“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah?” firman Allah dalam surah Fushshilat ayat ke 33.
Dalam Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb menafsir ayat ini dengan menuliskan, “Allah memuliakan para penyeru kebenaran”. Ya, Allah memberikan pujian kepada para penyeru kebenaran, kepada sesiapa yang berani mengambil ‘tugas berat’ yang bahkan bila ‘tugas’ ini diberikan kepada sebuah gunung maka robohlah gunung tersebut menjadi serpihan-serpihan. Seperti yang tertulis dalam surah Al Hasyr ayat 21.
“Kalau sekiranya Kami turunkan al-Quran ini ke atas sebuah gunung, niscaya akan engkau lihatlah gunung itu tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah; dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami perbuat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (Al Hasyr : 21)
Ya, tugas berat itulah dakwah, menjadi seorang penyeru kebenaran. Seorang warasatul anbiya’, pewaris nabi. Jika kita ingati, bahwa Ali Ibn Abi Thalib pernah berpesan bahwa para nabi tidak meninggalkan waris berupa dinar dan dirham tetapi warisan para nabi dan rasul adalah ilmu. Kita ingati juga bahwa Abu Hurairah pernah menghardik beberapa orang lebih tersibukkan di pasar-pasar, sementara warisan nabi tengah dibagi-bagi di masjid. Namun mereka tetap abai.
“Kami tidak melihat adanya pembagian apapun, kecuali beberapa orang tengah mengkaji Al Qur’an dan Hadits serta diskusi tentang halal haram” tutur salah seorang dari mereka.
“Bodoh kalian! Itulah warisan Rasulullah!” hardik Abu Hurairah. Bukan sekedar mengilmui, namun ada sebuah tanggung jawab untuk mendakwahkan, menyebarkannya. Karena ilmu nan tertimbun dan tidak pernah di dakwahkan, hanya akan membuat pemiliknya menjadi fasiq tanpa sadar dan terkemudian keraslah hatinya seperti yang diungkapkan oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
Mengingat beratnya tugas sebagai seorang penyeru. Sebagai seorang da’i. Maka setelah bi’tsah nubuwah, wahyu pertama yang diterima sang nabi, hingga beliau menggigil. Malaikat jibril atas titah Tuhannya, kembali menyampaikan wahyu kepada beliau, “ Wahai orang yang berselimut, bangunlah pada malam hari (untuk shalat)….” (Al Muzzamil 1-2).
Syaikh Munir Muhammad Al Ghadban, menjelaskan dalam kitabnya Manhaj Haraki, shalat malam atau qiyyamul lail diwajibkan ketika itu –awal periode dakwah terbuka dengan merahasiakan struktur gerakan, jahri’atud da’wah wa sirriyatu at tanzhim-, sebagai sebuah daurah tadribiyah ‘anifah pelatihan intensif yang keras untuk komitmen dan taat kepada Allah. Hikmahnya adalah ketika pada masa itu, dakwah mulai masuk pada periode terbuka dan mulai mendapatkan gesekan-gesekan horizontal juga tekanan dari masyarakat musyrikin Quraisy. Maka diperlukanlah “asupan energi” yang mampu meneguhkan mereka ketika itu, dan energi itu tidak lain adalah energi spiritual, keterhubungan dengan Dzat nan Maha Kuat.
“Sesungguhnya kami akan menurunkan sebuah ‘qaulan tsaqila’ perkataan yang berat kepadamu. Sungguh, bangun malam itu lebih kuat mengisi jiwa dan bacaan pada waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya pada suang hari engakau sangat sibuk dengan urusan-urusan yang panjang.” (Al Muzzamil 5-7)
Dakwah: Fardhu ‘Ain atau Fardhu Kifayah?
Perkataan yang berat, tanggung jawab yang besar namun tetap saja tidak boleh di tinggalkan. “ Dan Hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran :104).
Kata “ummat” dalam kamus Al Munawwir bermakna arrajulu aljami’u lil khair ( laki-laki yang ada pada panya terhimpun kebajikan), man huwa ‘alal haq (orang yang menapaki kebenaran), asy-sya’bu wal jumhur (rakyat, masyarkat atau bangsa). Atau sekelompok orang yang memiliki karakteristik senantiasa melakukan dakwah ( yad’u ilal khair, menyeru kepada kebaikan) amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir “min” dalam frasa “waltakun minkum” bermakna sebagai min bayaniyah yakni sebagai penjelasan bukan tab’idhiyyah atau batasan. Maka tentang ayat ini menjelaskan bahwa dakwah adalah tanggung jawab yang merupakan kewajiban setiap individu muslim. Sementara Ar Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makna “min” pada frase diatas adalah sebagai sebuah bentuk pembatasan ( Tab’idhiyyah) alasan ini dikuatkan dengan adanya sekelompok ummat yang tidak mampu-mampu menegakkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Maka perintah berdakwah ini hanya berlaku kepada golongan ulama yang mengetahui yang baik ( al khair). Jika demikian hukum berdakwah menjadi fardhu kifayah. Bila telah ada sekelompok orang yang melakukannya maka gugur kewajiban kita. Mana yang lebih baik? Saya cenderung kepada yang pertama yaitu pendapat Ibnu Katsir. Sepertinya halnya mengucap salam atau shalat jenazah yang dihukumi fardhu kifayah, tentulah seorang yang mempelopori terlebih dahulu akan beroleh pahala yang lebih besar daripada yang mengikuti. Karena hidup adalah perlombaan kebajikan, fastabiqul khairat, maka mengambil kesempatan untuk menjadi yang pertama pasti menjadi sebuah keniscayaan. Terlebih ini adalah dakwah, penyeru kebenaran. Dan Allah memuji para pelaku-pelaku dakwah dengan “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah?” (Fushshilat : 33).
Tafaqquh fi Din, Nutrisi Dakwah
Jika dipuji manusia saja sudah mampu membuat bangga, apalagi jika pujian itu datang dari Pencipta Manusia. Tentulah sebuah prestasi yang tak ternilai dan sangat membanggakan. Lalu sekarang jika dakwah adalah sebuah kewajiban, dan setiap kita wajib untuk menyampaikan. Logikanya adalah bila seseorang tidak mempunyai sesuatu maka dia tidak akan mampu memberikan sesuatu. Maka jika kita telah mengambil dakwah sebagai sebuah pilihan hidup yang harus ditempuh maka mau tidak mau dia membutuhkan asupan-asupan materi untuk dikeluarkan. Asupan-asupan ilmu untuk didakwahkan. Dan disinilah peran tafaqquh fiid diin. Memperdalam pengetahuan agama, bahakan kedudukan taffaquh fid din disejajarkan dengan wajibnya berjihad. Bahkan termasuk ke dalam bentuk jihad.
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya ( ke medan perang ). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah : 122)
Ibnu katsir meriwayatkan dari Ikrimah, perihal asbabun nuzul ayat ini. Yaitu setelah turun, “Jika kamu tidak berangkat untuk berperang , niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksa yang pedih,” ( QS At Taubah : 39), yang berkenaan dengan perang tabuk. Lalu orang-orang munafiq berkomentar tentang beberapa shabat nabi yang tetap tinggal di kampung untuk mengajari kaumnya tentang perkara-perkara agama, “Sungguh binasa orang-orang yang tidak turut dan berangkat perang bersama Muhammad.” Lalu turunlah ayat ini. (Ibnu Katsir III/65)
Berdakwah dengan Cara Sedehana
Terkadang yang namanya manusia, meski telah diberitakan tentang keutamaan-keutamaan sebuah perkara. Tetap saja ada keengganan dan kemalasan untuk mengambil perkara tersebut dengan ribuan bahkan jutaan alasan. Terlebih jika perkara itu adalah menyangkut tentang dakwah yang kemudian harus mensyaratkan tafaqquh fid din sebagai penyuplai asupan ilmu dan materi dakwah. Tidak memiliki waktu luang yang cukup untuk belajar, merasa masih belum berilmu, dan ribuan alasan sebagai pengalih tanggung jawab. Namun sebuah nasihat bijak yang layak kita perhatikan, sukses seseorang mampu terrengkuh meski dihadapnya terhadang sejuta aral, namun gagal seseorang bisa tergenggam hanya dengan sebuah alasan. Maka ada pepatah arab yang “Man Jadda wa jada”, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya. Ini adalah sunnatullah yang berlaku bagi manusia.
“Walladzinna jahaadu fiina lanahdiyannahum subulana, barang siapa yang bersungguh-sungguh mencari keridhoan KAMI niscaya akan KAMI tunjuki jalan-jalan kami.” ( QS. Al Ankabut : 69 )
Sebuah hikmah mengapa kisah para nabi terdahulu yang terrekam dalam Al Quran adalah kebanyakan kisah tentang nabi Musa ketika berhadapan dengan Fir’aun. Ini adalah sebuah motivasi robbani kepada Rasulullah agar tetap teguh dan istiqamah. Jika dibandingkan Nabi Muhammad memiliki keunggulan-keunggulan dari berbagai hal diatas Nabi Musa. Rasulullah berasal dari kabilah yang terbaik dan cukup disegani di dalam suku Quraisy, Bani Hasyim yang di pandegani sebagai pengurus makanan jam’ah haji. Beliau pernah tinggal di perkampunagn Bani Sa’adah bersama ibu susunya , Halimah. Bani Sa’adah adalah kabilah yang memiliki Bahasa Arab paling fasih dan paling halus, beliau juga di gelari Al Amin yang terpercaya sebelum bi’tsah nubuwah nya, tidak memiliki catatan buruk di masyarakat Quraisy.
Sementara Nabi Musa, beliau harus merelakan dihanyutkan agar terhindar dari pembunuhan Fir’aun, sehingga tidak mengetahui nasabnya, beliau dalah seorang lisannya kurang fasih karen cadel – dalam sebuah riwayat, Nabi Musa pernah diuji oleh Fir’aun untuk memilih bara api atau intan, bila ia seorang nabi tentulah memilih intan dan harus terbunuh saat itu. Atas ijin Allah, beliau memilih bara api dan memasukkanny dalam mulut, sehingg lidahnya menjadi luka dan bicaranya menjadi cadel- maka beliau mengajarkan doa, “Rabbisy rahli shadri wa yasirli amri wahlul uqdatan min lisaani, Rabb lapangkanlah dadaku, mudahkan urusanku, dan bukalah simpul di lisanku..”,
Beliau juga pernah memiliki catatan kriminal –secara tidak sengaja memukul seorang lelaki Mesir hingga tewas dalam perkelahian-. Maka dari berbagai keunggulan yang dimiliki Rasulullah juga keunggulan yang kita miliki, agar termotivasi untuk tidak mudah menyerah oleh keadaan. Bahwa Nabi Musa yang diuji dengan keadaan yang sangat pahit pun mampu melalui tugas kenabiannya dengan sukses. Maka tugas da’i yang yang hanya mewarisi para nabi tidaklah sesukar tugas nabawi. Maka bila kita menyerah, tentulah kualitas diri kita sebagai ummat terbaik dipertanyakan.
“Walladzinna jahaadu fiina lanahdiyannahum subulana, barang siapa yang bersungguh-sungguh mencari keridhoan KAMI niscaya akan KAMI tunjuki jalan-jalan kami.” ( QS. Al Ankabut : 69)
Baiklah sekarang kita kembali ke pokok bahasan. Tentang berdakwah, terkadang bisa dilakukan juga dengan cara yang sangat mudah. Silakan membuka mushaf, pada surah Yasin ayat ke 20. Di sana terdapat kisah tentang seorang lelaki yang datang dari ujung kota yang berkata “yaaa qaumittaabi’ul mursaliin, wahai kaumku, ikutilah para utusan-utusan itu.”
Para muffasirin berpendapat, pria ini bernama Habib An Najjar. Hanya dengan ajakan untuk mengikuti para rasul, hanya dengan kalimat yang singkat, Habib An Najjar beroleh sebuah sanjung puji dari Allah.
“Katakanlah (kepadanya) ‘masuklah ke surga’ Dia ( laki-laki itu –Habib An Najjar-) berkata ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahuinya.’” (QS Yasin : 25)
Belajar dari kisah Habib An Najjar, menunjukkan bahwa berdakwah pun bisa dilakukan dengan cara yang sangat sederhana dan mudah. Hanya dengan mengajak.
“Yuk, ikut kajian !”
“Yuk, berangkat mentoring!”
“Yuk, shalat dhuha!”
“ Yuk, shalat! Udah adzan Zhuhur.”
Serta berbagai ajakan kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar.
Maka berdakwah tak perlu harus menanti diri setenar ustadz solmed, bahkan bisa juga menjadi ustadz SosMed ( Sosial Media), berdakwah dengan media blog, Twitter, Facebook, dsb. Yang terpenting adalah ketika sesuatu itu dikeluarkan dari hati maka akan bertempat di hati dan bila hanya manis kata retorika hanya berhenti pada telinga kemudian terlupa, ma kharaja minnal qalbi mahalluhul qulub wa ma kharaja minnal lisaan mahalluhul adzan, seperti yang diungkapkan oleh imam Hasan Al Bashri.. Wallahua’alam bishawab.
Oleh : Ardhianto Murcahya, S.Psi. Solo
Facebook–Twitter–Blog
Referensi :
- Fiqh Dakwah , Jum’ah Amin Abdul Aziz
- Majalah Al Intima’ Edisi Jummadil awwal 1432 H
- Siroh An Nabawiyyah, Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfury
- Manhaj Haraki jilid 1, Syaikh Munir Muhammad Al ghadban
- Fiqh Sirah, DR. Muhammad Sa’id Ramadhan El Buthy
- Catatan kajian majelis jejak nabi, Salim A Fillah
- Majalah Dakwah Islam Al-Intima’ edisi Rabiul Awwal 1432 H
- Menyongsong Mihwar Daulah, Cahyadi Takariawan