terasa tetes mata mengalir pelan .
—
Oh, iya ini sudah bukan Ramadhan, oh iya ini sudah bukan Ramadhan, oh iya, ini sudah bukan Ramadhan? Kenapa kata-kata itu yang kita ucap? Apakah itu berarti sebuah kalimat penyadaran diri yang membuat kita sadar untuk menjauhi amal kebaikan? Atau penegasan bahwa kita sudah bebas dari ketatnya peraturan Ramadhan? Selesainya berlomba-lomba dalam kebaikan? Na’udzubillaahi mindzaalik.
Lihatlah, kebiasaan kita masih membekas. Lihatlah, isyarat kebaikan itu telah mendarah daging di awal Syawal. Namun, hanya karena kita bilang “Oh, iya, ini sudah bukan Ramadhan”. Maka keistiqomahan itu seolah hancur berkeping-keping. Kita sadar dan kita ogahi. Lalu, apa gunanya Ramadhan tampil sebagai Bulan Tarbiyah? Bulan pendidikan yang menempa mental dan fisik orang-orang beriman agar makin kuat, bukan hanya kuat secara momentum saja, seharusnya -pas Ramadhan-, tapi untuk membiasakan meramadhankan bulan-bulan lain. Itulah sesungguhnya, makna pembinaan dalam konteks bulan tarbiyah Ramadhan.
Apakah Ramadhan layaknya seorang raja yang membuat pejabat di bawahnya patuh saja datang ke masjid agar bisa dilihat oleh si raja itu? Kalau tidak ada si raja, ga usah lah yau. Lalu, apakah Ramadhan sekedar tamu agung “lewat” yang kita jamu dengan aneka ibadah meningkat, lalu ketika tamu itu bertolak, kewajiban kita selaku tuan rumah luntur seketika? Ya Allah, semoga tidak, semoga tidak.
Semoga kita menjadi hamba Allah, sesosok hamba yang mencintai Ramadhan karena Allah. Bukan sebaliknya, mencintai Allah karena Ramadhan. Sehingga apabila diserukan bahwa,”Ramadhan pergi! Ramadhan pergi!” Maka mereka menangis bukan karena telah kehilangan bulan penuh bonus pahala, melainkan menangis karena amalnya takut tidak diterima oleh Allah. Ya, bukan pula menangis karena doorprize-doorprize pahala itu telah lenyap disapu Syawal, tetapi menangis karena ketakutan atas ketidakistiqomahannya menghadapi bulan-bulan selanjutnya. Ya, ketakutan bahwa ketaatannya itu karena Ramadhan, bukan karena Allah. Oh, betapa tangis itu bukan tangis harapan akan berkah yang lebih banyak, apalagi gegap gempita ‘Idul Fithri yang sudah menjadi kebiasaan disambut dengan “suka cita”. Namun, tangis kerinduan.. Rindu dan takut.. Akankah kita dipertemukan dengan Ramadhan tahu depan? Akankah ini Ramadhan terbaik yang telah kita tinggalkan? Ya Allah.. Terimalah amal kami!
Apapun penyikapan kita terhadap hilangnya Ramadhan, semoga semua penempaan mental di Ramadhan ini tidak sia-sia. Mampu melahirkan insan-insan bertakwa sesuai visi Al Baqarah 183. Apakah kita termasuk insan bertakwa itu? Tanyakan pada diri.. Pantaskah kita menerima itu!
Bolehlah kita merevisi kalimat “penyadaran bukan Ramadhan” tadi dengan;
“Oh, iya, ini sudah bukan Ramadhan, itu artinya, kini aku harus membiasakan apa yang sudah kulakukan selama Ramadhan”
Oleh: Nur Syamsudin