Poligami merupakan salah satu hal yang sering menjadi bahan perbincangan dalam hubungan suami-istri. Bukan suatu hal yang aneh apabila suatu hari anda mendengar saudara atau kerabat anda berpoligami. Tulisan ini merupakan salah satu kisah yang tertulis dalam buku Ayah… Karangan Irfan Hamka tentang perjalanan Buya Hamka semasa beliau hidup yang mungkin akan menambah pengetahuan ayah dan bunda mengenai poligami.
Pada suatu sore, Ayah kedatangan tamu dua orang perempuan. Rupanya mereka adalah ibu dan anak. Si anak perempuan yang masih muda menyampaikan masalahnya kepada Ayah. Ia ingin minta cerai kepada suaminya. Perempuan muda itu bercerita bahwa ia sudah membina keluarga dengan suaminya selama Sembilan tahun. Mereka telah dikaruniai lima orang anak. Empat bulan yang lalu, suaminya minta izin untuk beristri lagi. Kontan kedamaian selama Sembilan tahun mulai terusik. Pertengkaran mulai mewarnai kehidupan mereka.
Sudah dua bulan ini suaminya jarang pulang. Kalaupun pulang, itu hanya sebentar, sekadar untuk menyerahkan biaya hidup dan biaya anak sekolah anak-anak. Belakangan perempuan muda yang tengah bersedih ini mendapat kabar yang mengejutkan hati… suaminya telah menikah siri dengan teman sekantornya.
“Saya ingin mendapatkan nasihat dan bimbingan dari Buya Hamka yang telah lama saya kenal melalui Kuliah Shubuh RRI dan Mimbar Jum’at di TVRI…” Perempuan muda itu menyampaikan maksudnya. Saat itu, Ayah yang sempat tercenung beberapa saat, lantas bertanya.
“Ananda shalat?”
“Shalat Buya. Malah tidak pernah tertinggal shalat dhuha, shalat malam, dan puasa senin-kamis,” jawabnya spontan.
“Suami Ananda shalat?” kembali Ayah bertanya.
“Selama ini kami menjalankannya bersama-sama,” sambungnya lagi.
“Apa alasan Ananda berkeinginan untuk bercerai? Sudahkah dipertimbangkan masak-masak?” Ayah melanjutkan pertanyaannya. Perempuan muda yang berniat meminta cerai dari suaminya itu sambil menahan tangis bercerita kepada Ayah.
“Kami sama-sama berasal dari Tanah Pasundan. Kami menikah karena sama-sama saling menyukai dan satu iman. Dari mulai berkeluarga, sampai Sembilan tahun usia pernikahan kami dan memiliki lima orang anak saat ini… maaf Buya, aktivitas seks suamis aya tidak pernah berkurang. Sebagai seorang istri dan berprofesi seorang guru, saya tidak bisa mengimbangi hasrat suami saya tersebut. Malah bertambah-tambah saja semangatnya. Karena kondisi, saya jadi sering menolak keinginannya, kami jadi sering bertengkar. Klimaksnya, suami saya minta izin untuk menikah lagi. Bahkan sudah dua bulan ini suami saya sering tidak pulang. Terkhir saya mendengar suami saya diam-diam telah menikah lagi.”
Perempan itu menuturkan ceritanya dengan suara terbata dan wajah agak menunduk. Mungkin ia malu manatap wajah Ayah.
“Itu sebabnya saya ingin minta cerai saja, Buya.” Perempuan yang ditemani ibunya itu mengakhiri ceritanya. Setelah mempersilakan kedua tamunya minum, Ayah mulai memberikan wejangannya.
“Ananda tahu, perceraian adalah suatu perbuatan halal yang tidak disukai Allah. Perceraian bukan saja perbuatan yang menyebabkan berpisahnya dua orang suami istri, tetapi juga merusak hubungan kedua keluarga. Membuat anak-anak kehilangan pegangan. Ada dua macam pribadi seorang laki-laki yang memiliki kelebihan bakat alam seperti suami Ananda. Pertama, laki-laki beriman. Laki-laki ini takut kepada Allah. Dia pun takut kehilangan istrinya, seperti Anada ini. Dia saying kepada keluarganya. Dia takut rusak rumah tangganya. Sementara, istrinya tidak mau dimadu. Jalan pintas yang dilakukan laki-laki ini untuk menyalurkan bakat biologis yang susah ditahannya adalah dengan cara menikahi perempuan lain secara diam-diam alias nikah di luar sepengetahuan istrinya; nikah siri atau di bawah tangan. Menikah dengan cara ini halal, tidak dimurkai oleh Allah. Yang kedua adalah Laki-laki yang tidak takut kepada Allah, apalagi istrinya. Dia akan berbuat semaunya, termasuk berzina. malah bila tidak dapat menahan dan mengendalikan hasratnya bisa melakukan perkosaan sebagai pelampiasannya.”
“Lalu bagaimana terhadap seorang istri? Sama. ada istri yang tidak takut kepada Allah, juga kepada suaminya. Istri yang tidak takut kepada Allah ini melarang suaminya untuk menikah lagi. Dia memberi peluang kepada si suami untuk berbuat sekehendak hatinya di luar rumah. Malah bila ada kesempatan, dapat pula dia berbuat seperti yang dilakukan oleh si suami, berzina.” “Singkatnya, istri yang memberi peluang kepada suaminya. Seorang istri yang memunggungi si suami ketika tidur, dapat laknat dari Allah. Begitu pula bila suami tidak mengizinkan so istri keluar rumah dan istri dilarang suaminya menjalankan puasa sunah, dia harus patuh kepada larangan si suaminya tersebut. Kepada laki-laki diperintahkan Allah untuk menikah satu, dua, tiga, dan empat dengan syarat berlaku adil, sebaiknya satu saja. Al Quran dan An-Nisaa ayat 3.”
“Hanya ini yang bisa Buya sampaikan kepada Ananda. Buya dilarang oleh agama untuk menganjurkan Ananda minta cerai kepada suami. Dan buya pun tidak berhak menganjurkan Ananda untuk bersabar saja. Keputusan ada di tangan Ananda sendiri. Semua tergantung akan tinggi rendahnya iman seseorang kepada Allah. Sekian, ya?!” Ayah mengakhiri nasihatnya.
Empat bulan kemudian, perempuan muda yang pernah meminta nasihat kepada Ayah itu datang kembali ke rumah menemui Ayah. Perempuan itu datang dengan kembali ke rumah menemui Ayah. Perempuan itu datang dengan seseorang laki-laki yang sebaya dengannya, diiringi oleh lima orang anak-anak yang hamper sebaya semuanya.
Ayah menemui mereka di ruang tamu. Mereka semua bersalaman dengan Ayah sambil mencium tangan Ayah. Si perempuan memperkenalkan laki-laki di sampingnya serta kelima anak-anak mereka.
Di akhir silaturahmnya, si perempuan berkata kepada Ayah, “Buya saya lebih takut kepada Allah daripada takut dimadu.”