Stigma Wahabi, Stigma Kolonial

Orang-orang Barat telah semakin jauh dari fitrah mereka sebagai manusia. Oleh sebab itu, mereka menjadi sukar memahami sifat-sifat Orang Timur yang cenderung menjunjung nilai-nilai klasik. Kesulitan memahami Timur itu ditandai antara lain oleh kecenderungan mereka memberi stigma atau stempel tertentu dan dilegalisasi melalui kajian-kajian bercitra ilmiah dan disebarluaskan melalui media, sehingga menciptakan dan menularkan fobia ke seluruh pelosok dunia. Kajian semacam ini pada dasarnya adalah produk yang didesain dalam rangka kolonialisme dengan pengetahuan sebagai alat kekuasaan, untuk memecah belah dan mengadu domba muslim di dunia. Kajian semacam ini mendapat kritik tajam dari Edward Said dan Homi Bhabha melalui kajian antitesa terhadap Kolonialisme-Orientalisme, yang disebut dengan Teori Poskolonial. Teori ini menunjuk pada segolongan kajian terhadap dampak kolonialisme terhadap masyarakat terjajah, secara fisik dan terutama mental, baik semasa maupun sesudah penjajahan berlangsung.

Di antara stigma atau stempel Barat terhadap Timur di mana Timur adalah dunia Islam, ialah WAHABI. Terma ini digunakan dan disebarluaskan Barat dengan sangat didukung oleh Iran (Syiah). Oleh sebagian besar masyarakat dunia yang tidak mengetahui hakikatnya, terma ini lebih dimaknai secara konotatif tenimbang denotatif. Wahabi secara konotatif diasosiasikan dengan gerakan memurnikan Islam dengan menegakkan kembali dua pedoman utama dalam Islam, ialah Al-Qur’an dan Assunnah.

Hal tersebut merupakan suatu paradoks, sebab gerakan demikian ini dalam islam justru merupakan gerakan yang utama dan selalu dinanti. Pengertian ‘pembaruan’ atau ‘pembaharuan’ dalam Islam sejatinya menunjuk pada gerakan demikian ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan di Yogya pada 1912 yang berusaha memberantas takhyul, biddah dan churafat. Juga Ahmad Hassan di Bangil dan apa yang hakikatnya diperjuangkan Hasyim Asy’ari di Jawa Timur. Sementara Barat menghegemoni pengertian pembaruan sebagai gerakan yang mengarah pada kompromi, permisi atau lugasnya: liberal.

Paradoksi merupakan bentuk ambivalensi diametral. Berbagai bentuk sikap ambivalen merupakan stereotip perilaku kolonial. Akibatnya adalah tumbuhnya karakter paradoksi atau ambivalens pada si terjajah. Masyarakat terjajah cenderung mengembangkan sifat terombang-ambing, gamang atau merasa serba-salah.

Paradoksi bukan hanya terjadi secara kolektif, tetapi juga menimpa individu. Ketika seseorang tercekam dengan terma ‘wahabi’, membenci ‘wahabi’, dan pada saat yang sama mengaku imannya menguat, sejatinya terdapat partentangan di sini. Menguat itu menunjuk pada proses menjadi lebih kokoh, sehingga secara spirit sejatinya menuju atau menumpu pada sumber kekuatan itu sendiri. Ibarat pohon, sumber kekuatan itu adalah akar; ibarat bangunan, tumpuannya adalah pondasi. Sebaliknya, proses melemah menunjuk pada proses menjadi lebih rapuh, rentan atau labil, sehingga ibarat pohon, arahnya menjauh dari akar menuju pucuk daun yang mudah digoyang angin; menjauh dari pondasi menuju ujung genting yang mudah diporakporanda badai. Berada dalam kecenderungan ini adalah gerakan-gerakan yang justru arahnya meninggalkan nilai-nilai yang mengakar atau fondasional (Barat menyebutnya nilai puritan atau konservatif), menuju nilai-nilai nilai-nilai kompromis (lugasnya: nilai-nilai liberal) yang sangat karet, dan oleh sebab itu rentan, rapuh dan labil.

Jadi, tidak dapat dipahami jika ada orang berkata imannya menguat tetapi pada saat yang sama pandangan-pandangannya cenderung liberal. Ini merupakan stereotip karakter yang terhegemoni atau terkolonialisasi Barat.

 

Ahmad Antawirya