“Sayyid Quthb, sebuah nama legendaris di kalangan aktivis pergerakan Islam. Namanya dipuji kaum pergerakan Islam di seluruh dunia, dari yang moderat seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, PKS, dan kelompok-kelompok Islam lainnya di Indonesia, sampai kalangan gerakan Islam radikal, seperti Al Jihad, Jamaah Islamiyah (Mesir), serta Al Qaidah, dan kelompok-kelompok lokal yang berafiliasi dengannya.
Sebaliknya, oleh kalangan penguasa sekuler, media massa, dan peneliti Barat, Sayyid Quthb mendapat stempel buruk. Ia dijuluki sebagai ‘Ideolog Gerakan Radikal Islam’, ‘Bapak Islam Fundamentalis’, bahkan ‘Guru Para Teroris’. Sebutan itu dilekatkan kuat pada Sayyid karena tokoh-tokoh radikal Islam menjadikan tulisan-tulisan Sayyid sebagai inspirasi gerakan mereka, yang umumnya memilih jalur kekerasan bersenjata.”
Demikian paragraf awal pengantar penerbit Khatulistiwa Press dalam buku “Benarkah Ia Guru Para Teroris?” yang diterbitkan pada bulan Januari 2012 lalu. Buku dengan judul asli Sayyid Quthb Dhiddal ‘Anf (Sayyid Quthb versus Kekerasan) ini merupakan karya Dr. Munir Muhammad Al Ghadban. Beliau adalah seorang penulis dan peneliti Islam yang berasal dari Suriah. Salah satu karyanya yang banyak beredar di Indonesia adalah Manhaj Haraki.
Dengan berbekal berbagai karya tulis Sayyid Quthb dan beberapa buku sekunder tentang Sayyid, Dr Munir Muhammad Al Ghadban meneliti pemikiran Sayyid terhadap kekerasan dalam mencapai tujuan dakwahnya. Dan berdasarkan penelitiannya tersebut, ia berkesimpulan bahwa Sayyid bukanlah seorang penganjur kekerasan dan terorisme seperti yang banyak dilakukan para pengagum Sayyid Quthb dewasa ini.
Buku ini diberi pengantar oleh Dr. Muhammad ‘Imarah yang menjelaskan perjalanan hidup Sayyid Quthb sejak kecil hingga dihukum mati di tiang gantungan secara ringkas. Ia menyebutkan perubahan paradigma pemikiran Sayyid Quthb di sepuluh tahun terakhir kehidupannya di penjara militer yang teramat berat. Ia, Sayyid, menuduh semua jamaah Islam sebagai jahiliyah dan kafir. Bahkan ia juga menuduh umat Islam telah murtad dan Islam telah terputus sejak beberapa abad lalu. Dalam Ma’alim fith Thariq, ia berkata, “Sesungguhnya keberadaan umat Islam telah terputus sejak beberapa abad yang lalu. Dan yang diperlukan sekarang adalah menjadikan mereka sebagai Muslim yang baru.” Bagian inilah yang nanti juga akan dibahas oleh Dr. Munir Muhammad Al Ghadban saat mengurai pemikiran Sayyid Quthb, dan kesimpulannya adalah bahwa pemikiran Sayyid tentang ini adalah “ijtihad yang keliru” atau “desahan yang tertahan dari orang yang dizhalimi”. Dr. Muhammad ‘Imarah memilih untuk menakwil ungkapan ini dalam koridor “penjelasan tambahan” yang ditulis Sayyid dalam pledoinya.
Para pengagumnya yang menelan pendapat ini mentah-mentah dengan serta-merta mengangkat pedang untuk terjun di tengah debu “anarkisme brutal” yang akan menghancurkan satu generasi pemuda Islam. Mereka adalah orang yang memiliki pemahaman yang salah mengenai maksud dari ungkapan itu. Dengan pemahaman yang salah tersebut, mereka mendeklarasikan perang terhadap “negara yang dipimpin dengan hukum kufar.”
Menurut Dr. Muhammad ‘Imarah, mereka telah menempuh jalan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Sayyid Quthb, dan Sayyid tidak bertanggungjawab atas perbuatan mereka. Mereka berpedoman dengan fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menghadapi pasukan Tartar. Namun, setelah berjalan sekitar 20 tahun sejak tragedi “anarkisme buta”, mereka mulai mengevaluasi pemikirannya dan menyadari kekeliruannya dalam berpedoman pada fatwa Ibnu Taimiyah tersebut yang tidak seharusnya digunakan dalam menghadapi segala bentuk permasalahan.
Berdasarkan penelitiannya, Dr. Munir Muhammad Al Ghadban mengambil kesimpulan bahwa Sayyid Quthb bukanlah penganjur kekerasan, bahkan ia adalah penganjur perdamaian, dan anti pertumpahan darah. Berikut ini beberapa poin dari penelitian beliau tentang pemikiran Sayyid Quthb.
Sayyid Berjihad dengan Pena dan Kata-kata, Bukan Pedang dan Senjata
“Pada tahun 1951, aku terlibat perseteruan hebat dengan kondisi pemerintahan yang ada—yaitu pemerintahan feodalisme dan kapitalisme— melalui pena, ceramah, dan berbagai pertemuan. Mengenai masalah ini, aku menerbitkan dua buah buku— di samping juga menerbitkan ratusan makalah di berbagai surat kabar, antara lain: Al Hizbul Wathani Al Jadid (Partai Nasional Baru), Al Hizbul Isytiraki (Partai Sosialis), majalah Ad Da’wah yang diterbitkan oleh Ustadz Shalih Al ‘Isymawi, majalah Ar Risalah, dan berbagai majalah yang mau menerima dan mempublikasikan tulisanku. Ketika itu, aku tidak bergabung dengan satu partai apa pun. Keadaan seperti ini berjalan sampai terjadi revolusi 23 Juli 1952,” tulis Sayyid dalam Limadza A’damuni.
Dalam Dirasat Islamiyah, pada bab Kekuatan Kata-kata, Sayyid menulis,
“Di beberapa saat, yaitu saat-saat perjuangan yang pahit yang dilakukan ummat di masa yang lalu, saya didatangi oleh gagasan keputusasaan, yang terbentang di depan mata saya dengan jelas sekali. Di saat-saat seperti ini saya bertanya kepada diri saya: Apa gunanya menulis? Apakah nilainya makalah-makalah yang memenuhi halaman koran-koran? Apakah tidak lebih baik dan pada semuanya ini kalau kita mempunyai sebuah pistol dan beberapa peluru, setelah itu kita berjalan ke luar dan menyelesaikan persoalan kita dengan kepala-kepala yang berbuat sewenang-wenang dan melampaui batas? Apa gunanya kita duduk di meja tulis, lalu mengeluarkan semua kemarahan kita dengan kata-kata, dan membuang-buang seluruh tenaga kita untuk sesuatu yang tidak akan sampai kepada kepala-kepala yang harus dihancurkan itu?
Saya tidak menyangkal bahwa detik-detik seperti ini menjadikan saya amat menderita. Ia memenuhi diriku dengan kegelapan dan keputusasaan. Saya merasa malu kepada diri saya sendiri, sebagaimana malunya seorang yang lemah tidak dapat berbuat sesuatu yang berguna.
Tetapi untunglah saat-saat seperti itu tidak berlangsung lama. Saya kembali mempunyai harapan dalam kekuatan kata-kata. Saya bertemu dengan beberapa orang yang membaca beberapa makalah yang saya tulis, atau saya menerima surat dan sebagian mereka. Lalu kepercayaan saya akan gunanya media seperti ini kembali lagi. Saya merasa bahwa mereka mempercayakan sesuatu kepada saya: sesuatu yang tidak begitu berbentuk yang terdapat dalam diri mereka. Tetapi mereka menunggu-nunggunya, bersiap-siap untuknya dan percaya kepadanya.
Saya merasa bahwa tulisan-tulisan para pejuang yang bebas, tidak semuanya hilang begitu saja, karena ia dapat membangunkan orang-orang yang tidur, membangkitkan semangat orang-orang yang tidak bergerak, dan menciptakan suatu arus kerakyatan yang mengarah kepada suatu tujuan tertentu, kendatipun belum mengkristal lagi dan belum jelas lagi.”
Dalam hal ini, Sayyid Quthb memilih berjihad dengan pena dan kata-kata daripada dengan senjata api karena menurutnya ia dapat membangunkan orang-orang yang tidur, membangkitkan semangat orang-orang yang tidak bergerak, dan menciptakan suatu arus kerakyatan yang mengarah kepada suatu tujuan tertentu.
Pelopor Revolusi Mesir yang Anti Pertumpahan Darah
Seperti diketahui, bahwa Sayyid Quthb adalah pelopor Revolusi 23 Juli yang menggulingkan pemerintahan Raja Faruq yang diktator bersama para perwira militer di bawah pimpinan Jenderal Muhammad Najib, namun sebenarnya diotaki oleh Jamal Abdun Nashr. Buku Sayyid Quthb yg berjudul Al ‘Adalah Al Ijtima’iyah fil Islam dijadikan buku pegangan wawasan pemikiran para perwira militer tersebut. Mereka kemudian menjuluki Sayyid Quthb sebagai Mirabeau Revolusi Mesir, merujuk para Mirabeu, tokoh wartawan yang merupakan ideolog Revolusi Perancis. Pada saat itu, Sayyid Quthb sudah menjalin hubungan baik dengan Ikhwanul Muslimin, namun belum secara resmi bergabung dengan organisasi yang dipimpin oleh Hasan Al Hudhaibi itu.
Kala itu di mesir ada 3 kelompok yang menolak perubahan politik di Mesir dan menginginkan status quo, yakni penguasa diktator untuk mempertahankan kezhalimannya, penjajah pendukung rezim diktator, dan rezim yang tunduk pada negara penjajah. Sayyid memandang bahwa perubahan melalui kudeta ini perlu didukung karena bersih dari pertumpahan darah dan terhindar dari jatuhnya korban pihak sipil.
Dalam hal ini, Pemimpin Ikhwanul Muslimin juga mendukung revolusi yang bertujuan untuk menghilangkan kezhaliman dan menggantikannya dengan Islam. Mahmud Al Azib, seorang pemimpin Ikhwan di Port Said menceritakan, “Sesungguhnya pemimpin kami dan Ustadz Sayyid Quthb adalah orang yang menjaga revolusi sejak janin hingga lahir.”
“Beberapa hari sebelum revolusi meletus, kami menerima perintah dari Sayyid Quthb untuk menyiapkan diri. Ketika aku menerima perintah tersebut, tepatnya 19 Juni 1952, aku langsung datang ke Kairo dan menuju rumahnya. Di sana telah berkumpul beberapa pemimpin revoluasi, diantaranya adalah Jamal Abdun Nashr. Sayyid Quthb berkata agar aku dan pasukanku menyiapkan diri. Perintah tersebut juga berlaku untuk induk organisasi Ikhwanul Muslimin yang sipil. Selain itu, ia juga berpesan jika kami mendengar terjadinya revolusi, maka kami harus menjaga stabilitas keamanan di wilayah Port Said. Ia tidak lupa memperingatkan kami untuk menghindari pertumpahan darah,” tulis Dr Shalah Khalidi dalam Sayyid Quthb, Minal Milad ilal Istisyhad.
Lihatlah bagaimana Sayyid mewanti-wanti agar revolusi berjalan tanpa pertumpahan darah!
Setelah keberhasilan revolusi tak berdarah, Dewan Militer mengadakan perayaan penghormatan untuk Sayyid Quthb. Dalam sambutannya, Sayyid mengatakan, “Sesungguhnya masa revolusi baru saja dimulai. Kita tidak boleh merasa puas dan memujinya, karena revolusi belum menghasilkan sesuatu yang dapat dikenang. Turunnya raja bukanlah tujuan revolusi ini. Tujuannya adalah mengembalikan negara kepada Islam. Para masa kerajaan, aku telah menyiapkan diri untuk masuk penjara etiap saat. Pada saat inipun, diriku juga tidak aman dari ancaman penjara, dan aku juga menyiapkan diri untuk menerimanya. Bahkan peluang diriku dipenjara lebih besar dari sebelumnya.”
Jamal Abdun Nashr pun berdiri dan berkata lantang, “Kakakku Sayyid, demi Allah! Mereka tidak akan dapat menyakitimu sebelum mereka melangkahi mayat kami terlebih dulu. Kami berjanji padamu dengan nama Allah bahwa kami siap menjadi pelindungmu sampai mati!”
Pernyataan Jamal Abdun Nashr tersebut hanya dusta belaka, karena kita tahu kemudian Sayyid Quthb dihukum gantung sampai mati oleh Jamal Abdun Nashr!
Metode Pergerakan Islam
Saat berada di penjara, Sayyid melakukan perenungan atas berbagai peristiwa yang menimpanya dan menimpa Ikhwanul Muslimin. Sayyid mengalami perubahan paradigma berpikir. Di antaranya mengenai metode yang seharusnya digunakan oleh gerakan Islam dalam berjuang meninggikan kalimat Allah. Sayyid berpendapat bahwa gerakan Islam mendasar yang membuat mereka mudah sekali dihantam dan dihancurkan oleh musuh-musuhnya.
Menurutnya, kesalahan metode lama terletak pada dua hal. Pertama, berkecimpung secara aktif dalam politik praktis, serta mencurahkan tenaga hanya untuk memperbaiki cacat-cacat pemerintah. Kedua, gerakan Islam selama ini juga terlalu menyibukkan diri dengan menuntut pemerintah untuk menerapkan sistem pemerintahan syariat Islam. Padahal keadaan mayoritas masyarakat justru jauh dari pemahaman yang benar tentang akidah dan akhlak Islam.
Menurut Sayyid, metode gerakan Islam yang benar adalah dengan memulai gerakannya dari dasar, yang tercermin dalam dua agenda besar. Pertama, memberi pendidkan kepada masyarakat dan tidak berkecimpung di pemerintahan. Kedua, melindungi dakwah dan gerakan Islam dari kemusnahan. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian pelatihan khusus kepada beberapa kelompok pemuda agar mampu melaksanakan tugas melindungi organisasi dengan baik.
Dalam hal ini Sayyid Quthb dan rekannya berharap membentuk sebuah gerakan Islam baru yang berdiri di atas konsep gerakan Islam terbaru berdasarkan perenungan Sayyid. Namun, gerakan itu tidak pernah disaksikan oleh Sayyid.
Sayyid Menolak Ide Pembunuhan Jamal Abdun Nashr
Ahmad Abdul Majid, salah satu dari lima komandan yang mengatur organisasi Ikhwanul Muslimin pernah berkata, “Kami pernah menawarkan ide untuk membunuh Jamal Abdun Nashr kepada Sayyid Quthb. Kami punya seorang anggota yang bekerja sebagai pengawal Jamal, sehingga mudah baginya untuk melaksanakan pembunuhan tersebut, ia berkali-kali menawarkan hal itu pada kami. Namun Sayyid menolaknya.
Ia menjawab, ‘Aku tidak ingin kalian menyibukkan diri dengan masalah ini. Meskipun tujuan kalian sebenarnya dalah untuk menguasai hukum pemerintahan dan menggantinya dengan penerapan hukum Syariat Islam. Bukan karena menganggap ini sebagai masalah politik atau bangsa, atau sekadar melakukan reformasi kecil-kecilan. Kita menginginkan Islam ada di jiwa dan hati masyarakat sebelum melakukan tindakan apapun. Kita tidak boleh membuang waktu untuk memikirkan cara penerapan hukum syariat Islam dengan cara kekerasan atau kekuatan bersenjata, sebelum dasar pondasi Islam itu bisa diterima dengan baik oleh seluruh elemen masyarakat. Dengan sendirinya, mereka akan memberlakukan pondasi itu dalam sistem perundang-undangan yang mereka miliki. Beginilah dahulu cara Rasulullah berdakwah bersama para shahabatnya, sehingga akhirnya pondasi tersebut bisa berkembang dan berubah menjadi pondasi yang kokoh dan kuat. Kemudian setelah itu, pndasi tersebut dibangun mejadi sistem perundang-undangan di kota Madinah. Sebenarnya mudah saja bagi Rasulullah untuk memerintahkan salah satu shahabatnya untuk membunuh Abu Jahal atau orang lain yang menghalang-halangi usaha dakwah beliau. Akan tetapi, beliau tidak mau melakukannya, meskipun mudah untuk direalisasikan karena para shahabat akan mematuhi perintahnya dengan segera. Namun, sekali lagi, beliau enggan melakukannya, karena hal tersebut bukanlah merupakan cara berdakwah yang benar.’” (Ahmad Abdul Hamid, Al Qishash Al Kamilah li Tanzhim)
Sayyid Quthb Anti Mengkafirkan Sesama Muslim
Sayyid Quthb dalam Limadza A’damuni, mengatakan, “Kami tidak pernah mengkafirkan orang lain. Bohong kalau dikatakan kami telah mengkafirkan sesama muslim. Yang kami katakan adalah, ‘Jika dilihat dari segi ketidaktahuan mereka tentang akidah Islam beserta tafsirannya yang benar, dan juga jauhnya mereka dari kehidupan Islami, maka dapat dikatakan bahwa mereka berada pada kondisi yang mirip dengan kondisi masyarakat Jahiliyah dahulu.’ Soal mendirikan pemerintahan Islam, itu bukanlah tujuan yang harus direalisasikan olehgerakan kami. Jauh lebih penting bagi kami untuk memprioritaskan menanamkan akidah dan pendidikan akhlak Islam, daripada menghukum orang lain dengan predikat kafir.”
Sayyid Quthb dan Penggunaan Senjata
Dalam Al Ikhwan Al Muslimun: Ahdats Shana’a At Tarikh, Ustadz Mahmud Abdul Halim menulis artikel tentang hubungan Sayyid Quthb dan Ikhwanul Muslimin. Disebutkan perjuangan Ikhwanul Muslimin yang telah mengobarkan perlawanan melawan militer Inggris di Terusan Suez pada akhir 1951. Inggris menghadapi perlawanan ini secara brutal dengan menghancurkan rumah-rumah dan membunuh banyak orang. Melihat banyaknya korban yang jatuh, sebagian pemuda Ikhwanul Muslminin berpendapat bahwa mereka harus melawan pasukan Inggris secara penuh dengan seluruh kekuatan yang dimiliki. Namun, sebagian lainnya berpendapat bahwa perlawanan harus dilakukan secara cermat dan penuh perhitungan, sambil menunggu waktu yang tepat untuk menyerang markas militer Inggris. Perbedaan pendapat ini membuatkeadaan semakin membingungkan, mereka menunggu pendapat pimpinan Ikhwanul Muslimin, Ustadz Hasan Al Hudhaibi.
Saat itulah Sayyid Quthb maju meminta keputusan Hasan Al Hudhaibi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Sayyid mendukung perjuangan para pemuda Ikhwanul Muslimin, meskipun Sayyid bukan anggota Ikhwan saat itu. Ia menulis artikel berjudul “Pendapat Ikhwan dan Pendapat Islam” di koran Al Mashri.
“Pada saat ini, rakyat sangat membutuhkan perkataan yang tegas, jelas, dan resmi dari ikhwanul Muslimin, karena keadaaan sudah semakin mendesak. Saudara-saudara pergerakan Islam, termasuk aku di dalamnya merupakan orang yang paling antusias mendengarkan pernyataan ini terhadap berbagai persoalan yang dihadapi bangsa.”
“Sesungguhnya peran Islam dalam perjuangan rakyat selalu merupakan peran yang positif. Saat ini, rakyat berjuang untuk mencapai dua tujuan agung, yaitu bebas secara mutlak dari setiap penjajahan asing, dan tujuan untuk mencapai keadilan sosial yang bebas dari segala eksploitasi. Pendapat Islam mengenai hal ini telah jelas, lantas bagaimana pendapat Ikhwan?”
Al Hudhaibi menyambut baik teguran dari Sayyid, ia menjawab melalui koran yang sama dengan judul “Ikhwan Ikhwan” yang berisi penguatan semangat jihad para pemuda Ikhwan.
Selain itu, dalam konsep pemikiran gerakan Islam baru, Sayyid Quthb mengatakan perlunya melakukan upaya penjagaan gerakan Islam jika diserang secara konfrontatif oleh pihak luar.
“Dalam waktu yang sama, seiring dengan berjalannya agenda-agenda tarbiyah, harakah harus dilindungi dari berbagai serangan pihak luar—baik berupa penghancuran, pembekuan terhadap kegiatan-kegiatannya, penyiksaan terhadap anggota-anggotanya, dan pengusiran terhadap keluarga dan anak-anak mereka, yang dikendalikan oleh konspirasi-konspirasi dan skenario-skenario musuh. Sebagaimana hal itu pernah menimpa Ikhwanul Muslimin tahun 1948, tahun 1954, dan kemudian tahun 1957. Juga sebagaimana yang kami dengar dan kami baca mengenai apa yang menimpa jamaah-jamaah lainnya, seperti Jamaah Islamiyah Pakistan. Ia berjalan di atas jalan yang sama dan tumbuh dari skenario dan konspirasi internasional yang sama.
Penjagaan ini dapat dilakukan dengan membentuk regu-regu yang dilatih berkorban untuk menjadi tumbal setelah mendapatkan tarbiyah Islam. Mulai dari landasan aqidah sampai pada akhlak. Regu-regu ini bukan untuk memulai menyerang, bukan pula untuk menggulingkan pemerintahan, atau ikut serta dalam kegiatan-kegiatan politik lokal, tidak! Selama harakah dalam kondisi aman dan stabil dalam melaksanakan ta’lim, menanamkan pemahaman, tarbiyah. dan pengarahan. Selama dakwah tetap kuat dan tidak dihadang dengan kekuatan, tidak dihancurkan dengan kekerasan, dan tidak pula mendapat siksaan, pengusiran, dan pembantaian, maka regu-regu ini tidak boleh campur tangan dalam kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung. Akan tetapi, ia ikut campur tangan hanya ketika harakah, dakwah, dan jamaah diserang. Ketika itu. regu-regu ini harus melawan dengan cara menyerang pihak yang menyerang, sebatas agar harakah dapat terus berjalan. Sebab, keberhasilan dalam melaksanakan sistem Islam dan berhukum dengan syariat Islam itu bukanlah tujuan jangka pendek. Karena hal itu tidak dapat terealisir kecuali setelah memindahkan masyarakat itu sendiri, atau sejumlah orang yang mencukupi dari masyarakat itu yang memiliki nilai dan bobot dalam kehidupan umum. Kepada aqidah Islam yang benar kemudian kepada sistem Islam, dan kepada tarbiyah Islamiyah yang benar di atas akhlak Islam. Meskipun hal itu akan memakan waktu yang lama dan melalui tahapan-tahapan yang lambat.”
Dengan demikian, kita melihat ada dua kondisi dimana Sayyid Quthb mendukung kekerasan bersenjata, yakni dalam hal mengusir penjajah dan dalam hal mempertahankan kelangsungan dakwah yang diserang terlebih dahulu. Namun, jika gerakan Islam tidak diserang lebih dahulu, maka tidak diperbolehkan melakukan serangan terlebih dulu.
***
Dengan demikian, menurut Dr. Munir Muhammad Al Ghadban, Sayyid Quthb adalah orang yang anti kekerasan, bahkan ia adalah korban dari tindak kekerasan. Beliau tidak menafikkan bahwa sebagian ijtihad Sayyid Quthb dipengaruhi oleh sifat dan kondisi lingkungan yang terjadi di masanya. Namun, tidak menutup kemungkinan kalau beberapa ijtihadnya ternyata bertentangan dengan sifat dan kondisi tersebut.
“Harus aku katakan bahwa Islam itu lebih besar dari ini semua … Islam adalah aturan hidup yang sempurna. Islam itu tidak tegak kecuali dengan tarbiyah dan pembentukan individu. Kecuali dengan menegakkan syariat Allah di dalam kehidupan manusia setelah mereka di-tarbiyah secara Islami. Islam itu bukan sekadar pemikiran yang disebarluaskan tanpa dilaksanakan dalam realita yang nyata, yang pertama pada tarbiyah dan yang terakhir pada sistem kehidupan dan negara.”
“Sesungguhnya, Islam itu tidak akan tegak di sebuah negara yang di dalamnya tidak terdapat gerakan tarbiyah, yang pada akhirnya berwujud sebagai sistem Islam yang menjalankan hukum berdasarkan syariat Allah. Inilah kata-kata terakhir dari seseorang yang tengah menyongsong Wajah Allah dengan mengikhlaskan hati dan menyampaikan dakwahnya sampai akhir hayatnya,” tulis Sayyid dalam pesan terakhirnya, Limadza ‘Adamuni (Mengapa Aku Dihukum Mati?).