Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa bagian tubuh manusia yang terlepas dari tubuhnya hukumnya bukan najis. Seperti orang yang mengalami amputasi, maka potongan tubuhnya bukan benda najis. Baik potongan tubuh itu terpisah pada saat masih hidup atau pun pada saat sudah meninggal dunia. (Maraqi Al Falah hal. 49)
Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa plasenta manusia itu najis, sesungguhnya bisa dikritisi. Mengingat bahwa plasenta itu bagian dari tubuh bayi sejak masih baru terbentuk menjadi janin. Dan ketika bayi itu lahir ke dunia, plasentanya pun ikut keluar juga.
Maka hukum plasenta bukan benda najis, sehingga kalau ada obat-obatan tertentu yang terbuat dari bahan plasenta manusia, hukumnya tidak najis.
Alasan tidak najisnya potongan tubuh manusia itu tidak najis karena dalam pandangan jumhur ulama, potongan tubuh manusia itu tetap dishalatkan. Dan kalau hukumnya harus dishalatkan, berarti dianggap bukan benda najis.
Namun pendapat yang berbeda kita temukan dalam pandangan Al Qadhi dari Al Hanabilah yang mengatakan bahwa potongan tubuh manusia itu tidak perlu dishalatkan. Karena potongan tubuh itu dianggap najis dalam pandangannya. (Al Mughni libni Qudamah jilid 1 halaman 45-46)
Kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa plasenta itu najis, barangkali dasar tinjauan fiqih berangkat dari mazhab Al Hanabilah ini.
Rujukan: Fiqih dan Kehidupan