Salimul Aqidah bagi Da’i

Aqidah, bagi seseorang, merupakan pondasi awal dalam menjalankan kehidupan. Ia adalah konsepsi dan paradigma yang ada di dalam hati yang menuntunnya dalam menentukan arah dan berjalan untuk menuju paradigma yang diyakininya itu.

“Sesungguhnya,” kata Syaikh Sayyid Sabiq, “Aqidah ini merupakan jiwa bagi setiap individu. Dengan aqidah ini, ia bisa hidup dengan baik. Bila kehilangan aqidah ini, maka ruhaninya mengalami kematian. Aqidah adalah cahaya yang apabila manusia tidak mendapatkannya, maka ia akan tersesat dalam berbagai kancah kehidupan, dan mengalami kebingungan di berbagai lembah kesesatan.”[1]

Pengertian aqidah meliputi enam perkara: ma’rifat (mengenal) kepada Allah, ma’rifat kepada nama-nama Allah, ma’rifat kepada dalil-dalil wujud Allah, dan fenomena-fenomena keagungan-Nya di alam semesta ini; ma’rifat kepada alam yang ada di balik alam semesta ini atau alam ghaib, demikian pula kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya yang tercermin pada para malaikat, iblis, syaitan, jin dan ruh; ma’rifat kepada kitab-kitab Allah yang diturunkan untuk menentukan rambu-rambu kebenaran dan kebathilan, kebaikan dan kejahatan, halal dan haram, yang baik dan yang buruk; ma’rifat kepada nabi dan rasul yang telah dipilih untuk menjadi petunjuk jalan dan pembimbing makhluk untuk mencapai kebenaran; ma’rifat kepada hari akhir dan hal-hal yang ada di dalamnya seperti surga dan neraka; serta ma’rifat kepada qadar yang di atas landasannya sistem alam semesta ini berjalan, baik dalam penciptaannya ataupun pengaturannya.[2]

Syaikh Mahmud Syaltut membagi unsur-unsur pokok keimanan ke dalam empat bagian. Pertama, adanya Allah berikut keesaan-Nya, serta bersendiri-Nya dalam penciptaan, pengaturan keleluasaan bertindak-Nya terhadap alam, serta suci-Nya dari persekutuan di dalam keagungan dan kekuatan. Kedua, bahwasanya Allah memilih dari hamba-hamba-Nya orang yang dikehendaki dan diberikan kepada orang tersebut tugas kerasulan, sehingga iman kepada rasul Allah menjadi wajib. Ketiga, percaya kepada malaikat, duta wahyu di antara Allah dengan para rasul-Nya dan kepada kitab-kitab yang diturunkan-Nya sebagai risalah Allah kepada makhluk-makhluk-Nya. Keempat, percaya kepada apa yang dikandung oleh risalah-risalah tersebut yang berupa persoalan hari berbangkit dan hari pembalasan, pokok kewajiban agama, dan peraturan-peraturan yang diridhai Allah untuk hamba-hamba-Nya.[3]

Untuk menancapkan aqidah Islam secara kuat dan sempurna, seseorang harus memulainya dengan meyakini eksistensi atau keberadaan Allah. Hal ini bisa dilakukan dengan memperhatikan berbagai fenomena yang ada di alam semesta ini.

Setelah meyakini keberadaan Allah, ia harus mengetahui dan memahami sifat-sifat Allah melalui apa yang telah disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Langkah selanjutnya yakni mentauhidkan Allah, menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang pantas.

“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.’” (Yunus: 101)

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama. Barangsiapa memeliharanya (dengan penuh kesadaran, menghadirkan maknanya, dapat merasakan berbagai pengaruh-Nya dalam jiwanya), maka ia masuk surga. Dan sesungguhnya, Allah itu ganjil dan menyukai yang ganjil.” (HR Bukhari, Muslim, dan At Tirmidzi)

Imam Hasan Al Banna berkata, “Ma’rifah kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian (dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah Islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya, serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya, kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya tanpa ta’wil dan ta’thil, serta tidak memperuncing perbedaan yang terjadi di antara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya.”[4]

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’” (Ali lmran: 7)

Selanjutnya, ia harus mengenal manusia, hubungannya dengan alam, hubungannya dengan Allah, kemerdekaan dan tanggungjawabnya.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman,  ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (Al Baqarah: 30)

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (Adz Dzariyat: 56-57)

Kemudian, ia harus mengenal kenabian yang mencakup manusia dan hakikat kehidupan, tabiat kenabian, kerasulan Muhammad, keimanan terhadapnya, serta hasil dari keimanan tersebut.

“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh. dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).” (Al An’am: 83-86)

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Ahzab: 40)

Kemudian mengenal hal-hal ghaib serta makhluk-makhluk yang termasuk di dalam alam itu, yakni malaikat, iblis, dan jin.

Rasulullah bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin-jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah diterangkan kepadamu.” (HR Muslim)

“Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi syaitan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka syaitan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih.” (An Nahl: 63)

Ustadz Sayyid Quthb berkata, “Adalah  suatu  penghormatan  terhadap  akal  kemanusiaan  sendiri,  apabila  kita menaruh  terhadap  yang  ghaib  dalam  kehidupan  kita,  bukan  untuk  memasrahkan kehidupan kita kepadanya  seperti halnya orang-orang yang hanyut  terbawa oleh khayal dan khurafat, namun supaya kita senantiasa merasakan keagungan alam ini sesuai dengan hakikatnya, dan supaya kita mengenali kedudukan diri kita dalam alam raya ini. Hal itu tentu  akan  membuka  kesempatan  kepada  semangat  kemanusiaan  mengungkapkan banyak  kekuatan  untuk  diketahui,  untuk  diresapi  dengan  berbagai  jaringan  yang mengikat kita dengan alam raya itu dari kedalaman batin kita, hal mana tentu lebih besar dan  lebih dalam dari  semua yang kita capai dengan akal kita hingga hari  ini. Buktinya kita setiap hari masih saja menemukan hal-hal baru yang semula ghaib bagi kita, dan kita hingga saat ini masih hidup.”[5]

Selanjutnya, ia mesti meyakini, memahami, dan mengamalkan kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada manusia.

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian  terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,” (Al Ma’idah: 28)

Selanjutnya, ia harus mengetahui bahwa segala sesuatu akan dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir, hari kiamat.

“Telah dekat terjadinya hari kiamat. Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah.” (An Najm: 57-58)

“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji  bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, yang menguasai di Hari Pembalasan.” (Al Fatihah: 1-4)

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shalih,  mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al Baqarah: 62)

Selanjutnya, ia harus memahami bahwa alam semesta berjalan dalam sistem teratur yang telah ditetapkan oleh Allah.

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (Al Hadid: 22-23)

Ia juga harus mengetahui karakteristik aqidah Islam dan pengaruh keimanan dalam kehidupan masyarakat. Syaikh Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa buah keimanan adalah memerdekakan jiwa dari kekuasaan orang lain, membangkitkan keberanian di dalam jiwa dan keinginan untuk terus maju, menganggap enteng kematian dan menggandrungi mati syahid demi membela kebenaran, menetapkan keyakinan bahwa Allah-lah yang memberi rezeki, dan bahwa rezeki tidak dapat dipercepat karena kerakusan orang yang rakus, dan tidak dapat pula ditolak kebencian dari orang yang benci, rasa tenang dan tenteram, meningkatkan kekuatan maknawiyah manusia dan menghubungkan dirinya dengan contoh tauladan tertinggi, serta memperoleh kehidupan yang lebih baik.[6]

Seorang yang membangun aqidah Islam harus menyadari bahwa Islam adalah sistem hidup yang mengatur seluruh sendi kehidupan.

“Islam,” kata Imam Hasan Al Banna, “Adalah sistem yang menyeluruh, yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana juga ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.”[7]

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al Baqarah: 208)

Ia juga harus memahami hal-hal yang bertentangan dengan tauhid atau kesempurnaan tauhid, yakni syirik, kufur, dan nifaq. Serta bentuk-bentuknya seperti sihir, peramalan, pengobatan dengan sihir, perbintangan atau astrologi, meminta hujan dengan posisi bintang, merasa sial karena sesuatu hal, atau pun memakai jimat.

Imam Hasan Al Banna berkata, “Jimat, mantera, guna-guna, ramalan, perdukunan, penyingkapan perkara ghaib, dan semisalnya, adalah kemungkaran yang harus diperangi, kecuali mantera dari ayat Al Qur’an atau ada riwayat dari Rasulullah.”[8]

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Az Zumar: 65-66)

“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (Ibrahim: 18)

Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah bersabda, “Tanda-tanda orang munafiq itu ada empat: jika berkata ia dusta, jika berjanji, ia tidak menepatinya, jika bertengkar ia berlaku curang, dan jika berjanji ia berkhianat.” (HR Bukhari)

Dengan menancapkan aqidah Islam secara mendalam dan kuat di dalam hati manusia. Ia akan memberikan loyalitasnya hanya kepada Islam dan menolak apa yang bukan berdasarkan Islam. Dengan demikian, ia akan memberikan komitmennya terhadap Islam dan kaum muslimin dan bersikap keras terhadap kekafiran.

“Sesungguhnya penolong (wali) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Al Maidah: 55)

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (Al Mujadilah: 22)

Kemudian, hendaklah seorang muslim tidak mengkafirkan muslim yang lain tanpa neraca yang tepat. Karena kafir-mengkafirkan ini merupakan perkara yang berat, yang akan mengantarkan salah satunya ke dalam neraka.

Imam Hasan Al Banna berkata, “Kita tidak mengkafirkan seorang muslim, yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan kandungannya, dan menunaikan kewajiban-kewajibannya, baik karena lontaran pendapat maupun karena kemaksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata kufur, mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai bagian penting dari agama, mendustakan secara terang-terangan Al-Qur’an, menafsirkannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau berbuat sesuatu yang tidak mungkin diinterpretasikan kecuali dengan tindakan kufur.”[9]

Untuk mengokohkan pemahaman dan keyakinan tentang aqidah Islam, Ustadz Mahmud Muhammad Al Juhari merekomendasikan beberapa buku kontemporer yang mendukung pengokohan aqidah ini.

  1. Al Aqaid karangan Imam Hasan Al Banna
  2. Allah fi Aqidatil Islamiyah karangan Imam Hasan Al Banna
  3. Allah Azza wa Jalla karangan Ustadz Sa’id Hawwa
  4. Ar Rasul Shalallahu ‘Alaihi was Salam karangan Ustadz Sa’id Hawwa
  5. Aqidatul Muslim karangan Syaikh Muhammad Al Ghazali
  6. Al Iman (Hadharahul Islamiyah: Ususuha wa Mabadi’uha) karangan Prof. Abul A’la Al Maududi
  7. Tabsithil Aqaidil Islamiyah karanagn Syaikh Hasan Ayyub
  8. Al Aqaidul Islamiyah karangan Syaikh Sayyid Sabiq
  9. Haqiqatut Tauhid karangan Dr. Yusuf Qardhawi
  10. Aqidatul Yaumil Akhir; Al Mubarrikul Daim Lil Insanil Muslim karangan Ustadz Abdul Wadud Yusuf
  11. Kubral Yakiniyatil Kauniyah karangan Dr. Muhammad Said Ramadhan Al Buthi
  12. Khashaisut Tashawwuril Islami karangan Ustadz Sayyid Quthb
  13. Al Khashaishil ‘Amah lil Islam karangan Dr. Yusuf Qardhawi
  14. Al Iman wal Hayah karangan Dr. Yusuf Qardhawi[10]
_______________________________


[1]  Aqidah Islamiyah

[2]  ibid

[3]  Al Islam Aqidah wa Syari’ah

[4]  Risalah Ta’alim, dari Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin

[5]  Risalah ila Ukhti Muslimah

[6]  Aqidah Islamiyah

[7]  Risalah Ta’alim, dari Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin

[8]   ibid

[9]   ibid

[10] Divisi Wanita Ikhwanul Muslimun