Salah satu bahasan dalam usul fikih adalah mafhum mukhalafah, artinya pemahaman terbalik. Salah satu bentuk mafhum mukhalafah adalah mafhum shifah, yaitu nash menyebut suatu sifat dari benda sehingga sifat itu menjadi syarat berlakunya hukum pada benda tersebut.
Contohnya adalah ayat 92 surah Al Maidah yang menyebutkan kaffarat pembunuhan tersalah adalah membebaskan raqabah mukminah (budak yang mukmin). Nah, kata “mukmin” di situ adalah sifat dari budak yang boleh dibebaskan sebagai kaffarah pembunuhan. Pemahaman terbaliknya (mafhum mukhalafah) adalah kalau dia bukan mukmin maka dia tidak boleh dibebaskan sebagai kaffarah pembunuhan tersalah.
Contoh lain adalah hadits,
في سائمة الغنم إذا كانت أربعين ففيها شاة
“Setiap kambing yang mencari rumput sendiri kalau sudah mencapai 40 ekor wajib zakat satu ekor.”
Nah, kata saaimah (mencari rumput dengan digembala, bukan menunggu di kandang) menjadi sifat bagi kambng yang wajib dizakati. Pemahaman terbaliknya kalau dia tidak digembala alias kambing kandangan hanya menunggu tuannya bawakan rumput maka dia tak wajib dizakati. Itulah pemahaman jumhur berbeda dengan madzhab Hanafi.
Nah, mafhum mukhalafah menjadi tidak teramalkan atau diabaikan sehingga mafhum-nya tidak berlaku karena beberapa sebab. Sebab yang paling utama adalah kalau dia bertentangan dengan manthuq (bunyi teks yang lain).
Contoh dalam ayat 130 surah Ali Imran larangan memakan riba yang berlipat ganda. Nah, berlipat ganda itu adalah sifat dari riba yang dilarang, pemahaman terbaliknya kalau tidak berlipat ganda maka tak dilarang. Pemahaman ini betul tapi berhubung ada dalil lain yg mengatakan bahwa riba sekecil apapun meski tidak berlipat ganda tetap dilarang maka mafhum (pemahaman) terbalik dari ayat ini tidak berlaku.
Intinya mafhum shifah itu berlaku pemahaman terbaliknya bila tidak bertentangan dengan manthuq. Ini menurut mayoritas ulama, berbeda dgn madzhab Hanafi yang memang tidak mengakui kehujjahan mafhum mukhalafah.
Mengapa madzhab Hanafi tidak mengakui kehujjahan mafhum mukhalafah?
Alasan utama mereka karena banyak nash dalam Al Quran maupun hadits mengandung mafhum mukhalafah (dalil khithab) tapi mafhum mukhalafahnya tidak berlaku. Antara lain ayat 130 surah Ali Imran, ayat 24 surah An-Nisa tentang kemahraman anak tiri yang “dalam pengasuhanmu”. Padahal andai tidak “dalam pengasuhanmu” juga tetap haram, dan lain-lain.
Jumhur menjawabnya dengan mengatakan bahwa mafhum pada kasus-kasus itu tidak terpakai karena adanya dalil lain berbentuk manthuq yang menyelisihinya sehingga dia kalah dengan manthuq ataupun dengan mafhum muwafaqah.
Manfaat dari memahami mafhum mukhalafah adalah kita menetapkan hukum berdasarkan mafhum mukhalafah, misalnya tidak menetapkan zakat pada hewan yang dikandangkan seumur hidupnya dan tidak digembala mengambil dari mafhum mukhalafah hadits yang saya sebut di atas.