Ungkapan Takwil sudah digunakan oleh Quran dan Sunnah. Dalam Quran dan Sunnah, pengertiannya berkisar pada “wujud/kenyataan”. Bila takwil itu dikaitkan dengan sebuah berita, maka takwil sebuah berita adalah wujud nyata dari apa yang diberitakan (termasuk takwil mimpi). Bila takwil itu dikaitkan dengan perintah, maka takwil dari sebuah perintah adalah perwujudan nyata berupa pelaksanaan perintah tersebut.
Nah, di era Salaf, istilah ini juga digunakan untuk menyebut “penjelasan tentang kenyataan”, atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah “Tafsir”. Mentakwil suatu nash berarti menafsirkan atau menjelaskan kandungan dari sebuah berita atau perintah yang dikandung oleh nash tersebut.
Di era belakangan, istilah Takwil digunakan pula untuk penafsiran yang jauh dari teks asal. Inilah pengertian takwil yang kemudian populer di Ushul Fiqih dan Ilmu Kalam, yaitu memalingkan suatu teks dari kemungkinan artinya yang dekat kepada kemungkinan artinya yang jauh, atau memalingkan suatu teks dari pengertian asalnya (lahiriah) kepada pengertian lain yang tidak dapat dipahami hanya dari teks itu sendiri.
Nah, konsep Takwil memiliki banyak kerumitan, sebab konsep ini terkait dengan dua hal yang cukup rumit dan telah menjadi ambigu, yaitu “ihtimal” dan “zhahirun nash”. Ihtimal adalah bahwa sebuah makna itu MUNGKIN dikandung oleh kata yang sedang dibahas, dan Zhahir berarti arti yang muncul secara MENGEMUKA dari kata tersebut.
Persoalannya adalah: Zhahir dan Ihtimal di situ parameternya apa? Dan, apakah yang dimaksud dengan Zhahir dan Ihtimal itu adalah Zhahir dan Ihtimal dari suatu kata ketika dipisahkan dari konteks wicarnya, ataukah ketika ia telah berada dalam konteksnya sebagaimana digunakan oleh nash yang tengah dibahas. Pembahasan ini punya kaitan erat dengan kontroversi Teori Majaz (walaupun tetap bisa dibahas tanpa harus membahas teori Majaz itu sendiri).