Barangkali setiap orang yang mempelajari mazhab Imam Asy Syafi’i tidak ada yang tidak kenal dengan murid beliau yang bernama Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi. Beliau adalah salah seorang murid terbesar Imam Asy Syafi’i yang sudah berjasa menjadi generasi pelanjut, yang menyebarkan ilmu-ilmu beliau.
Rabi’ mendapatkan rekomendasi istimewa dari Imam Asy Syafi’i sebagai perawi kitabnya. Keulamaannya diakui oleh seluruh orang. Dengan itu beliau berhak menyandang gelar Imam. Terdapat 200 orang murid brilian yang berguru kepada Rabi’ bin Sulaiman, yang menjadi generasi pewaris ilmu Imam Asy Syafi’i.
Beliau dikaruniai umur yang panjang, sampai 96 tahun. Dilahirkan pada tahun 174 H dan meninggal pada tahun 270 H. Beliau meninggal 66 tahun setelah Imam Asy Syafi’i wafat. Masa yang cukup lama itu beliau habiskan untuk melanjutkan mazhab gurunya, hingga menjadi mazhab terbesar yang diikuti oleh umat Islam seantero dunia.
Salah satu hal yang sangat menarik dari perjalanan beliau dalam menuntut ilmu, sebagaimana diceritakan Imam As Subky di dalam kitab Tabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra, bahwa di awal belajar kepada Imam Asy Syafi’i beliau bukanlah seorang yang cerdas. Bahkan bisa dikatakan murid yang sangat lamban.
Bagaimana tidak, dalam satu majelisnya, Imam Asy Syafi’i sampai harus mengulang satu permasalahan sebanyak 40 kali, namun beliau tetap tidak paham. Beliau beranjak dari majelis tersebut dalam keadaan sangat malu. Karenanya Imam Asy Syafi’i mengundangnya untuk belajar secara privat dan mengulang pelajaran sampai ia paham.
Bisa dibayangkan bagaimana sabarnya Imam Asy Syafi’i dalam menghadapi muridnya yang satu ini. Satu masalah diulang sampai 40 kali masih juga belum paham. Namun ketulusan niat dan kemauan yang lebih keras dari baja, serta lebih kokoh dari pada batu karang, membuat Imam Asy Syafi’i kasihan dan terdorong untuk mengajarinya dengan sangat serius. Hebatnya, murid seperti itu akhirnya sampai pula ke derajat Imam.
Barangkali kita tidak akan menemukan seorang pendidik yang begitu sabar dalam menghadapi anak didiknya, apalagi orang sekelas Imam Asy Syafi’i. Untuk apa beliau mengkader murid yang sangat lamban dalam memahami, padahal banyak murid cerdas yang ingin berguru kepadanya? Untuk apa menghabiskan energi dan waktu demi seorang murid yang lamban? Tapi itulah pelajaran yang sangat penting, yang akan menjadi teladan bagi seluruh guru dan pendidik setelah beliau.
Sebagian lembaga pendidikan sangat bangga dengan kemampuannya menghasilkan anak didik yang pintar-pintar. Padahal dari awal, untuk masuk sekolah itu saja sudah melalui tes yang berliku. Hasilnya, anak-anak cerdas dan berkemampuan tinggi saja yang bisa bersekolah di sana. Kalau kondisinya seperti itu, di mana letak keistimewaannya?
Sebaliknya di pihak murid, kita juga mendapatkan pelajaran dan keteladanan yang luar biasa. Bagaimana kuatnya keinginan Rabi’ bin Sulaiman untuk menjadi seorang yang berilmu. Beliau tidak mau pasrah dengan kondisi dirinya yang lemah. Untuk itu beliua rela menjadi pembantu atau pelayan gurunya. Dan beliau betul-betul menjadi pelayan terbaik yang setia. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Tidak ada seorangpun yang memberikan pelayanan kepadaku sebagaimana yang diberikan Rabi’ bin Sulaiman.”
Beliau juga berkata, “Betapa aku mencintaimu wahai Rabi’. Andaikan aku bisa menyuapimu dengan ilmu pasti akan aku lakukan.”
Gayung bersambut. Kecintaan seorang guru kepada muridnya dihadapi dengan usaha keras dalam belajar, disertai dengan adab dan pelayanan yang luar biasa. Dampaknya pun luar biasa. Gunung kebodohan yang menjadi penghalang seorang murid untuk pintarpun hancur lebur berantakan. Usaha keduanya, guru dan murid yang hebat itu, diberkati oleh Allah. Sampai hari ini, keberkahan dan nikmat itu bisa kita rasakan.
Kesimpulannya, bila seorang guru atau pendidik seikhlas dan setabah Imam Asy Syafi’i bertemu dengan seorang murid yang memiliki ketulusan dan kemauan seperti Imam Rabi’ bin Sulaiman, maka akan tercipta hasil didikan yang luar biasa.
Semoga Allah meninggikan derajat keduanya di sisi-Nya.
Ustadz Zulfi Akmal, Lc. MA.