Pada tahun 2004, masyarakat Muslim Indonesia dikejutkan dengan suatu peristiwa penistaan agama yang justru terjadi di sebuah kampus perguruan tinggi Islam, yaitu di kampus IAIN (kini UIN) Sunan Gunung Djati (SGD), Bandung. Peristiwa yang menyulut kemarahan para ulama itu dikenal luas dengan seruan “Anjinghu Akbaar!” yang diteriakkan oleh salah seorang mahasiswa senior dari jurusan Akidah Filsafat. Meski ungkapan ini dianggap sebagai yang paling provokatif dari kejadian itu, namun masih ada ungkapan-ungkapan lain yang memicu diskusi yang jauh lebih mendalam, terutama karena kata-kata “Anjinghu Akbaar” sendiri memang sulit ditelusuri makna dan motif di baliknya.
Salah satu uraian yang cukup jelas (dan karenanya bisa dijadikan bahan diskusi) berasal dari seorang mahasiswa senior dari jurusan Perbandingan Agama. Ada beberapa statement menarik yang sempat ia lontarkan dalam kesempatan itu. Pada kesempatan itu, ia menjelaskan motif dari dibentuknya jurusan Perbandingan Agama, yaitu untuk ‘mempertentangkan agama-agama’. Adapun tujuan dari ‘mempertentangkan agama-agama’ itu adalah untuk mencari kebenaran. Sebab, menurutnya pula, kita tidak bisa hanya berkata bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Terakhir, ia menegaskan pula bahwa jika suatu kebenaran tidak bisa ditemukan dalam agama Islam, maka kita harus mencarinya dari agama lain.
Pernyataan-pernyataan ini tentu saja menarik untuk dicermati oleh para pemerhati dunia pemikiran Islam. Setelah mencerna beberapa poin tersebut, sejumlah pertanyaan muncul ke permukaan. Pertama, apa betul tujuan didirikannya jurusan Perbandingan Agama adalah untuk mencari kebenaran sejati yang bisa jadi tidak ditemukan di dalam agama Islam? Pendapat semacam ini tentu saja mengherankan, karena ia berasal dari seseorang yang menyebut dirinya sebagai Muslim, menyatakan dirinya beriman dan tunduk patuh pada ajaran Islam, bahkan perguruan tinggi tempatnya menimba ilmu pun menggunakan nama “Islam” secara eksplisit tanpa mengakui otoritas agama lainnya.
Ada dua kemungkinan yang bisa menyebabkan kerancuan semacam ini. Bisa jadi sang mahasiswa memang tidak memahami filosofi di balik pendirian jurusannya itu. Atau, bisa jadi pula, memang telah terjadi penyelewengan secara sistematis yang dilakukan oleh kampus dan para pendidik yang terlibat di dalamnya. Jika yang terakhir ini yang terjadi, maka wajar jika kata “Islam” di nama perguruan tinggi tersebut menjadi rancu maknanya, dan tentu saja ini menunjukkan adanya ancaman yang nyata bagi seluruh mahasiswa yang menimba ilmu di kampus tersebut, dan bagi seluruh umat Islam secara umum.
Pertanyaan kedua yang akan muncul adalah: apakah benar jurusan Perbandingan Agama memang bertugas untuk ‘mempertentangkan agama-agama’? Mengapa agama-agama harus dipertentangkan? Tidak bisakah masing-masing agama dibiarkan dalam bentuk aslinya dan para pemeluk agama diperbolehkan menjalankan ajaran agamanya masing-masing?
Jika kita menengok sejarah sains dunia, kita akan menemukan satu nama besar yang disanjung-sanjung oleh Barat dan Timur sebagai Bapak Ilmu Sosiologi dan Bapak Ilmu Perbandingan Agama. Tokoh itu tidak lain adalah Al-Biruni, atau yang dikenal di dunia Barat sebagai Aliboron. Cendekiawan Muslim yang satu ini mendapatkan kedua gelar di atas karena kerja kerasnya yang menghasilkan sebuah karya masif yang ensiklopedik tentang peradaban masyarakat India. Karya tersebut adalah ‘oleh-oleh’ yang dibawanya setelah bertahun-tahun hidup dan meneliti kehidupan masyarakat di India, mulai dari tradisi, sistem kasta, corak budaya, termasuk masalah-masalah keagamaan seperti berbagai ritual peribadatan, kitab suci dan perbedaan antarsekte di agama Hindu. Sejarah mencatat karya Al-Biruni ini sebagai pionir di bidangnya, sehingga buku yang satu ini masih dijadikan sebagai referensi utama dalam bidang Indologi (cabang ilmu yang membahas berbagai aspek tentang kehidupan masyarakat India) sampai berabad-abad sesudahnya.
Sebelum Al-Biruni, sebenarnya sudah banyak orang yang menulis tentang peradaban masyarakat lain. Beberapa tokoh dari peradaban Barat-Kristen sudah menulis tentang Islam sejak masa-masa awal munculnya masyarakat Muslim di jazirah Arab. Keunggulan Al-Biruni dibandingkan kaum ‘orientalis awal’ ini adalah karena metodologinya yang jujur dan obyektif dalam mencermati peradaban India, sedangkan peradaban Barat-Kristen seringkali tidak jujur dalam menilai Islam. Sebagai contoh, sebagian di antara mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an memperbolehkan laki-laki menikahi sebanyak mungkin perempuan. Meski tuduhan ini sangat keliru, namun pandangan semacam ini diterima secara luas di Eropa hingga berabad-abad. Hal yang semacam ini tidak terjadi dalam karya Al-Biruni, karena beliau menyampaikan hasil observasinya secara apa adanya. Meski demikian, kita juga perlu memberikan catatan khusus lainnya, yaitu bahwa al-Biruni tidak pernah melepaskan keislamannya dalam melakukan pengamatan terhadap masyarakat Hindu. Artinya, ketika memberikan penilaian terhadap agama Hindu, Al-Biruni menggunakan perspektif Islam sebagai standar penilaiannya.
Dengan demikian, ‘perbandingan agama’ sebagaimana yang dijelaskan oleh mahasiswa senior IAIN SGD tadi tidaklah sama dengan yang dilakukan oleh Al-Biruni. Bagi Al-Biruni, mencari kebenaran bukanlah tujuan dari dilakukannya pengamatan terhadap agama-agama lain. Kebenaran yang dipegang oleh Al-Biruni adalah kebenaran sebagaimana yang diajarkan oleh Islam; agama yang dianutnya secara sadar dan tanpa paksaan dengan pemahaman menyeluruh atas segala konsekuensinya. Ketika mengamati agama Hindu, Al-Biruni tidak sedang ‘menerima kebenaran-kebenaran baru’, melainkan menggunakan kebenaran yang telah dipahaminya (yaitu Islam) untuk menilai agama lainnya.
Pengamatan terhadap aspek-aspek kebudayaan dan agama lain telah mendapatkan perhatian sejak jaman Rasulullah saw. Beberapa sahabat mendapat tugas spesifik, misalnya mempelajari bahasa Suryani. Pembagian tugas semacam ini menjadi sangat penting ketika sayap-sayap dakwah telah terentang ke seluruh penjuru dunia. Dengan bekal ilmu itu, Islam bisa didakwahkan ke wilayah-wilayah dakwah yang baru. Secara sederhananya, sebelum dilakukannya ekspansi dakwah, maka pengenalan medan harus dilakukan terlebih dahulu. Berkat terobosan Al-Biruni, masyarakat Islam ‘tidak buta’ perihal lahan dakwahnya di India.
Kembali pada statement sang mahasiswa senior tadi, kita dapat melihat dengan jelas terjadinya kerancuan pemikiran yang menjangkiti benaknya. Dalam wacana sekularisme, definisi “Islam” memang dibuat seolah-olah rancu. Hal ini pernah digagas oleh Nurcholish Madjid, yang menyarankan perlunya mengembalikan “Islam” kepada makna generiknya, yaitu “pasrah”. Dengan demikian, setiap orang yang pasrah pada aturan agama, agama apa pun itu, maka ia bisa disebut sebagai Muslim, dan agamanya adalah Islam. Konsep ini sekilas mirip dengan pemahaman inklusif yang diperkenalkan oleh para Teolog Kristen Barat sehingga seluruh umat beragama non-Kristen dianggapnya sebagai ‘Kristen implisit’; meskipun implisit, pada hakikatnya mereka Kristen (lihat artikel Gamang sebelumnya).
Kerancuan semakin menjadi-jadi ketika nama “Islam” itu dipergunakan tanpa kaidah. Misalnya, ketika digunakan dalam nama “Institut Agama Islam Negeri” atau “Universitas Islam Negeri”, makna mana yang sedang digunakan? Apakah “Islam” yang dimaksud adalah sebuah nama dari salah satu agama, ataukah ia juga mencakup seluruh agama? Jika konsisten dengan konsep ‘ala Nurcholish Madjid’, maka seharusnya di perguruan tinggi tersebut diajarkan juga ajaran agama-agama lainnya secara intensif dan ekstensif. Pada kenyataannya, seluruh pengajarannya diberikan dengan berbasis pada ajaran Islam, atau setidaknya demikianlah yang dikesankan. Bahkan dalam jurusan Perbandingan Agama pun tidak kita temukan pengajaran agama-agama di luar Islam secara intensif.
Ungkapan sang mahasiswa yang menyatakan bahwa “jika kebenaran tak dapat ditemukan di dalam Islam, maka harus kita cari dari agama lain” pun memperlihatkan kerancuan yang tidak kalah seriusnya. Statement ini menunjukkan bahwa ia telah mengetahui adanya suatu konsep yang dianggapnya sebagai ‘kebenaran’, namun tidak ditemukannya dalam ajaran Islam. Dengan demikian, kebenaran yang dipahaminya tidak digali dari ajaran Islam, melainkan hanya ‘dicarikan pembenarannya’ dari ajaran Islam. Jika pembenaran itu tak dapat ia temukan, maka ia beralih ke agama lain. Meski demikian, ia masih merasa pantas menyebut dirinya sebagai Muslim dan agamanya adalah Islam.
Kerancuan yang sama dapat kita temukan di banyak tempat. Banyak karya tulis yang menunjukkan watak serupa, yaitu mencari pembenaran dari agama, dan bukannya menggali kebenaran darinya. Judul seperti, misalnya, “Islam dalam Perspektif Kesetaraan Gender”, menunjukkan bahwa pemahaman kesetaraan gender itulah yang dijadikan sebagai standar kebenaran, dan dengan standar itulah Islam ‘dihakimi’. Jika Islam tidak memenuhi kriteria tersebut (yaitu kesetaraan gender), maka Islam pun dinyatakan ‘tidak feminis’, ‘tidak modernis’, ‘tidak membebaskan’, ‘perlu ditafsirkan ulang’ atau bahkan ‘perlu dimodifikasi ulang’. Adapun jika Islam menjadi sumber dari penggalian kebenaran, maka judul tadi seharusnya diubah menjadi “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam”. Islam menjadi hakim bagi konsep kesetaraan gender, dan bukan sebaliknya. Jika ada hal-hal yang sejalan dengan Islam dalam konsep tersebut, maka ia bisa diterima. Sebaliknya, jika ada hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka seorang Muslim wajib menolaknya.
Segala kerancuan dan penyimpangan ini tak perlu terjadi jika setiap Muslim memahami posisinya sebagai hamba Allah. Lisan kita sudah terlatih mengulang-ulang mengucapkannya dalam salah satu doa yang dikenal begitu luas: radhiitu billaahi rabban, wa bil-Islaami diinan, wa bi Muhammadin nabiyyan wa rasuulan (aku ridha dengan Allah sebagai Rabb-ku, dengan Islam sebagai diin-ku, dan dengan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul). Artinya, kita telah ridha menerima Allah sebagai Rabb yang menciptakan, memelihara dan mendidik kita, dan dengan sendirinya Dia-lah Yang Maha Mengetahui standar kebenaran itu, ridha menerima Islam sebagai ajaran yang mengandung standar kebenaran dari Allah SWT, dan ridha menerima Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul yang menjadi suri tauladan kita dalam memahami kebenaran. Dengan berpegang pada hal-hal itulah kita menemukan kebenaran dan menimbang segala sesuatunya.