Narti sangat terkejut dengan temperamen Hakam, suami yang baru saja menikahinya. Bulan pertama dalam kehidupan keluarga setelah pernikahan, sangat banyak kejutan yang dijumpainya. Narti lahir dari kultur yang “sangat Jawa”, dibesarkan oleh keluarga yang sangat memperhatikan tata krama ala Jawa. Berbicara secara pelan, dengan bahasa Kromo Inggil yang sangat halus, dan banyak menggunakan simbol untuk mengekspresikan keinginan, tidak vulgar.
Sementara Hakam lahir dan besar di Makassar, sehingga berkultur “sangat Makassar”. Ia terbiasa menyampaikan segala sesuatu secara apa adanya, ekspresif dan tidak perlu berpanjang lebar dalam mengungkapkan keinginan. Ditambah lagi dengan intonasi berbicara Hakam yang cenderung bervolume keras, sesuatu yang tidak lazim dalam kehidupan keluarga besar Narti yang ningrat.
Setiap pagi Narti terkejut oleh kata kerja perintah yang muncul dari Hakam.
“Oe, buatkan teh panas !” kata Hakam suatu pagi.
“Oe, buatkan sarapan nasi goreng !” kata Hakam pagi berikutnya.
Dan begitulah setiap pagi, Narti dikagetkan oleh “bentakan” Hakam, yang diawali dengan kata “Oe” dan dilanjutkan dengan kata kerja perintah. Narti mencoba bersabar dan menerima kondisi tidak nyaman dari sikap Hakam, namun beberapa bulan kemudian ia menjadi tidak tahan.
“Di rumah bapakku, tidak ada orang berbicara dengan berteriak seperti kamu”, kata Narti suatu ketika.
“Aku isterimu, tidak masalah engkau memerintah aku. Namun tolong, kalau menyuruhku gunakan kata tolong”, lanjut Narti.
Maksud Narti, mestinya ungkapan minimalnya adalah “Tolong, buatkan aku teh panas, sayang”, atau “Tolong, buatkan aku nasi goreng, dik”.
Jika bisa lebih halus, ungkapannya menjadi “Alangkah enaknya teh buatanmu sayang. Aku tahu engkau membuatnya dengan cinta. Maukah engkau membuatkan teh cinta untukku pagi ini ?”
Atau ungkapan mesra, “Luar biasa enak masakan nasi gorengmu sayang. Aku belum pernah merasakan nasi goreng seenak masakanmu. Aku tahu, itu karena bumbunya adalah rasa cinta. Maukah engkau membuatkannya lagi untukku ? Pasti aku akan membantumu menyiapkan perlengkapannya”.
Namun Hakam menjadi marah mendengar ungkapan Narti. Ia merasa disinggung perasaan kedaerahannya. Dengan suara keras ia menjawab, “Itu kan cara kalian orang Jawa. Aku ini orang Sulawesi, tidak bisa di-Jawa-kan. Beginilah aku”.
Karena sudah emosi pula, Narti pun menjawab, “Itulah cara kalian orang Sulawesi. Aku ini orang Jawa, tidak bisa di-Sulawesi-kan”.
Pertengkaran seperti itu sungguh tidak produktif. Dalam kehidupan berumah tangga, tidak penting lagi berbicara saya Jawa, saya Batak, saya Bugis, saya Dayak, saya Sunda, saya Padang, saya Ambon, saya Madura dan lain sebagainya. Kenyataannya, suami dan isteri sudah menjadi satu kesatuan dalam sebuah ikatan pernikahan yang sakral. Mencari-cari perbedaan dengan menunjuk latar belakang kesukuan menjadi tidak relevan lagi.
Tidak perlu men-Jawa-kan orang Sulawesi, dan tidak perlu men-Sulawesi-kan orang Jawa. Perbedaan adalah kemestian. Yang diperlukan adalah saling memahami, saling mengerti, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pasangan.
Kenyataannya, Suami dan Isteri Tumbuh dari Kultur yang Berbeda
Ada banyak realitas yang menggambarkan betapa kultur masyarakat di sebuah tempat berbeda dengan tempat lainnya. Konstruksi budaya masyarakat yang tercipta dari hasil interaksi antara manusia yang satu dengan lainnya, antara manusia dengan alam, dan respon mereka atas gejala-gejala kehidupan di alam sekitar, telah mempengaruhi corak dan karakter kemanusiaan dalam berbagai sisinya. Bukan hanya warna kulit, postur tubuh, bahasa maupun makanan mereka yang berbeda, akan tetapi cara pandang, pola hidup, hingga cara berkomunikasi dan mengemukakan pendapat serta keinginan, yang juga tidak sama.
Sangat mudah untuk memahami pernyataan-pernyataan di atas. Di Indonesia, ada sekelompok masyarakat yang memiliki kultur ewuh pekewuh (sungkan) yang sangat tinggi. Dampaknya, mereka tidak terbiasa dengan ungkapan-ungkapan vulgar, akan tetapi lebih suka menggunakan simbol-simbol dalam menyatakan keinginan. Ada pula masyarakat yang terbiasa menyatakan keinginan apa adanya, tanpa harus dibuat-buat atau ditutup-tutupi. Seakan-akan mereka tidak mengenal istilah sungkan atau perasaan tidak enak.
Pada sekelompok masyarakat Barat, tampak budaya komunikasi yang ekspresif. Mereka terbiasa mengungkapkan perasaan hati secara verbal, seperti kebiasaan mengucapkan kalimat “I love you” kepada pasangannya. Mereka mengungkapkan hal itu sebagai sebuah kebiasaan tanpa perasaan canggung, karena adanya pembiasaan yang terjadi dalam waktu yang lama. Sebagaimana juga mereka bisa mengatakan “I hate you” secara ekspresif, atau “I’m sorry”.
Pada sebagian masyarakat Indonesia, tampak ada kondisi yang sedikit berbeda. Seseorang yang mengetahui dan merasa dirinya salah, belum tentu bisa mengungkapkan permintaan maaf secara tulus ikhlas. Seorang suami yang merasa dirinya salah, belum tentu mau dan mampu mengatakan permintaan maaf kepada isterinya, apalagi ketika sang isteri secara ketus menuduhnya melakukan kesalahan. Rupanya, banyak pula masyarakat yang berkategori “hard to say I’m sorry”. Amat sulit meminta maaf.
Pada sebagian masyarakat, lebih mudah menampakkan ekspresi marah dan tersinggung, daripada ekspresi rindu atau tersanjung. Sebagaimana seorang suami yang merasakan luapan kecintaan kepada isteri, belum tentu ia bisa mengungkapkan perasaan tersebut secara tepat. Kadang perasaan rindu, cinta, gembira dan lain sebagainya disimpan saja di dalam hati, tanpa berusaha mengekspresikan secara verbal, misalnya dengan mengungkapkan “Dik, aku sangat mencintaimu”, atau, “Dik, aku sangat merindukanmu. Aku kangen banget padamu”, atau ungkapan lain semacam itu. Namun tiba giliran marah, ia sangat ekspresif dalam menampakkan kemarahan.
Perbedaan-perbedaan tersebut, ada yang disebabkan oleh karena kultur makro yang memang tidak sama antara suatu daerah dengan daerah lainnya, atau kultur mikro di rumah tangga tempat ia dibesarkan.
“Kultur Besar”
Yang saya maksud dengan kultur besar adalah kultur kedaerahan yang membentuk pola komunikasi seseorang. Daerah tempat kita dibesarkan akan sangat mempengaruhi watak dan temperamen kita. Maka tampak sangat berbeda, antara orang Arab dengan orang Indonesia. Sangat berbeda, antara orang Eropa dengan orang Afrika. Sangat berbeda, antara orang Batak dengan orang Jawa. Itu contoh “kultur besar”, suatu kultur yang membesarkan dan mempengaruhi watak setiap orang.
Karakter kedaerahan dalam membentuk pola komunikasi ini, telah ditemukan sejak zaman kenabian. Ada perbedaan antara wanita-wanita Makah dengan Madinah dalam hal komunikasi terhadap suami mereka.
Suatu ketika Umarbin Khathab berkata, “Kami—kaum Quraisy—dapat menguasai kaum wanita, tetapi ketika kami bertemu kaum Anshar, ternyata mereka kaum yang terkalahkan oleh kaum wanitanya. Maka istri-istri kami mulai meniru adab wanita-wanita Anshar. Ketika misalnya aku membentak istriku, ia balik mengkritikku….”
Umar bin Khathab menjelaskan bahwa para wanita Makah cenderung “didominasi” oleh kaum lelaki, sebaliknya para wanita Madinah cenderung “mendominasi” suami mereka. Inilah corak kultural yang berbeda antara Makah dengan Madinah. Rata-rata wanita Madinah bersifat ekspresif dalam mengungkapkan pendapat dan keinginan. Mereka mengungkapkan dengan vulgar, sehingga berbagai pendapat mereka dengan mudah bisa ditangkap dan dijadikan rujukan. Telah banyak riwayat yang menunjukkan kecenderungan ini.
Ungkapan Umar tersebut menunjukkan, bahwa selama isteri Umar masih di Makah dan belum berinteraksi dengan wanita Madinah, ketika dimarahi atau dibentak, ia cenderung diam dan menerima begitu saja perlakuan suaminya. Akan tetapi setelah berinteraksi dengan kultur Madinah, isteri Umar mulai berani menampakkan reaksi atas bentakan suami, sebagaimana rata-rata perilaku wanita Madinah terhadap suami mereka.
Hal ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa corak komunikasi sangat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang berkembang di masyarakat secara turun temurun. Akan tetapi, kebiasaan ini bisa berubah oleh karena interaksi multikultur, sehingga terbentuk kebiasaan-kebiasaan baru dalam kehidupan manusia.
Misalnya ketika seseorang lahir sampai dewasa di desa, setelah bekerja ia mulai tinggal di pusat kota, lama-lama karakter kedaerahannya bisa berubah, menyesuaikan dengan tempat tinggal dan tempat beraktivitasnya yang baru. Setiap hari ia bertemu, berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang perkotaan. Maka ia belajar dan menyesuaikan diri. Hingga kita temukan, banyak orang daerah yang tidak tampak lagi logat serta ciri khas kedaerahannya setelah tinggal lama di pusat kota.
Hal ini menandakan, pola komunikasi bisa berubah, karena ia sesuatu yang tidak bersifat permanen. Oleh karena itu, tidak tepat kalau seorang suami mengatakan, “Aku tidak akan pernah bisa berubah. Beginilah aku sebagai orang Batak, kau harus menerima aku sebagai orang Batak”. Tidak tepat pula jika seorang isteri mengatakan, “Aku orang Sunda, tidak akan bisa menyesuaikan dengan watak kamu yang Batak. Jadi terimalah aku apa adanya sebagai orang Sunda”.
Keangkuhan perasaan kedaerahan tidak ada manfaatnya dalam kehidupan rumah tangga. Suami dan isteri adalah “kita” yang baru, dari manapun asal kedaerahannya, apapun sukunya, apapun etnisnya, apapun rasnya. Tidak ada masalah dengan perbedaan suku, daerah, etnis ataupun ras. Perbedaan karakter dalam berkomunikasi bisa saling pengaruh-mempengaruhi antara suami dan isteri. Bisa saling memahami dan menyesuaikan sejauh kemampuan.
Tidak akan pernah sama persis antara suami dan isteri, karena itu tidak mungkin terjadi. Suami dan isteri tidak perlu seragam, tidak perlu sama persis. Justru karena adanya berbagai hal yang tidak sama itulah, maka antara suami dan isteri bisa saling melengkapi dan saling memberi serta menerima.
Hanya saja dalam beberapa karakter bisa saling menyesuaikan agar terjadi suasana komunikasi yang nyaman dan dinikmati oleh kedua belah pihak. Misalnya, pilihan kosa kata, cara mengungkapkan, cara merespon, sampai ke tingkat “volume” pembicaraan dan “nada bicara”, semua bisa didialogkan antara suami dan isteri. Jangan sampai nada bicara seorang suami menyakiti hati isteri setiap hari. Jangan sampai volume bicara isteri menyebalkan suami setiap hari.
Saling memahami, saling mengeti, dan berusaha saling menyesuaikan dengan keinginan pasangan, adalah langkah terbaik bagi setiap pasangan suami isteri.
Ustadz Cahyadi Takariawan