Mumpung isu pemberangusan media Islam masih hangat, dalam artikel ini saya ingin menuliskan kisah ayahku yang berdarah Madura (Bangkalan), didikan Pesantren dan kental dengan sopan santun kepada Kiai. Beliau ini sosok yang unik dan langka, karena sebagai warga Nahdliyin di kampung Kotalama, kota Malang; ternyata saat mudanya suka baca buku dan media cetak Islam. Kebiasaan inilah yang nantinya menurun kepada anak-anaknya, termasuk saya.
Sebagai orang NU, anehnya ayah tidak punya sebiji pun buku-buku karangan kiai dan tokoh-tokoh yang duduk di kepengurusan PBNU. Justru saya ketahui, beliau memiliki koleksi buku-buku Bey Arifin, cerita silat Ko Ping Ho, Memoar Hasan al-Banna dan bukunya A. Hassan (tokoh Islam modernis). Selain buku, semasa mudanya, ayahku mengkoleksi Majalah al-Muslimun dan mengikuti beberapa edisi majalah Panjimas. Konon, majalah al-Muslimun ini dihibahkan kepada guru ngaji saya di kampung Kotalama, namanya Mas Mulyono. Mas Mul ini seorang anggota GP Anshor asal Madura. Karena cerdas dan fasih baca kitab kuning, beliau direkrut Muhammadiyah kota Malang.
Ayah sempat bilang, “Kalau tahu kau suka baca, Majalah al-Muslimun tersebut tidak akan aku lepas.”
Majalah ini punya pengaruh besar dalam pembentukan paham keislaman ayah. Melalui majalah inilah, ayah mendapat pencerahan. Sebagaimana bung Karno mendapat pencerahan dari A. Hassan sewaktu diasingkan di Ende, Flores. A. Hassan dikenal tokoh memiliki penguasaan ilmu fiqh, qawaid fiqhiyah dan ilmu mantiq yang bagus sehingga argumen-argumennya sistematis dan tidak bertele tele. Ini berbeda dengan Kiai, yang tarulah sama-sama penguasaan ilmu fiqh tetapi dalam berargumen masih mengutip utuh teks kitab kuning. Begitu analisis ayah.
Media Muslim modernis yang pertama hadir di bumi nusantara adalah Majalah al-Manar. Bila pembaca melihat film Sang Pencerah, Majalah ini diperkenalkan oleh KH Ahmad Dahlan.
Kembali ke majalah al-Muslimun, pengaruh dari medianya Muslim modernis ini berimbas pada amaliah ibadah ayah. Tidak seperti warga Nahdliyin lainnya yang menganggap tradisi ke-NU an “wajib” khususnya tahlilan, yasinan dan lain-lain.
Ayah termasuk orang NU di Kotalama yang tidak menganggap itu sebagai sebuah keharusan. Beliau adalah orang yang pertama di kampung yang tidak menggelar tingkepan (tradisi 7 bulanan) saat hamilnya ibu saya. Malah beliau berani tidak mengadakan tahlilan untuk kembaran saya yang wafat berusia 6 hari. Namun tidak semua amaliah atau tradisi NU yang ditinggalkan ayah. Misalnya tasyakuran haji masih tetap digelar ketika tahun 1996 dan Syukuran pindahan rumah dari Kampung kotalama ke perumahan Sawojajar.
Untuk urusan perayaan hari Ied Fitri, ayah tidak patuh keputusan PBNU. Beliau mengacu pada putusan Saudi. Katanya, “Saudi dan Indonesia Cuma selisih 4 jam, jadi semisal hilal tak terlihat di Indonesia, kita bisa menanti putusan pemerintah Saudi.”
Selain terhadap amaliah, pengaruh bacaan beliau juga berimbas kepada orientasi politik dan pemilihan lembaga pendidikan. Dalam hal politik, ayahku simpatisan Masyumi. Menariknya beliau mendapat jodoh seorang muslimah Muhammadiyah yang berasal dari keluarga Masyumi. Ibuku seorang keturunan Madura (Bangkalan). Beliau dididik kental dengan tradisi Muhammadiyah. Bahkan sekolahnya pun di lembaga milik Muhammadiyah. Meski ayah beristrikan seorang yang berbeda kultur agama, tapi beliau tidak otoriter dan memaksa istrinya ganti haluan menjadi NU.
Karena kagum kepada kebesaran partai Masyumi, dari pemilu 2004 hingga 2014, ayah memilih dukung PKS. Beliau mengaku dukung PKS karena 2 hal: Partai ini dipandang reinkarnasi Masyumi dan di dalamnya diisi anak-anak muda yang pintar seperti Mahfud Shiddiq, Fahri hamzah dan Anis matta. Ketika 2008 dan 2010 PKS deklarasi jadi partai terbuka, dukungan beliau tidak surut. Malah beliau mendorong saya menjadikan fenomena pergeseran paradigma politik PKS sebagai bahan tesis di Pascasarjana UIN Malang.
Hasil tesis tersebut saya paparkan kepada ayah dan ibu. Setelah mereka mendapat penjelasan dari saya, mereka hanya berkomentar, “Jadi partai terbuka terutama di daerah bukan basisnya maupun minoritas muslim merupakan sebuah keharusan dalam politik.” Mereka menambahkan, “Yang penting liqa’ tetap jalan dan dakwah di parlemen tidak surut.”
Dalam pendidikan, ayah dan ibu tidak menyekolahkan saya dan adik ke lembaga pendidikan NU. Saya disekolahkan ke Madrasah milik pemerintah seperti MTSN 1 dan MAN 3 malang. Ketika itu kepala sekolahnya masih bapak Abdul djalil. Sosok yang berhasil membangkitkan MIN Malang 1, MTSN 1 dan MAN 3 malang dari sekolah pinggiran menjadi sekolah favorit. Sebelum menutup artikel ini, dari luasnya bacaan ayah, beliau sering mengingatkan kepada saya dan adik, “Fanatiklah kepada Islam, soal NU dan Muhammadiyah, itu tidak ditanyakan di alam kubur.”
Wallahu a’lam bishawwab.