Puncak Kecintaan Nabi Pada Al Qur’an

Al Quran merupakan karunia sekaligus nikmat yang amat besar dari Allah kepada umat ini. Tiada nikmat lain yang tertinggal kekal selain nikmat Al Quran. Begitulah yang seharusnya dipahami oleh muslim zaman sekarang. Apabila mereka ingin sukses dunia dan  akhirat, lahir dan batin, maka tempat berlabuhnya adalah Al Quran. Semua kecintaan ini harus direfleksikan dalam bentuk membacanya, memahami artinya, menghayatinya hingga menghafalkannya. Hingga pada akhirnya Al Quran akan berwujud dalam bentuk al amal (pengamalan).

Inilah proses pembelajaran Al Quran yang dilakukan oleh Rasulullah dahulu ketika di awal-awal menerima wahyu dari Allah. Tidak ada satu waktu atau tempat selain ketika detik-detik wahyu turun kepada beliau untuk menghibur dan memberikan ketenangan kepada hati beliau. Tidak dipungkiri bahwa semua kehidupan beliau sebagai pemimpin umat pasti memiliki aktifitas yang demikian padat, menyita waktu dan sangat sibuk. Bukan saja untuk diri beliau sendiri, tapi juga untuk kepentingan keluarga besar, sahabat dekat, dan juga umat secara keseluruhan. Belum lagi ditambah dengan kompleknya skala tekanan hidup. Karena memang selain memiliki kawan beliau juga diberi cobaan dengan adanya lawan, kaum kuffar yang menentang dakwahnya.

Semuanya beliau hadapi dengan hati yang sabar, bertawakal penuh kepada Allah, dan tentunya selalu menyuntik semangat hidup dari Al Quran yang merupakan muara perlabuhan hati kepada Tuhannya.

Bagaimana kecintaan Rasulullah kepada Al Quran, bukanlah sembarang langkah. Sebagai manusia yang pertama yang menerima firman Tuhan, Muhammad begitu mencintai ayat-ayat Allah. Beliau akan terlihat sedih apabila wahyu lama tak kunjung turun kepada beliau sebagai jawaban atas peristiwa hidup yang terjadi.

Disebutkan dalam banyak riwayat, bahwa selama lebih dari setahun wahyu tidak turun dari langit. Wajah beliau nampak sedih dan sayuh. Seolah komunikasi dengan Allah terputus. Dan ketika wahyu turun terhiburlah beliau.

Diriwayatkan pula dalam Sirah Nabawiyyah bahwa Rasulullah begitu menikmati saat-saat indah bersama Allah dalam shalatnya yang panjang. Disebutkan dalam riwayat Aisyah radiyallahu anha bagaimana kedua kaki beliau bengkak karena terlalu lama melakukan shalat malam. Mungkin shalat itu dilakukan pada jam 00.00 hingga menjelang waktu subuh.

Sepanjang malam Rasulullah mi’raj ke langit menuju Tuhannya dalam untaian alam Al Quran. Bersurat-surat dan berjuz-juz beliau baca dengan penuh peresapan dan tadabbur panjang. Syahdu dan seakan-akan detik-detik itu adalah bentuk pengaduan yang dalam kepada Tuhannya. Saking cintanya dengan Tuhannya dan Al Quran, beliau tidak lagi sadar dengan kedua kakinya yang mungkin sudah pegal dan bengkak setelah beberapa hari. Itu karena saking lamanya ia berdiri.

Sampai-sampai istri beliau, Aisyah heran sambil bertanya, “Kok gitu-gitu banget shalatmu, wahai Rasulullah? Bukankah Allah sudah menghapuskan semua dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang?”

Namun jawab beliau singkat dan penuh ketawadhuan, “Tidak pantaskah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?”

Syukur dibayar dengan kebengkakan kaki, benar-benar di luar bayangan kita. Tapi begitulah beliau mengajarkan kita umatnya bagaimana beramal syukur atas segala karunia Al Quran yang telah Allah berikan ini.

Bersyukur bagaimana seharusnya menempatkan Al Quran sebagai sarana taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Bersyukur terhadap Al Quran atas segala karunia kitab pamungkas abadi yang sarat dengan nilai-nilai positif dan hikmah bagi kehidupan ini.

Begitulah seharusnya kita mencontoh keteladanan Rasulullah dalam amaliyyah yaumiyyah (praktek pengamalan Islam dalam kehidupan sehari-hari). Sedikitpun Rasulullah tidak pernah meninggalkan tilawah dan interaksi dengan Al Quran, kendati program hidup beliau demikian padat dan jam terbang jihadnya sangat tinggi. Malah, saat-saat kebersamaan dengan Al Quran beliau jadikan sebagai pilot project bagi kekuatan hidupnya. Dengan Al Quran terhubunglah tali spiritual beliau kepada Allah sebagai Zat yang memproduksi Al Quran.

Memetik Hikmah

Banyak hikmah yang bisa kita petik dari refleksi beliau dengan Al Quran.

Yakni bahwa sebagai seorang muslim harus senantiasa terhubung dengan Allah dalam bentuk interaksi yang sempurna dengan Al Quranul Karim. Membaca, memahami artinya, mampu meresapi kandungan maknanya, kemudian menghafalkannya secara lisan untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk pengajaran kepada orang lain.

Dengan begini, Insya Allah kita akan menjadi sebaik-baik manusia sebagaimana sabda Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al Quran dan mengajarkannya (orang lain).”

Baik dalam taqarrub kepada Allah, baik dalam interaksi dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al Quran, baik dalam interaksi dengan tilawah, tadabbur dan menghafalkannya, serta baik dalam mengamalkannya. Demikian seterusnya. Jangan sampai kita bingung dalam interaksi dengan Al Quran lantaran kebodohan yang telah mendarah-daging dalam diri kita, nauzubillah min dzalik!

Tidak kita pungkiri memang bahwa sebagian besar umat Islam saat ini memiliki kesadaran yang minim terhadap kitab sucinya, terhadap Al Quran ini. Sudah berapa sering ayat-ayat Al Quran dilantunkan, diperdengarkan dan dipelajari, lembaga-lembaga/pesantren didirikan untuk menjembatani keinginan umat belajar Al Quran dengan mudah, berapa banyak sudah bentuk Al Quran dengan berbagai ukuran diwakafkan, diperjual-belikan, bahwa sampai dipamerkan? Bahkan dalam bentuknya yang sangat besar seperti yang diadakan di Bayt Al Qur’an di TMII belakangan ini.

Tapi karena memang dasarnya kesadaran umat yang rendah, tetap saja Al Quran ini sulit untuk dijamah, apalagi dimiliki dan dibaca. Mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing, sudahkah kita memiliki Al Quran di rumah-rumah kita, di kantor kita, di masjid-masjid dan musholla atau di tempat-tempat di mana aktifitas keagamaan diadakan. Adakah stok Al Quran di sana?! Kalau masih minim berarti itu benar-benar menunjukkan bahwa umat masih jauh dari kemajuan agamanya dan jauh dari tradisi keilmuan. Karena ilmu ini dibangun dari hasil interaksi dengan nilai-nilai Al Quran ini seperti yang sudah menjadi tradisi para ulama dahulu.

Oleh sebab itu kami membentuk SOHIBUL QURAN dan  berusaha menghidupkan kembali tradisi keilmuan dan kesadaran berinteraksi dengan nilai-nilai Islam ini, mengajak seluruh lapisan umat Islam untuk bergabung bersama kami, kembali belajar Al Quran dan mendalaminya. Insya Allah, kemajuan umat dan kesadaran untuk meningkatkan keilmuan dan memberantas kebodohan akan terealisasi. Dan masa depan umat ini bergantung kepada sejauh mana Al Quran diposisikan dalam hidupnya.

Pada penutup ada baiknya kita resapi motto penting yang dicamkan oleh para sahabat dahulu ketika ingin bergelut dalam dunia keilmuan:

“Kami mempelajari Al Quran, ilmu dan amal sekaligus secara bersama-sama.”

Jadi, kunci untuk mengembalikan eksistensi kejayaan dan kebahagiaan umat dan dakwah Islam adalah dengan mempelajari Al Quran terlebih dahulu. Baru kemudian ilmu didapat dan amal bisa direalisasikan. Dan begitulah para sahabat sebagai generasi terbaik dalam sejarah melakukannya.

Wallahu a’lam bish shawab.