Pengakuan dan Awal Kembalinya Kejayaan
Tahun ke-sebelas hijriah, ketika mendung kedukaan yang menyelimuti Madinah karena kepergian sang lelaki utama untuk selama-lamanya, Rasulullah saw., perlahan sirna dan berganti dengan kesuraman pengkhianatan-pengkhianatan sebagian penduduknya. Kala itu, kemunafikan mulai terlihat marak merebak di Madinah dan sekitarnya, pasca wafatnya sang utusan.
Tidak sedikit dari suku-suku Arab di sekitar Madinah yang murtad, menyatakan bahwa diri mereka keluar dari Islam. Pembelotan itu tak hanya sebatas itu, masih ditambah dengan keenggaan mereka untuk tetap membayar zakat, kepada pengganti Rasulullah saw., Abu Bakr Ash Shidiq r.a. Ketika itu, Shalat Jum’at tak lagi didirikan kecuali di kota Makkah dan Madinah. Satu kota di kawasan Bahrain bernama Juwatsan, adalah satu kota selain Madinah dan Mekkah yang pertama kali mendirikan Shalat Jum’at setelah pemurtadan-pemurtadan itu berhasil dipadamkan dan situasi mulai tenang kembali.
Di antara negeri yang tetap istiqamah ternaung dalam peluk kedamaian Al Islam adalah negeri Tsaqif di Thaif. Penduduk di negeri ini tidak lari dan tidak pula murtad sebagaimana kawasan tatangganya yang lain, yang lebih memilih kembali kepada kesesatan selepas sang Qudwah meninggal. Mendengar negeri Tsaqif di Thaif, tentulah pikiran ini tak hendak meronta, ketika kembali teringat tentang satu kawasan di masa-masa awal da’wah Rasulullah saw., yang melakukan penolakan paling keras, dan bahkan menyakiti beliau. Ya, penduduk Thaif kala itu adalah pelakunya, yang memprovokasi para budak untuk melempari Rasulullah saw. dengan kerikil dan bebatuan, hingga kaki sang lelaki mulia itu berdarah-darah, terseok langkahnya lari dan mengurungkan melanjutkan da’wahnya di tempat itu.
Kita ingat, dalam keadaan yang demikian terdzalimi, lelaki itu masih mengedepankan rasa cintanya pada ummat yang seharusnya dibinanya, dengan menolak bantuan Jibril yang hendak menindihkan gunung Uhud kepada penduduk thaif yang mendurhakai beliau. Ahh… mungkin jikalau saat itu rasulullah mengedepankan emosi manusianya, maka lulu lantaklah Thaif kala itu, termasuk pula generasi andalan anak keturunan mereka, yang justru di masa selepas wafatnya Rasulullah adalah sekelompok dari sebagian kecil yang masih kukuh berdiri dalam manhaj ilahiah, ketika di tempat lain justru tergerus oleh kemurtadan.
Kembali ke masa terjadinya serangkaian kemurtadan pasca wafatnya rasulullah saw., ketika itu Abu Bakr r.a. adalah lelaki terpilih diantara sekian banyak shahabat di kalangan Muhajirin dan Anshar, setelah melalui musyawarah yang alot di antara dua golongan tersebut karena keduanya sama-sama memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap bergulirnya da’wah islam, terutama di Madinah. Maka mencegah terjadi perselisihan diantara kedua golongan itu, sekaligus untuk menghindari bai’at yang dibuat oleh kaum anshar tanpa kerelaan kaum Muhajirin, maka ‘Umar ibn Khaththab r.a. langsung meminta Abu Bakr r.a. untuk menjulurkan tangan, dan kemudian dengan serta merta diikuti oleh seluruh yang hadir di majelis itu, pun termasuk golongan anshar.
Dan di sela-sela pembai’atan itu, Ibnul Khthtab berkata, “Demi Allah, kami tidak pernah menemui perkara yang lebih berat dari perkara bai’at terhadap Abu Bakr. Kami sangat takut jika kami tinggalkan mereka tanpa ada yang dibai’at, maka mereka kembali membuat bai’at. Jika seperrti itu kondisinya, kami harus memilih antara mematuhi bai’at mereka padahal kami tidak merelakannya, atau menentang bai’at yang mereka buat yang pasti akan menimbulkan kehancuran. Maka barang siapa membai’at seorang amir tanpa musyawarah erlebih dahulu, bai’atnya dianggap tidak sah. Dan tidak ada bai’at terhadap orang yang mengankat bai’at terhadapnya; keduanya harus dibunuh.”
Menjadi khalifah pengganti rasulullah saw. yang mulia tentulah bukan perkara mudah, meski awal mulanya antara kaum Anshar dan Muhajirin sama-sama menghendaki amanah itu teremban pada salah satu lelaki diantara golongan mereka. Masih terus dan harus ada serangkaian perjuangan untuk mengislamkan seluruh pelosok bumi, di samping gerakan riddah (kemurtadan) yang justru kian menjamur dari waktu kewaktu dan menuntut untuk mendapat porsi perhatian yang cukup untuk kembali diluruskan. Dan itu adalah tantangan yang harus dihadapi oleh sang Khalifah pengganti.
Sebelum wafat, rasulullah saw. telah sempat menginstruksikan sebuah pasukan dibawah piminan ‘Usamah ibn Zaid agar berjalan menuju tanah al Balqa’ yang berada si Syam, dengan misi agar pasukan ‘Usamah segera menaklukkan wilayah tersebut. Sebuah ekspansi da’wah. Maka berangkatlah pasukan ‘Usamah ke Jurf dan mendirikan perkemahan di sana untuk sementara waktu. Ada perbedaan pendapat mengenai keikutsertaan Abu Bakr dan ‘Umar ibn Khaththab dalam pasukan ‘Usamah ini. Maka pendapat hasil kompromi, sebagaimana yang dituliskan oleh Ibnu Katsir adalah hanya ‘Umar saja yang ikut serta dalam pasukan ‘Usamah, karena hingga wafatnya rasulullah pasukan ini masih bertahan di Jurf, sementara itu, menjelang wafatnya rasulullah saw. pun Abu Bakr adalah orang yang ditunjuk untukk menjadi imam shalat. Maka, tak heran jika kemudian sesaat setelah rasulullah saw. wafat, ‘Umar yang saat itu baru datang langsung berteriak-teriak mencoba menolak kenyataan bahwa manusia yang paling dicintainya itu telah tiada.
Sebuah rencana besar demi sebuah ekspansi da’wah di seluruh ufuk bumi harus berbagi perhatian dengan upaya pembinasaan bibit-bibit gerakan Riddah (kemurtadan) yang kian marak menyeruak menggerogoti aqidah penduduk Madinah dan sekitarnya. Banyak pihak yang mengusulkan kepada Abu Bakr untuk menunda keberangkatan pasukan ‘Usamah ke Syam demi menjaga stabilitas di Madinah. Apalagi, situasi ketika dulu pasukan ‘Usamah dipersiapkan untuk berangkat jauh berbeda dengan situasi saat itu, dulunya situasi di Madinah berada dalam kondisi aman. ‘Umar ibn Khaththab adalah salah satu yang mengusulkan penundaan pemberangkatan pasukan itu.
Saif ibn ‘Umar berkata, diriwayatkan dari Hisyam ibn Urwah dari bapaknya, bahwa tatkala Abu bakr ash shidiq mengumpulkan kaum Anshar dalam menyikapi perselisihan mengenai pemberangkatan pasukan ‘Usamah, Abu Bakr berkata, “Pasukan ‘Usamah akan tetap diberangkatkan, sebab orang-orang Arab telah kembali murtad, baik secara umum amupun khusus di tiap-tiap kabilah. Kemunafikan kini telah menampakkan diri, dan Yahudi maupun Nashrani bersiap mengintai kaum Muslimin yang ibarat domba kehujanan di tengah malam gelap gulita setelah mereka kehilangan rasulullah saw., dan jumlah mereka yang minoritas di tengahtengah musuh yang mayoritas.”
Seorag shahabat menyanggahnya, “Sesungguhnya pasukan ‘Usamah adalah mayoritas kaum Muslimin, sementara orang-orang Arab sebagaimana Engkau lihat bersiap-siap untuk menyerang. Sungguh tidak bijak jika Engkau memecah jumlah kaum Muslimin!”
Namun demikian, Abu Bakr tegas menolak usulan itu, dan tetap kukuh pada pendiriannya untuk segera menyegerakan keberangkata pasukan ‘Usamah, meski bumi Madinah pun membutuhkan mereka. “Demi Allah aku tidak akan melepas buhul yang diikat oleh Rasulullah saw. walaupun burung menyambar kita dan seluruh binatang buas di sekitar Madinah menyerang kita, bahkan sekali pun anjing-anjing mengejar kaki-kaki Ummahatul Mu’minin –istri-istri rasulullah- aku akan tetap menjalankan misi pasukan ‘Usamah. Dan aku juga akan memerintahkan agar orang-orang tetap berjaga di sekitar Madinah. Aku tetap jalankan pasukan tersebut walaupun todak ada lagi sorang pun di dalam kota ini kecuali diriku.”
Yang terjadi di Makkah tak jauh beda dengan Madinah. Banyak penduduk Makkah yang kemudian ingin kembali Murtad, hingga Attab ibn Asid, gubernut Makkah kala itu sangat mengkhawatirkan keberadaan mereka tatapi justru bersembunyi. Hingga kemudian, muncul lah Suhail ibn ‘Amr mengupayakan kembali stabilitas Makkah. Ia dengan tegas berkata, “Wafatnya Rasulullah saw tidak menambah islam kecuali semakin kuat, maka barangsiapa kami curiagai keluar dari agama ini, niscaya akan aku penggal kepalanya!” Tantu kita tak asing lagi dengan shahabat yang dulu giginya urung ditanggalkan oleh ‘Umar ibn Khaththab ketika ia menjadi tawanan di perang Badar ini. Akhirnya orang-orang kembali kepada islam dan menghentikan keinginannya untuk murtad. Sang Gubernur Makkah pun kembali muncul.
Selang hari berganti, jumlah penduduk Arab yang murtad kian bertambah. Mayoritas Bani Hanifah dan orang-orang di Yamamah berkonspirasi dengan Musailamah Al Kadzdzab. Ban Asad dan Thayyi’ bergabung dengan Thulaihah al Asadi. Baik Musailamah maupun Thulaihah adalah para pendusta yang mengaku-ngaku dirinya sebagai nabi. Suku Mudzhij dan sekutunya di bawah pimpinan Aswad bin Ka’ab al-Ansi, suku Rabi’ah di bawah pimpinan al-Marrur ibn Nu’man, dan juga Bani Sulaim di bawah pimpinan Iyas ibn Abdullah ib Abdi Ya Lail. Bani Tamim pun murtad, di bawah pimpinan Sajah, seorang wanita tukang sihir.
Keberangkatan pasukan ‘Usamah ke Syam tentulah peluang bagi para bibit pemberontak ini untuk melancarkan serangan ke jantung kota Madinah karena bala terntara Muslimin di Madinah semakin berkurang. Banyak suku Arab di sekitar Madinah sudah bersiap untuk menghabisi dan merebut kota Madinah, namun Abu Bakr langsung tanggap dengan mendirikan pos-pos keamanan di sekitar Madinah. Shahabat yang ditunjuk untuk menjadi pemimpin di pos tersebut diantaranya adalah Ali ibn Abi Thalib, Zubair ibn Awwam, Thalhah bin Ubaidilah, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn Aus, dan Abdullah ibn Mas’ud.
Kemurtadan orang-orang itu beriring dengan ketidakmauan mereka membayar zakat kepada Abu bakr. Mereka menjadikan ayat ke-103 Surat At-Taubah sebagai dalih atas keingkaran mereka, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Mereka berkata, “Kami tidak akan membayarkan zakat kami kecuali kepada orang yang do’anya menentramkan hati kami. Kami akan selalu patuh ketika Rasulullah ada di antara kami. Alangkah aneh, kenapa kami harus patuh kepada Abu Bakr?” Dalam tarikh Ath Thabrani dikatakan bahwa yang berkata demikian adalah Abdullah al Laisi.
Menanggapi mereka, para shahabat mengusulkan agar membiarkan saja dulu, sembari melunakkan hati mereka dengan iman di dada mereka hinga kuat, dan mereka kembali mau membayar zakat. Namun kali ini, Abu Bakr yang demikian lembut itu tidak menerima usulan halus tersebut, dan bersikeras untuk menumpas para Murtadin itu.
Menanggapi para Murtadin itu, Abu Bakr mengerahkan seluruh penduduk Madinah yang tersisa dan para pemimpin di Pos perbatasan untuk menyerbu orang-orang Arab yang murtad di sekitar Madinah. Peristiwa ini terjadi di bulan Jumadil Akhir tahun ke-11 Hijriah. Tatkala pasukan Muslimin bertemu dengan usuh yang berasal dari Bani Abs, Bani Murrag, Dzubyan dan sebagian Bani Kinanah, datang bala bantuan musuh datu Thulaihah. Pasukan musuh berhasil membuat tipu daya dengan meniupkan suara seruling dari atas gunung yang membuat unta kaum muslimin kocar-kacir. Akhirnya kaum Muslimin kembali ke Madinah sebelum berhasil menumpas mereka. Setelah peristiwa ini, pasukan musuh menganggap pasukan Muslim sudah lemah dan mereka meminta untuk didatangkan bala bantuan untuk merengsek maju menyerang pasukan Muslim keesokan harinya.
Namun di Akhir malam itu, Abu Bakr r.a. keluar membawa seluruh pasukan untuk menyerbu musuh. Sayap kanan dipimpin oleh Nu’man ibn Muqarrin, di sayap kiri oleh Abdullah ibn Muqarrin, dan di garis tengah oleh Suwaid ibn Muqarrin. Pasukan musuh tidak menyadari kedatangan kaum Muslimin hingga pedang-pedang pasukan muslim menghabisi mereka dan membuat mereka lari tunggang langgang. Dalam perang ini, pimpinan mereka, Hibal, terbunuh dan pasukan Muslim berhasil mengejar mereka hingga Dzil Qashshah, jarak satu mil dari Kota Madinah ke arah Najed. Dan inilah awal kemenangan, dimana orang-orang musyrik makin dihinakan dan Muslimin menjadi semakin mulia dan disegani. Dengan peperangan ini, kaum muslimin semakin ditakuti setiap kabilah di Arab. Dan pengakuan akan eksistensi pasukan Muslim semakin kuat. Tentulah ini adalah modal awal untuk rangkaian ekspansi selanjutnya, dimana masih banya pelosok bumi yang menunggu kehadiran dien Al aI Islam yang mencerahkan.
Hasil nyata dari pertahanan sekaligus penyerangan yang di lakukan Abu Bakr dan sisa pasukan Madinah mulai tampak. Pada malam hari berikutnya mulai berdatangan di Madinah zakat yang diserahkan oleh Adi bin Hatim, Shafwan, dan Az Zibriqan. Ketiganya adalah para pemungut zakat yang memang diutus oleh abu Bakr. Fakta lain yang menggembirakan segenap hati umat Muslim adalah keberangkatan pasukan ‘Usamah yang ternyata membawa banyak kemashlahatan besar. Setiap kali mereka melewati perkampungan Arab, pasti timbul rasa gentar bagi mereka untuk memberontak. Keputusan yang tepat telah diambil oleh sang khalifah, yakni tetap mengirimkan pasukan untuk upaya ekspansi dan penaklukan. Nyaris tiap kabilah yang dilalui pasukan ini bergumam, “Tidak mungkin pasukan sebesar ini keluar kecuali mereka telah memiliki pertahanan yang kuat di Madinah.”
Ketika pasukan ‘Usamah ini kembali ke Madinah, Abu Bakr langsung mengangkatnya menjadi amir, untuk menjalankan pemerintahan sementara waktu, meggantikannya. Abu bakr memilih untuk turut bertempur bersama pasukannya ke Dzil Husan dan Dzil Qashshah, guna memerangi mereka para Murtadin. Tempat itu berjarak satu Marhalah dari kota Madinah.
Pada dasarnya, islam memberikan pilihan bagi daerah yang hendak ditaklukannya. Apakah akan menerima da’wah Islam dan berada dalam perlindungan khilafah, ataukah menolak dengan damai seraya membayar jizyah dan selanjutnya akan berada dalam perlindungan khilafah, ataukah diperangi jika memang tak ada lagi harapan untuk diajak dalam dua pilihan sebelumnya. Maka, peperangan demi peperangan dilancarkan Abu Bakr Ashshidiq sebagai serangkaian perjuangan atas apa yang diajarkan rasulullah saw. Dan perang yang diikuti Abu bakar ini menuai kemenangan dan berhasil kawasan Al Abraq, menekuklututkan Bani Abs, bani Dzubyan, dan sebagian Bani Kinanah.
Di Dzil Qashshah, para shahabat membujuk sang khalifah agar kembali ke Madinah sementara posisi pimpinan untuk gerak selanjutnya diserahkan kepada para panglima muslim, maka dilantiklah para kepala batalyon guna mengemban misi penumpasan gerakan riddah.
Khalid ibn Waalid bertugas menumpas Thulaihah bin Kuwailid, Ikrimah ibn Abu Jahl bertugas menumpas Musailamah dibantu oleh Syurahbil bin Hasanah, Muhajir bin Abi Umayyah bertugas menumpas pasukan Al ‘Ansi, Khalid ibn Sa’id bin Al Ash bertugas berangkat ke perbatasan kota Syam, Amr bin Ash bertugas berangkat menuju Juma’,Hudzaifah bin Mihshan bertugas meumpas penduduk Daba di kawasan Oman, Afrajah ibn Hartsamah bertugas berangkat ke Mahrah, Thuraifah bin Hajiz bertugas menundukkan suku Hawazin dan Bani Sulaim, Suwaid bin Muqarrin diperintahkan menuju Tihamah di Yaman, serta Al Ala’ ibn Hadhrami dikirim ke Bahrain. Masing-masing panglima itu berangkat dari Dzil Qashshah dengan dibekali sepucuk surat dari Abu Bakr yang ditujukan kepada kelompok-kelompok Murtadin itu, sebagai ultimatum. Diantara isi surat tersebut adalah perintah untuk mengumandangkan kembali adzan sebagai tanda keislaman mereka yang akan menyelamatkan mereka dari gempuran pasukan Muslim. Dalam surat itu juga terdapat janji perlindungan dan bantuan bagi pihak yang mau menerima da’wah islam kembali, serta ancaman untuk diperangi jika menolak.
Maka, perjuangan selanjutnya dari masing-masing panglima tadi adalah serangkai kisah heroik yang mengantarkan Islam melebarkan kepak sayapnya. Berawal dari sebuah upaya pembangunan opini pada seantero jagad akan sebuah kekuatan yang tangguh, meski sebenarnya rapuh. Ya, kita akui, kala pasukan ‘Usamah tetap diberangkatkan ke Syam, maka stabilitas Madinah berada dalam kondisi yang genting. Kondisi yang membuat para shahabat cemas dan ragu akan keputusan pengiriman pasukan ‘Usamah. Namun, taktik jitu dan daya tanggap sang khalifah mampu meredam kecemasan itu perlahan, dan justru membalikkanya menjadi sebuah kelegaan karena sukses yang dituai baik oleh pasukan yang tetap dikirim pergi maupun oleh penghuni yang tersisa di Madinah, segala puji hanya bagi Allah swt.
Berangkat dari sebuah pengakuan bahwa kaum Muslim semakin disegani, menjadikan langkah ekspansi da’wah dan penumpasan gerakan riddah semakin leluasa. Ketaatan penduduk untuk membayar zakat pun bisa kembali terwujud karena keseganan mereka terhadap pemerintahan islam yang stabil, yang demikian kukuh menerapkan apa yang sejatinya wajib untuk diterapkan. Kemurtadan demi kemurtadan yang berhasil ditumpas selanjutnya, bukan tanpa pengorbanan. Ada darah, ada air mata. Ada kesalahpahaman diantara para shahabat, beriring upaya untuk saling memaafkan dan mengikhlaskan. Dan semua itu menorehkan kisah indah yang mengantarkan Islam dalam kejayaannya yang selanjutnya, yang masih harus diperjuangkan hingga kini. Dan semua itu menjadi pelajaran berharga bagi manusia-manusia yang mencoba meretas asa tentang kejayaan Islam yang perlahan akan kembali terwujud, dalam keridhaan Ilahi.