Pengantar
Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama, dalam membentuk jati diri generasi penerus bangsa(1). Anak-anak yang dilahirkan dalam bingkai keluarga adalah aset utama penerus pembangunan nasional, yang oleh karenanya harus dicetak untuk memiliki karakter yang kokoh dan memiliki jati diri bangsanya. Perwarisan nilai-nilai budaya sangat tepat dilakukan di lembaga keluarga, karena pendidikan dalam keluarga merupakan modal dasar bagi perkembangan kepribadian anak pada masa dewasanya.
Para ahli pendidikan meyakini, pada tiga tahun pertama usia anak adalah fase pembangunan struktur otak, sedangkan usia tujuh tahun hampir sempurna otak dibentuk. Pada umur-umur tersebut, anak sebagian besar waktunya berada di rumah. Dengan demikian keluarga sangat memberikan pengaruh dalam pembentukan kepribadian yang mendasar seseorang, seiring dengan fase perkembangan otak tersebut.
Namun sekarang ini banyak keluarga yang rapuh yang kurang mempunyai daya tahan, sehingga mudah mengalami guncangan dan disfungsi. Data statistik lembaga Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre (WCC) tahun 2009 mencatat jumlah layanan pengaduan dan bantuan diberikan kepada 204 orang perempuan dan anak-anak yang mengalami kasus kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yaitu 91,67% di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor dan sekitarnya.
Meskipun jumlah perempuan korban yang ditangani Mitra Perempuan tahun 2009 menurun 26,88% dibandingkan tahun sebelumnya (2008: 279 orang, 2007: 283 orang), tetapi jenis kasus dan dampak kekerasan yang dialami oleh korban cukup serius dan terjadi peningkatan jumlah perempuan yang menempuh upaya hukum sebagai implementasi Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga(2).
Data-data di atas hanyalah contoh sebagian fakta tentang kondisi keluarga di Indonesia, dimana sangat rentan terhadap munculnya berbagai macam permasalahan hingga ke tingkat kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Dampak dari globalisasi telah memasuki wilayah privat, yaitu kehidupan dalam keluarga. Struktur keluarga tradisional telah berubah, terutama di kota-kota besar.
Tingginya tingkat perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, munculnya ibu yang masih remaja, ibu yang bekerja yang seluruh waktunya tercurah untuk pekerjaan di luar rumah, adalah bagian dari perubahan bentuk dan struktur keluarga. Keluarga konvensional yang konsepnya adalah solidaritas, saling menerima, saling percaya, saling tergantung satu sama lain untuk saling memenuhi keiginan dan kebutuhan sehingga tercapai ketentraman dalam kehidupan keluarga, pada saat ini hal tersebut dianggap sudah tidak layak dan tidak sesuai lagi, karena dianggap tidak modern.
Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, keluarga dan masyarakat. Heilbroner menyatakan bahwa “masa depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu”.
“Dengan kata lain”, lanjut Heilbroner, “manusia yang tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya akan dibawa oleh arus perubahan yang dahsyat yang membawanya ke tempat yang tidak dikenalnya. Maka hasilnya sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan di dalam ketidakpastian atau chaos”(3).
SPONSORED: Alat Peraga Pendidikan
Padahal jika ditilik dari fungsinya, keluarga adalah lembaga pendidikan pertama yang membentuk alam spiritual dan moral seorang anak bangsa. Pendidikan nilai di dalam keluarga merupakan pokok utama bagi bertahannya manusia yang bermartabat dan memiliki jati diri yang utuh. Pendidikan nilai ini tidak bisa ditipkan kepada lembaga pendidikan formal saja, atau kepada Pemerintah, atau diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat, namun harus dimulai dan dibingkai dalam kehidupan keluarga.
Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan bermula. Apabila salah dalam pendidikan awalnya, peluang untuk terjadi berbagai distorsi pada diri anak lebih tinggi. Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan dalam keluarga menjadi semakin terasakan urgensinya, ketika kita mendapatkan kenyataan buruknya kondisi kehidupan saat ini. Masih tingginya tingkat korupsi, banyaknya penyalahgunaan wewenang dan jabatan, banyaknya penyimpangan moral, menandakan belum bagusnya kualitas pendidikan, termasuk di dalam keluarga.
Untuk menyelesaikan berbagai persoalan moral bangsa Indonesia, tidak cukup dengan memberikan pendidikan moral. Karena moral tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dan terpengaruh oleh aspek yang lain. Oleh karena itu, upaya yang perlu dihadirkan adalah pendidikan yang bercorak integral, yang memadukan berbagai sisi dan dimensi kemanusiaan secara utuh. Pendidikan integratif yang diimplementasikan dalam keluarga akan menghasilkan produk yang berkualitas, sebagai bahan baku meretas peradaban bangsa di masa depan yang lebih baik.
Perubahan sosial, budaya dan politik dari masyarakat senantiasa beranjak dari perubahan individu dan keluarga. Tak bisa disangsikan lagi, bahwa keluarga merupakan laboratorium bagi sebuah peradaban masa depan bangsa yang dicitakan.
Pendidikan Integratif
Ada delapan sisi yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan integratif dalam keluarga, yaitu pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan intelektual, pendidikan emosi (psikis), pendidikan sosial, pendidikan seksual, dan pendidikan politik.
a) Pendidikan Iman
Pendidikan iman merupakan pondasi yang kokoh bagi seluruh bagian-bagian pendidikan. Pendidikan iman ini yang akan membentuk kecerdasan spiritual. Komitmen iman yang tertanam pada diri setiap anggota keluarga akan memungkinkannya mengembangkan potensi fitrah dan beragam bakat. Yang dimaksud dengan keimanan adalah keyakinan akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Melihat perbuatan manusia, Tuhan Yang Maha Membalas perbuatan manusia, Tuhan Yang Maha Adil dalam memberikan hukuman dan pembalasan, Tuhan Yang Maha Mengetahui segala apa yang tampak dan tersembunyi. Inilah hakikat iman yang paling fundamental. Setiap orang merasa dirinya berada dalam pengawasan dan pemeliharaan Tuhan.
Perasaan bertuhan menjadi sebuah landasan imunitas bagi semua manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seorang ayah akan bekerja dengan benar untuk menghidupi keluarganya karena merasa diawasi oleh Tuhan Yang Maha Melihat. Seorang pejabat akan menunaikan amanah dengan benar, tidak menyalahgunakan wewenang walaupun ada banyak kesempatan ditemui, karena merasa diawasi oleh Tuhan.
Nilai-nilai keimanan harus dijadikan perhatian utama dalam membentuk imunitas keluarga dalam menghadapi arus globalisasi. Penanaman nilai-nilai keimanan dalam keluarga merupakan pengamalan Pancasila khususnya sila pertama. Apabila iman sudah tertanam dengan kuat, akan melahirkan pula kepatuhan manusia terhadap hukum dan aturan yang datang dari Tuhan. Semua hukum dan aturan yang diberikan oleh Tuhan untuk manusia adalah untuk kebaikan kehidupan manusia dan menghindarkan manusia dari kerusakan. Keluarga dibiasakan dan dilatih untuk mentaati hukum dan aturan dari Tuhan, agar kehidupan yang terbangun dapat berada dalam jalan yang benar.
Lebih jauh lagi, keimanan juga membentuk pemikiran dan cara pandang yang khas, yaitu manusia dalam memandang segala sesuatu dengan perspektif ketuhanan. Sebagai manusia beragama, semestinya dituntut memandang segala sesuatu dengan cara pandang yang bertuhan. Pragmatisme dan perbuatan fatalistik yang banyak dilakukan masyarakat saat menghadapi kesulitan hidup, merupakan contoh pemikiran dan cara pandang yang mengabaikan ketuhanan
b) Pendidikan Moral
Pendidikan moral akan menjadi bingkai kehidupan manusia, setelah memiliki landasan kokoh berupa iman. Pada saat masyarakat mengalami proses degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan keluarga menjadi semakin signifikan kemanfaatannya. Pada hakekatnya moral adalah ukuran-ukuran nilai yang telah diterima oleh suatu komunitas(4). Moral berupa ajaran-ajaran atau wejangan, patokan-patokan atau kumpulan peraturan baik lesan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Setiap agama memiliki doktrin moral, setiap budaya masyarakat juga memiliki standar nilai moral, yang apabila itu diaplikasikan akan menyebabkan munculnya kecerdasan moral pada indiviudu, keluarga maupun masyarakat dan bangsa.
Pendidikan dalam keluarga juga tidak cukup sebatas upaya preventif terhadap munculnya ketidakbaikan. Eksplorasi optimal terhadap potensi-potensi kebaikan harus dimunculkan secara seimbang dalam keluarga. Pendidikan moral sangat penting membiasakan kebiasaan yang baik dalam hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya, dan antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Karena perbuatan baik manusia tidak hanya diatur dan digerakkan oleh faktor hukum, namun juga oleh faktor etika moral atau akhlak. Misalnya ajaran agar berlaku baik kepada tetangga, lebih bercorak ajaran moral daripada hukum. Kalau hukum mengatur dengan sangat detail tentang ketentuan pelaksanaan dan pelanggaran, sedangkan aspek moral lebih bernuansa membangun kesadaran bertindak.
c) Pendidikan Emosi
Pendidikan emosi (psikis) membentuk berbagai karakter positif kejiwaan, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimistik, dan seterusnya. Karakter ini akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya. Memasuki abad 21, paradigma lama tentang anggapan bahwa IQ (Intelligence/Intelectual Quotient) sebagai satu-satunya tolok ukur kecerdasan, yang juga sering dijadikan parameter keberhasilan dan kesuksesan kinerja Sumber Daya Manusia, digugurkan oleh munculnya konsep atau paradigma kecerdasan lain yang ikut menentukan terhadap kesuksesan dan keberhasilan seseorang dalam hidupnya(5).
Menurut Goleman(6), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, orang-orang yang hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah, karena cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress.
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut emotional quotient (EQ) sebagai “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”(7).
d) Pendidikan Fisik
Pendidikan fisik atau pendidikan jasmani tak kalah penting untuk mendapat perhatian. Keluarga harus menampakkan berbagai kekuatan, termasuk kekuatan fisik: agar tubuh menjadi sehat, bugar dan kuat. Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Meminjam ungkapan Robert Gensemer(8), pendidikan jasmani diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa.” Artinya, dalam tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: men sana in corporesano.
Di antara tujuan pendidikan fisik adalah mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang tepat, serta meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik. Di antara metoda pendidikan fisik dalam keluarga adalah pembiasaan pola hidup sehat, baik dari segi pola makan, pola istirahat, pola kegiatan, maupun dengan kegiatan olah raga yang teratur. Keluarga adalah lembaga pertama dalam mengembangkan pendidikan fisik ini bagi seluruh anggota keluarga.
e) Pendidikan Intelektual
Perilaku anarkistis di sekitar kita tampak marak yang ditandai dengan amuk massa, tingkah suporter sepak bola sampai tawuran antarsiswa dan mahasiswa, ataupun gerakan unjuk rasa mahasiswa yang berujung bentrokan dengan aparat keamanan. Emosi massa seakan mudah tersulut, akal sehat seakan hilang dalam budaya kita yang dulu terkenal santun. Tak terkecuali berlaku bagi kelompok masyarakat elite dan berpendidikan. Kita membutuhkan pendidikan yang mampu memoles nalar sehat masyarakat kita. Ranah intelektual harus menjadi perhatian dalam proses pendidikan integratif dalam keluarga, selain sisi iman, moral, maupun emosional.
Menurut AS. Hornby, “intellectual is having or showing good reasoning power”(9). Dengan demikian, seseorang yang mempunyai kematangan intelektual adalah orang yang mampu menghadapi segala persoalan dengan nalar logika, melakukan pertimbangan-pertimbangan yang logis, sistematis, dan efisien. Selain itu, seorang intelektual mampu melahirkan gagasan-gagasan baru, dapat menerima kritikan orang lain, dan mampu menguasai gramatikal bahasa. Jadi, kematangan intelektual dinilai dari seberapa jauh seseorang menggunakan intelegensinya, bukan dari tingkat perkembangan mentalnya.
Menciptakan kematangan intelektual adalah tugas keluarga dengan lingkungan yang kondusif, selain sekolah yang tentu sangat berperan dalam proses pematangan intelektual. Jika belajar dari negara Jerman, calon mahasiswa perguruan tinggi di Jerman dituntut telah mencapai hochschulreife, artinya kematangan, baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh studi akademis. Pendidikan dalam keluarga berorientasi pada kematangan intelektual, agar anggota keluarga memiliki kesiapan untuk menghadapi berbagai kondisi dalam kehidupan dengan nalar yang sehat dan matang.
Secara konseptual, kematangan intelektual dapat dibentuk terutama lewat matematika dan bahasa(10). Matematika dapat memberikan cara bernalar logis dan kritis, sedangkan bahasa sebagai sarana bertutur dan menulis. Selain itu, diperlukan pula penggunaan metode pembelajaran yang tepat sehingga pembelajaran dapat terintegrasi dengan baik.
f) Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota keluarga, agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat. Pendidikan sosial memunculkan solidaritas sosial yang pada gilirannya akan mengoptimalkan peran sosial seluruh anggota keluarga.
Banyak kenyataan dalam kehidupan keseharian, anak yang disibukkan dengan dunianya sendiri, asyik dengan kecanggihan teknologi, baik itu playstation, handphone, komputer, atau benda teknologi lainnya. Anak mengurung diri di rumah atau kamar, tidak banyak keluar rumah, sehingga orang tua merasa tidak khawatir anaknya akan terkena pengaruh buruk dari pergaulan di luar rumah. Padahal keasyikan semacam itu membuatnya kehilangan kecerdasan sosial yang sangat diperlukan dalam kehidupan(11).
Kecerdasan intelektual memang sangat penting untuk terus dikembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan sosial. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sering menyebabkan dehumanisasi, karena telah meminimalisir interaksi sosial. Untuk berkomunikasi dengan tetangga, teman, saudara, bahkan anggota keluarga sendiri, cukup menggunakan sms, telpon, email, fesbuk, twitter, dan lain sebagainya. Untuk itulah keluarga harus memberikan pendidikan sosial yang memadai baghi seluruh anggotanya, agar memiliki kecerdasan sosial yang membuat setiap anggota keluarga mampu berinteraksi sosial secara positif di lingkungan masyarakat maupun lingkungan pergaulan lainnya.
g) Pendidikan Seksual
Pendidikan seksual juga diperlukan dalam keluarga. Kesadaran diri sebagai laki-laki atau perempuan penting untuk mendapatkan perhatian sejak dini agar tidak menimbulkan bias. Pengertian tentang kesehatan reproduksi bukan hanya diberikan kepada anak perempuan, tetapi juga kepada anak laki-laki. Penghormatan satu pihak dengan pihak yang lainnya -antara laki-laki dan perempuan- sehingga tidak terjadi dominasi laki-laki atas perempuan, adalah kesadaran gender yang juga mesti ditumbuhkan.
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri(12).
Menurut Sarlito(13), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
h) Pendidikan Politik
Pendidikan politik dalam keluarga juga penting untuk mendapatkan perhatian. Sebenarnya kajian mengenai pendidikan politik telah dimulai bersamaan dengan munculnya pandangan Plato dan Aristoteles yang mengasumsikan pendidikan anak-anak itu serupa dengan tabiat negara. Pemikir lainnya, Boden, dalam tulisan-tulisannya mengemukakan mengenai urgensi ketaatan dalam institusi keluarga sebagai dasar ketaatan terhadap institusi pemerintah(14).
Praktik pendidikan politik dalam institusi keluarga dapat berlangsung dengan baik apabila didukung oleh berbagai perangkat dan mekanisme. Yang paling penting di antaranya adalah, pertama, hierarki kekuasaan dalam institusi keluarga, kedua, suasana keluarga, dan ketiga, bahasa, konsep serta simbol-simbol. Hierarki kekuasaan dalam keluarga merupakan cara pendidikan politik, karena institusi keluarga merupakan negara mini bagi anak-anak. Bagi Dean Jaros dalam bukunya Socialization to Politics, pengetahuan anak-anak tentang kekuasaan yang ada dalam institusi keluarga merupakan awal pengetahuannya terhadap kekuasaan di dalam negara dan kedudukannya di dalam negara(15).
Suasana keluarga juga memegang peranan penting dalam pendidikan politik. Cinta, kasih sayang dan kemesraan hubungan yang diperoleh anak-anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang dapat mencetak jiwa dan perilaku sosial serta politik mereka(16). Sedangkan yang dimaksud dengan simbol-simbol politik bukanlah simbol-simbol yang berkaitan dengan kekuasaan dan negara saja, melainkan semua simbol budaya memiliki muatan makna politik.
Contoh simbol-simbol yang memiliki indikasi pendidikan politik banyak sekali dijumpai dalam keluarga. Simbol ini bisa terkandung dalam kisah kanak-kanak sebagai tokoh sentral atau pahlawan, atau nilai-nilai yang terkandung dalam kisah kepahlawanan pada umumnya. Permainan senjata pada anak-anak bisa menghantarkan pada nilai kepejuangan dan patriotisme. Bahkan nama anak itu sendiri bisa mencerminkan suatu simbolisasi politik yang diambil dari nama tokoh-tokoh dalam sejarah.
Penutup
Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhannas RI, memberikan catatan khusus tentang urgensi pendidikan dalam keluarga(17). Menurutnya, “pendidikan dalam keluarga dapat memberikan pengaruh besar kepada karakter manusia. Sebab itu kunci utama untuk menjadikan manusia Indonesia bisa hidup energik terletak dalam pendidikan dalam keluarga. Kalau kita membaca pernyataan berbagai pemimpin besar dunia, maka banyak di antara mereka memberikan nilai penting kepada pendidikan dalam keluarga. Bung Karno selalu mengagungkan pengaruh ibu, juga Ki Hadjar Dewantara yang senantiasa mengemukakan pentingnya pendidikan dalam keluarga”.
Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, kehidupan bangsa Indonesia dalam dasawarsa terakhir ini dihadapkan pada tantangan yang berat yang harus disikapi dengan bijak(18). Untuk itulah, menguatkan pendidikan integratif dalam keluarga diharapkan menjadi bagian dari proses kebangkitan bangsa dan negara Indonesia menuju kejayaan dan kemuliaannya.
——————————————
(1) Soemarno Soedarsono, Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap menuju Terang, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2010
(2) Rita Serena Kolibonso, Tahun 2009: Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan & Layanan Women’s Crisis Centre, dalam http://www.perempuan.or.id, 22 Desember 2009. Data kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2009 di Mitra Perempuan mencatat bahwa pelaku terbanyak adalah laki-laki yang mempunyai relasi perkawinan dengan perempuan yang menjadi korbannya, diantaranya suami, mantan suami, pacar, saudara atau orangtua. Data tahun 2009 menunjukkan bahwa profil pelaku dan korban kekerasan terhadap perempuan terutama KDRT, sangat beragam latar belakang status sosial, ekonomi, usia, etnis dan agamanya. Data yang dicatat Mitra perempuan menunjukkan, 8 dari 10 perempuan yang datang ke Mitra Perempuan WCC (87,74%) mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suami dan mantan suaminya. Sembilan dari sepuluh orang perempuan yang memanfaatkan layanan Mitra Perempuan WCC telah mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (kekerasan secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran/ekonomi), di samping menghadapi perselisihan domestik (50,49%). Satu dari dua perempuan mengalami dampak kekerasan pada kesehatan jiwanya (mental health) dan fisik termasuk diantaranya 6 orang pernah mencoba bunuh dir dan 6,37% berdampak pada kesehatan reproduksinya. Sedangkan 2,45% perempuan yang mengalami kekerasan adalah anak-anak berusia 18 tahun ke bawah.
(3) H.A.R. Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, 1997
(4) Budi Istanto, Pentingnya Pendidikan Moral Bagi Generasi Penerus, FIP UNY, Yogyakarta, 2007
(5) Hasil survei statistik dan penelitian yang dilakukan Lohr, yang ditulis oleh Krugman dalam artikel “On The Road on Chairman Lou“ (The New York Times 26/6/1994), menyebutkan bahwa IQ ternyata sesungguhnya tidak cukup untuk menerangkan kesuksesan seseorang. Ketika skor IQ dikorelasikan dengan tingkat kinerja dalam karier mereka, taksiran tertinggi untuk besarnya peran selisih IQ terhadap kinerja hanyalah sekitar 25%, bahkan untuk analisis yang lebih seksama yang dilakukan American Psycological Press (1997) angka yang lebih tepat bahkan tidak lebih dari 10% atau bahkan hanya 4%. Hal ini berarti bahwa IQ paling sedikit tidak mampu 75%, atau bahkan 96% untuk menerangkan pengaruhnya terhadap kinerja atau keberhasilan seseorang. Serta menurut penelitian yang dilakukan Goleman menyebutkan pengaruh IQ hanyalah sebesar 20% saja, sedangkan 80% dipengaruhi oleh faktor lain termasuk di dalamnya EQ. Sehingga dengan kata lain IQ dapat dikatakan gagal dalam menerangkan atau berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang (Goleman, 2000).
(6) Daniel Goleman, Emotional Intelligence, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
(7) Lawrence E. Saphiro, Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak, PT Gramedia, Jakarta, 1998
(8) Pendidikan Jasmani, dalam : www.pojokpenjas.blogspot.com, 9 Desember 2007
(9) AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, University Press, Oxford, 1986
(10) Anonim, Pendidikan Intelektual, www.bataviase.co.id, 3 Mei 2010
(11) Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Sosial Anak, www.wikimu.net, 3 Agustus 2010
(12) Richard M. Lerner dan Laurence Steinberg, Handbook of Adolescent Psychology, John Wiley & Sons, Inc, Hoboken, New Jersey, 2004
(13) Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, 2006
(14) Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politk, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997
(15) Dean Jaros, Socialization to Politics, Praeger, New York, 1973
(16) Kajian yang dilakukan oleh Kenneth P. Langton dan M. Kent Jennings untuk masyarakat Barat memberikan petunjuk bahwa ketika anak kecil dihadapkan kepada pemilihan afiliasi partai politik kedua orang tuanya, ia akan cenderung kepada orientasi ibunya. Ini dianggap sebagi pengaruh ibu dalam pembinaan orientasi politik individu. Langton juga menunjukkan hasil kajian yang lain, adanya pengaruh ayah terhadap perilaku politik anak-anaknya sebagai pemain politik dalam masyarakat. Lihat : Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politk, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997
(17) Sayidiman Suryohadiprojo, Pendidikan Dalam Keluarga, dalam : http://www.sayidiman.suryohadiprojo.com 29 November 2007
(18) Sri Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Menurut Hamengku Buwono, tantangan tersebut mencakup: (1) menguatnya budaya konsumerisme dan kekerasan; (2) menipisnya kesadaran pluralisme dan semangat kebangsaan; (3) tingginya kemiskinan dan pengangguran; dan (4) ketertinggalan dalam membaca dinamika geopolitik yang terjadi di wilayah Pasifik.