Apa yang terbayang saat anda mendengar kata ‘anak punk’? Mungkin yang terlintas dalam pikiran adalah pengamen, rambut mohawk, narkoba, anarkisme, anti kemapanan dan segala dinamika kehidupan jalanan lainnya. Namun, terlepas dari stigma tersebut, di salah satu sudut Kota Jakarta, terdapat puluhan punkers yang memilih dakwah sebagai orientasi pergerakannya.
Punk Muslim, sebuah komunitas punk yang bermarkas di Jalan Swadaya, Pulogadung, Jakarta Timur. Embel-embel kata Muslim di nama komunitas ini bukan tanpa alasan. Ya, sejak berdirinya komunitas ini mereka berkomitmen akan membawa Islam sebagai jalur dalam segala kegiatannya.
Tak mau disebut sebagai anggota, mereka lebih memilih disebut ‘penghuni’ Punk Muslim. Kalau boleh membahas penampilan, mereka tak berbeda dengan punkers lain yang biasa ditemui. Mereka bercelana jeans kumal, gaya bicara yang tidak pernah serius, dan hampir semuanya memakai kaos berwarna hitam bergambar cadas. Baru kemudian ketika berkenalan dan berbincang lebih jauh, karakter mereka yang berbeda dari punkers pada umumnya akan tampak jelas.
“Punk Muslim itu seperti komunitas punk lainnya. Kita tetap membawa counter-culture yang sama, yaitu mendobrak kebiasaan lama, anti maintream. Mungkin bedanya di sini adalah kita mengangkat ideologi Islam. Sederhananya seperti itu,” jelas salah satu penghuni Punk Muslim, Lutfi (27) seperti yang dilansir oleh detikRamadan, Sabtu (28/7/2012).
Sementara punkers pada umumnya membawa ideologi anarkisme, mereka memilih untuk menjadikan Al Quran dan Hadits sebagai pedoman pergerakannya. Lutfi menegaskan komunitas ini ingin merubah stigma negatif yang menempel pada punk jalanan atau lebih banyak disebut street punk. Ketika banyak pihak yang menilai street punk hanyalah sampah, Punk Muslim memilih untuk merangkul mereka.
“Di sisi lain, teman-teman yang lain bilang street punk itu tidak ada, mereka cuma ikut-ikutan, cuma sampah, cuma menjelek-jelekkan punk. Punk muslim merangkul mereka, memberikan penjelasan, bahwa temen-temen punk tidak harus melakukan apa yang dilakukan oleh street punk. Misalkan tidur di jalanan, berdekil-dekil di jalanan. Tidak harus seperti itu. Kita merangkul mereka, bukan menyumpahi mereka,” tuturnya.
Walau dengan aliran musik punk, mereka membawakan pesan dakwah dalam lirik-liriknya. Mereka merasa ideologi anarkisme tak cocok bagi mereka yang muslim.
“Kalau karya sama, bedanya ya di pesan dan liriknya. Kita semua ini muslim, kalau kita muslim ya Islam lah pedoman kami. Kalau mengangkat anarkisme, tidak nyambung juga. Kan kebanyakan komunitas punk di Indonesia membawa ideologi anarkisme. Karena kita muslim ya kita angkat Islam, akan bertabrakan terus kalau sama anarkisme,” lanjutnya.
Komunitas ini awalnya berbentuk band punk yang bernama Band Punk Muslim yang terdiri dari 10 orang personil. Ketika sang vokalis, Budi Choironi atau yang lebih akrab dipanggil teman-temannya dengan nama Buce meninggal dunia, para personil band lainnya memilih untuk melanjutkan perjuangan dakwah mereka. Buce menjadi sosok inspiratif dalam pergerakan komunitas ini.
“Buce itu juga ketua persaudaraan anak jalanan se-Indonesia. Setelah almarhum meninggal, ya sudah sekalian kita bikin komunitas. Jadi tidak hanya main band tapi ada pergerakannya juga. Konsep yang ada sudah baik, kenapa gak diterusin. Jadi ada komunitas biar untuk mengajak temen-temen street punk yang ada di jalanan,” cerita pria yang ikut memprakarsai band dan komunitas Punk Muslim.
Komunitas Punk Muslim saat ini sudah memiliki 50 orang penghuni. Sekitar 20 orang penghuni pria di antaranya tinggal di markas mereka di Pulo Gadung. Beberapa di antara mereka bergabung karena ada ajakan dari penghuni komunitas, ada juga yang atas keinginannya sendiri untuk datang ke markas.
“Ya kita ngajak dan ada juga yang mereka tau ada Punk Muslim terus bergabung. Ngajaknya ya dengan kita kan mainnya di jalanan, pasti ketemu lalu ngobrol-ngobrol. Ayo main-main ke markas, ngopi-ngopi, ngrokok-ngrokok dan ngobrol santai dulu”, kata Lutfi.
Lutfi bercerita dalam prosesnya, tak mudah mengajak para penghuni Punk Muslim untuk mengikuti pola kehidupan di dalam markas yang agamis. Karakter anak jalanan yang keras menjadi tantangan yang tak pernah usai, namun tak membuat para punggawa Komunitas Punk ini menyerah.
“Ya memang mereka keras, tapi biarlah mengalir kita arahkan ke yang positif. Pasti ada kesulitan, tapi memang harus kita kasih contoh terus, kita usahakan agar mereka ikut pada budaya kita. Kita biasakan mereka dengan budaya yang Punk Muslim bangun di markas. Kalau shalat ya shalat, kalau mereka nggak ikut dulu ya tidak apa-apa, biarin aja, mereka ngliatin dulu,” ujarnya.
Kegiatan di markas Punk Muslim di Pulo Gadung, selain berlatih musik adalah mengaji, shalat berjamaah, dan tausiyah. Sementara untuk bulan Ramadan ini, Punk Muslim sedang bersiap untuk menggelar Pesantren Jalanan di daerah Ciputat pada 11-13 Agustus 2012 nanti. Sesuai dengan namanya, pesantren ini diperuntukkan bagi anak-anak jalanan.
“Insya Allah, kalau Ramadan begini kita Tarawih, belajar membaca Al Quran, ya kalau bisa. Temen-temen di jalanan, sudah tua juga masih alif ba ta. Dan belajarnya gak bisa cepat seperti anak kecil, Iqra jilid satu bisa berapa hari,” pungkas Lutfi.