Kalau kita perhatikan lingkungan sekitar kita, kita lihat bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang merelakan kehidupannya dipenuhi dengan aktivitas yang tidak produktif, merelakan dirinya hidup dalam pengangguran.
Sepertinya tidak ada lagi daya pendorong agar kehidupannya menjadi lebih baik, menjadi lebih baik dan penuh keberkahan Allah subhanahu wa ta’ala. Yang lebih ngeri lagi, dalam bulan ini di tempat praktek saya, kedatangan anak-anak remaja yang menderita sakit kelamin yang bernama Sepilis. Suatu penyakit yang diakibatkan dari hubungan seksual yang tidak sehat.
Setelah saya wawancarai lebih detail ternyata anak ini melakukan hubungan seksual dengan para WTS (wanita yang tuna (buta) susila) minimal satu kali seminggu selama lima bulan terakhir ini.
Sisi yang lain, di Yogyakarta tepatnya di pinggiran Kali Code (Sungai Code), hiduplah satu keluarga harmoni, seorang tukang becak dan istrinya yang kesehariannya mengumpulkan barang-barang rosokan (barang sampah yang masih ada nilai gunanya) keliling di kota Yogyakarta.
Sholat lima waktu dilakukannya dengan baik. Bukan Cuma itu! Bahkan sholat malam dan sholat dhuhapun suami-istri tersebut tidak pernah melepasnya. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala melebihkan rezkinya : ada yang ditabung dan ada pula yang mereka sedekahkan.
Suatu ketika pada tanggal 9 September 2011, masyarakat Yogyakarta bahkan Indonesia dikejutkan bahwa bapak tukang becak dan ibu yang mengumpul barang rosokan itu berada di tengah-tengah para orangtua yang menghadiri pengambilan sumpah pelantikan dokter di aula Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Semua mata tertuju pada sepasang keluarga yang datang dengan istri dan anaknya di acara “sakral” fakultas kedokteran UGM itu dengan menaiki becak. Rasa haru dan bangga pun menghiasai para orangtua lainnya ketika diketahui bahwa anak tukang becak dan pengumpul barang rosokan itu kini menjadi seorang dokter.
Lalu kenapa pengangguran bisa terjadi? Kenapa anak-anak remaja yang seharusnya masih dalam bimbingan orangtua, justru ia memilih bimbingan dari para WTS? Jawabannya karena keluarga kita sedang mengalami proses pengeroposan pilar-pilar keluarga. Salah satu pilar yang keropos yakni tidak terbangunnya dan tidak terwujudnya cita-cita dalam keluarga kita.
Keluarga yang menghasilkan anak-anak dengan kepribadian yang keluar dari nilai-nilai Ilahiyah, pasti dihasilkan dari suatu proses keluarga yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam Al Qur’an Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah DIA menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu sakinah (tentram) kepadanya dan dijadikan-NYA rasa kasih (cinta) dan sayang diantara kamu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar Rum: 21)
Ayat Al Quran ini mengisyaratkan pada kita bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memberi standar umum yang harus kita capai dalam membangun keluarga kita. Standar umum itu adalah tujuan/cita-cita yang harus kita raih dalam membangun dan menjalankan “bahtera” keluarga kita sehingga Allah subhanahu wa ta’ala pun meridhainya, yaitu: Keluarga yang memiliki cita-cita/tujuan sebagai keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Sakinah, mawaddah, wa rahmah bukan hanya untuk gagah-gagahan, bukan hanya untuk pelengkap retorika dalam setiap acara pernikahan keluarga kita. Sakinah, mawaddah, wa rahmah adalah tuntunan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikan untuk ummat manusia sebagai pemandu dalam membangun cita-cita keluarganya.
Cta-cita pertama yang harus kita letakkan dalam membangun cita-cita keluarga adalah terwujudnya Ketentraman, Kedamaian atau Sakinah dalam keluarga. Sakinah adalah bagian unsur dari suasana hati, maka mewujudkan Sakinah harus melibatkan hati. Agar hatinya damai, hatinya tentaram maka dekatlah kepada Yang Pemilik Hati dan mohonlah agar hatimu damai, Ya mubalighal qulub tsabits qalbi ‘ala dini.
Dekat dengan Pemilik Hati berarti pikiran rasional kita, pikiran emosi kita semuanya dipengaruhi oleh nilai-nilai Allah subhanahu wa ta’ala hingga sikap dan perilaku kita selalu menampilkan semangat dari cahaya-cahaya Allah subhanahu wa ta’ala
Oleh karenanya, dengan meletakkan cahaya Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pondasi dalam membangun cita-cita keluarga pasti Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadi cahaya dalam setiap langkah kehidupan keluarga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam kitab suci-Nya :
“Allah pemberi cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus (Misykat), yang didalamnya ada pelita (Misbah). Pelita itu ada didalam kaca (Zujajah) (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur dan tidak pula disebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak tersentuh dengan api. Cahaya diatas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahayaNya siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nur: 35)
Yang kedua, membangun cita-cita keluarga harus di berada dalam suasana mawaddah wa rahmah atau rasa cinta, rasa kasih dan sayang. Rasa cinta, rasa kasih dan sayang yang terus mewarnai suasana hati para anggota keluarga akan menyatukan seluruh anggota keluarga. Mereka memiliki cara berpikir dan cara berperasaan yang nyaris hampir sama, mereka akan saling menguatkan satu dengan yang lain, mereka akan saling mendukung satu dengan yang lain, mereka menjadi teamwork yang hebat dalam keluarga.
Nabi kita, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ibarat seorang mukmin dalam kecintaan, belas kasihan dan kasih sayang, mereka adalah bagai sebuah tubuh, jika satu anggotanya mengeluh (sakit), maka seluruh anggota badan turut merasakan dengan berjaga malam dan demam (panas dingin)” (HR. Muslim dan Ahmad)
Mewujudkan kedamaian, ketentraman, adanya rasa cinta, rasa kasih, dan sayang adalah syarat utama untuk menjadikan keluarga kita menjadi sarana terbaik bagi pertumbuhan anak-anak kita. Dengannya, pertumbuhan fisik dan intelektual anak-anak kita akan mencapai funsi yang maksimal.
Dengannya, pertumbuhan emosi anak-anak kita akan menjadi matang. Dengannya, pertumbuhan spiritulitas anak-anak akan menjadi lengkap.
Anak-anak yang mengalami pertumbuhan seperti ini akan memiliki kepribadian yang tangguh, penuh inovasi dan kreativitas, memiliki kemampuan pengendalian diri yang baik dan mampu memotivasi diri dengan luar biasa. Anak-anak kita juga memiliki kehebatan dalam ketrampilam kalkulatif, indah dalam berkomunikasi, memiliki kesehatan fisik yang prima, iapun tidak mudah cemas karena bisa mengambil keputusan-keputusan kehidupan secara baik dan tepat dan yang terakhir anak-anak memiliki kekuatan untuk senantiasa dekat dengan Tuhannya yakni Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka, dengan menggapai cita-cita standar keluarga islam, maka seluruh keluarga Islam akan memiliki anak yang berhati (akhlaq) mulia, cerdas dan bertanggungjawab.
___________________________________________________
Pembaca Fimadani.com dapat melakukan konsultasi dan mengajukan pertanyaan mengenai keluarga Islami pada Dokter Amir Zuhdi melalui email [email protected] dengan subjek email “Konsultasi Golden Family”.