Riba menurut bahasa artinya tambahan. Sedangkan menurut istilah syar’i, para ulama’ memberikan pengertian yang berbeda-beda, antara lain: Imam Ahmad berkata: “Riba adalah tambahan secara khusus.” (Raddul Muhtar: 183), mengambil keuntungan dengan cara yang haram sebagaimana Allah mensifati orang Yahudi dalam surat An-Nisa: 161 ( Tafsir Al-Qurthubi al-Baqarah: 275), Ibnu Katsir berkata: “Firman-Nya ‘dan tinggalkan sisa riba’ artinya tinggalkan kelebihan dari uang pokokmu yang ada pada manusia” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/439)
Dari Pengertian makna riba tersebut, definisi yang paling menyeluruh ialah apa yang dituturkan oleh Imam Ahmad, yaitu “tambahan secara khusus”. Sedangkan maksud “tambahan secara khusus” ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan atau pinjaman.
Sistem ini nampak berkembang pesat, menjajah di permukaan dunia, mulai dari negara ke negara dan dari kota sampai ke desa. Kerugian dan kehancuran akibat riba ini membuat mereka gila dan pingsan seperti kesurupan jin. Penyakit ini timbul pada zaman jahiliyah sebelum diutus Nabi Muhammad SAW, lalu sembuh dengan pengobatan Al Quran dan sunnah. Dan riba zaman sekarang lebih berbahaya daripada riba pada zaman jahiliyah.
Islam tidak membiarkan manusia dianiaya oleh manusia, oleh karena itu Islam menghapus kezhaliman riba pada zaman jahiliyah dengan diturunkannya ayat riba yakni QS Al Baqarah: 275 – 279.
Tentang sebab turunnya ayat ini Ibnu Katsir menuturkan: “Zaid bin Aslam dan Ibnu Juraij dan Muqatil bin Hayyan dan As-Sudi menjelaskan bahwa ayat ini turun berhubungan dengan peristiwa antara Bani Amr bin Umair (dari keturunan kalangan bani Tsaqif), dan bani Al-Mughirah (dari keturunan Bani Mahzum). Mereka masih punya sangkut paut dengan riba pada zaman jahiliyah. Setelah Islam datang, mereka sama-sama memeluk Islam, lalu Tsaqif ingin mengambil riba yang ada di bani Al-Mughirah. Lalu mereka bermusyawarah. Kata Bani Al-Mughirah, “Kita tidak perlu membayar riba dengan hasil yang kita peroleh setelah masuk Islam, (lalu terjadilah konflik), akhirnya ‘Itab bin Usaid sebagai wakil pimpinan kota Makkah menulis surat kepada Rasulullah SAW (untuk menjelaskan perkaranya dan meminta jawabannya) maka turunlah surat Al-Baqarah ayat 278 – 279, selanjutnya Rasulullah SAW membalas suratnya dengan mengutip ayat ini. Lalu mereka segera bertaubat, kembali ke jalan Allah yang benar dan meninggalkan (tidak mengambil) sisa-sisa riba setelah datangnya peringatan ini” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/442)
Ayat di atas mengandung beberapa penjelasan, antara lain:
Pertama, siksaan yang sangat berat kelak pada hari kiamat bagi pemakan riba dan yang menghalalkannya. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Karena mereka di dunia mencari harta dengan cara yang keji seperti orang gila; mereka akan disiksa di alam kubur dan pada hari kiamat, mereka tidak akan bangkit dari kubur melainkan seperti orang yang kena pukulan setan, pingsan dan gila. Demikian itu sebagai siksaan dan balasan karena mereka menyamakan jual beli dengan riba.” (Tafsir Al-Karimur Rahman: 1/244)
Kedua, riba tidak membawa berkah. Bahkan memusnahkan pelakunya. Meski sebesar apapun hasil yang ia peroleh. Ibnu Abbas ra. berkata: “Makna ‘Allah menghapus riba’ artinya tidak diterima shadaqah, haji dan silaturahim yang dilakukannya” (Tafsir Al-Qurthubi al-Baqarah ayat 275)
Ketiga, keutamaan bershadaqah. Sekalipun sedikit, Allah akan menambah dan membesarkannya. Nabi SAW bersabda: “Tidaklah salah seorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil yang baik, melainkan Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah memeliharanya sebagaimana kamu memelihara anak kuda yang kecil, sehingga menjadi semisal gunung atau lebih besar.” (HR Muslim)
Keempat, perintah segera berhenti dari muamalah riba. Ibnu Abbas berkata: “Besok pada hari kiamat dipanggil orang yang makan hasil riba, ambil senjatamu untuk memerangi kamu.” lalu dia membacakan ayat no. 279, maksudnya jika kamu tidak berhenti dari riba, maka yakinilah Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu.
Riba hukumnya haram menurut Al Quran dan sunnah serta menurut ijma’ ulama’. Berikut dalil-dalilnya.
Firman Allah: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah 275), Jabir bin Abdillah berkata: “Rasulullah SAW melaknat orang yang makan hasil riba, yang memberinya, sekertarisnya dan dua saksinya. Beliau berkata: ‘Mereka itu sama’.” (HR Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad), Dari Abdullah bin Handhalah Nabi SAW bersabda: “Satu dirham yang berasal dari riba yang dimakan oleh seorang laki-laki sedangkan dia telah tahu hukumnya, maka dosanya lebih berat daripada berzina tiga puluh enam kali.” (HR. Ahmad), Sabda Nabi SAW: “Riba itu ada tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (siksanya) seperti seorang laki-laki yang menikahi ibunya.” (HR Hakim)
Jumhur fuqaha’ membagi riba menjadi dua bagian:
Pertama, Riba Fadhl
Yaitu melebihkan penjualan barang yang ditimbang atau ditakar dengan jenis yang sama. ( Fiqhul Islami: 4/671). Dalilnya dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair (gandung) dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama ukurannya (timbangan atau takarannya) dan harus berhadap-hadapan. Maka barang siapa yang melebihi atau minta dilebihi, sungguh dia meribakan, yang mengambil atau yang memberi, sama hukumnya.” (HR Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud dan Ahmad)
Kesimpulannya: menjual barang yang sama jenisnya berupa mata uang satu jenis (termasuk emas dan perak), makanan yang ditimbang atau ditakar, maka harus berhadap-hadapan dan harus sama ukurannya sekalipun lain kualitasnya.
Kedua, Riba Nasi’ah
Yaitu menjual barang yang sama jenisnya atau lain jenis, dengan melebihkan timbangan atau takaranya atau jumlahnya karena tertunda pembayarannya. (Fiqhul Islami: 4/672)
Tidak semua bentuk penjualan atau penukaran barang yang ada kelebihannya dinamakan riba. Demikian juga tidak semua barang atau benda jika ditukar mengandung selisih timbangan atau ukuran atau nilainya dinamakan riba.
Untuk menentukan sifat benda yang termasuk riba bila dijual atau ditukar dengan penjualan yang tidak sama, ulama’ berbeda pendapat. Pendapat yang paling rajih ialah benda yang berupa emas, perak, gandum, beras, kurma dan garam, dan apa saja yang memiliki sifat yang sama dengan 6 benda ini yang menyebabkan riba, seperti mata uang dan semua makanan yang dijual lazimnya dengan takaran (timbangan). (Fatawa Lajnah Ad-Daimah: 13/268).
Ulama dan ahli ekonomi kenamaan, Abul A’la Al-Maududi yang walau telah wafat, pengaruhnya masih menggema di dunia Islam, mengakui dalam kitabnya Ar-Riba bahwa sistem bank modern bermanfaat dan penting. Ia merupakan salah satu dari kebaikan peradaban Barat modern, akan tetapi ia menjadi najis karena mengandung unsur kesyaithanan.
Di antara manfaat bank, menurut Maududi, melaksanakan pelayanan legal yang membantu bagi kehidupan, peradaban dan kebutuhan-kebutuhan perekonomian zaman sekarang. Misalnya, memindahkan uang dari satu tempat ke tempat lain (transfer), memudahkan hubungan dagang dengan luar negeri, mengamankan harta milik yang berharga, menjalankan surat-surat bukti kredit, travel chegue dan uang-uang kertas yang beredar, menjual saham-saham syarikat dagang. Juga melaksanakan pelayanan sebagai badan perwawilan (agency) bagi seseorang untuk mengerjakan urusan-urusan yang banyak dan penting dengan biaya yan sedikit dan menghindarkan dia dari kesibukan-kesibukan.
Dikemukakan oleh Al-Maududi bahwa pegawai-pegawai bank yang menyelenggarakan bermacam-macam urusan, mempunyai kemahiran yang tidak dimiliki oleh para pedagang dan pengusaha industri lainnya. Karena mereka merupakan tenaga-tenaga spesialis dalam urusan-urusan keuangan dan penyelenggaraannya. Kemahiran teknis ini adalah suatu yang sangat berharga.
Setelah Al-Maududi mengungkapkan kelebihan pekerjaan bank, kemudian beliau ungkap dua keburukan bank yang mengancam peradaban manusia. Pertama, riba semata-mata dan kedua, kekayaan dari kantong-kantong rakyat disedot oleh kerakusan kepada riba dan dipusatkan di bank. Sehingga menjelma menjadi suatu kekayaan yang hanya dimiliki oleh segelintir kaum kapitalis saja. Mereka itulah yang bertindak menurut kemauan hawa nafsu dengan berbagai jalan yang sangat merugikan rakyat.
Apabila dua keburukan ini dapat disingkirkan, maka berubahlah ia menjadi suatu pekerjaan yang suci, yang lebih banyak memberi manfaat kepada peradaban daripada yang berlaku sekarang.
Demikian sebagian keterangan tentang Riba dan bahayanya, semoga Allah SWT menjauhkan kita dan kaum muslimin dari riba dan bahayanya. Wallahu A’lam Bisshawab.