Tahaluf Siyasi (Koalisi Politis dengan Kelompok Non-Islami)

Pendahuluan

Istilah Tahaluf Siyasi menjadi satu istilah yang semakin dikenal, khususnya di kalangan pendukung gerakan Islam. Dengan kejatuhan khilafah Utsmaniyah di Turki pada tahun 1924, gerakan Islam yang pertama didirikan adalah Ikhwanul Muslimin di bawah pimpinan Hasan Al Banna pada tahun 1928. Pendirian gerakan ini di Mesir membaangkitkan hasrat untuk menegakkan (Tauhid) Haikimiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Idealisme ini berkembang ke seluruh dunia dengan pendirian gerakan-gerakan Islam di hampir setiap negara di dunia. Tujuan dan konsep perjuangan mereka hampir sama antara satu lain yaitu ke arah menegakkan sebuah negara Islam dan lebih jauh dari itu menghidupkan kembali sistem khilafah yang telah berkubur.

Dalam keadaan hari ini, amatlah disadari oleh gerakan-gerakan Islam bahwa mereka tidak mampu untuk berdiri sendiri dalam memperjuangkan aspirasi masing-masing. Di dalam sebuah negara bangsa yang didirikan pada zaman moden ini, tidak semua rakyat memahami inti kandungan Islam dan kebaikan-kebaikannya. Lantas, berlakulah keperluan untuk bekerjasama dengan gerakan lain termasuk di dalam menyertai politik Pemilihan Umum atau sebagai pendukung di dalam pembentukan pemerintahan. Persoalannya, apakah hal itu merupakan satu keharusan? Dalam arti kata lain, haruskah bagi sebuah gerakan Islam untuk menjalinkan kerjasama dengan gerakan lain yang tidak mempunyai hasrat yang sama dengannya dalam membentuk kerajaan?

Pengertian Tahaluf Siyasi

Tahaluf Siyasi bermakna kerjasama (koalisi) harakah Islam dengan berbagai pergerakan lain yang tidak bertujuankan Islam di dalam perjuangannya (termasuk pemerintahan sekuler dan zhalim). Kerjasama ini boleh terjadi di dalam berbagai bidang yang disetujui bersama untuk sama-sama menghadapi musuh yang sama. Tahaluf Siyasi juga kemungkinan boleh berlaku dengan gerakan yang pernah atau berpotensi untuk menentang ideologi harakah Islam. Dalam suasana hari ini, Tahaluf Siyasi yang dimaksudkan juga termasuk kerjasama dengan golongan bukan Islam untuk menghadapi musuh yang sama.

Hukum Tahaluf Siyasi

Para ulama pergerakan khususnya berbeda pandangan mengenai hukum melakukan kerjasama dengan gerakan yang tidak bertujuankan perjuangan Islam. Sebagian darimereka dengan tegas menolak langsung sebarang usaha melakukan kerjasama ini serta menghukumi bahwa kerjasama ini sebagai haram. Di antara mereka adalah Syaikh Muhammad Quthb dan Syaikh Al Imam Abu Nasr Muhammad bin Abdullah. Sementara di antara ulama yang mengharuskan Tahaluf Siyasi adalah Syaikh Dr Yusuf Al Qaradhawi, Dr Musthafa Ath Thahan, Syaikh Muhammad Ahmad Ar Rasyid, Syaikh DR Shalah Ash Shawi, dan Syaikh DR Munir Muhammad Al Ghahdban .

Dalil-dalil yang dipegang oleh ulama yang mengharamkan Tahaluf Siyasi adalah seperti berikut:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51) فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ (52)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”

Hujjah: Kerjasama gerakan Islam dengan orang-orang kafir di atas dasar politik akan menjauhkan lagi orang-orang Islam dari mereka. Ini karena, Islam mengharamkan sebarang jenis wala’ (loyalitas) kepada kepada Ahli Kitab yang mempunyai akidah yang hampir sama dengan Islam, apatah lagi wala’ kepada orang-orang kafir yang akidah mereka langsung tidak mempunyai persamaan dengan akidah Islam.

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

“Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”

Hujjah: Ayat di atas berkenaan dengan pengharaman arak dan judi. Namun jika dilihat dari sudut Tahaluf Siyasi, kerjasama dengan musuh mungkin mendatangkan manfaat dari beberapa sudut, bagaimanapun dari sudut yang lebih jauh yaitu ke arah menegakkan Hakimiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia tidak akan dapat dicapai. Lantas, kerjasama akan menyebabkan terbenturnya usaha gerakan Islam untuk menegakkan Daulah Islamiyah. Oleh yang demikian, kerjasama ini adalah haram karena lebih banyak mendatangkan mudharat daripada manfaat.

3. Pertimbangan logika bahwa gerakan yang tidak berhasrat untuk menegakkan Islam ini pastinya hanyalah menjadikan gerakan Islam sebagai jembatan untuk mereka mendapatkan kekuasaan. Mereka sekali-kali tidak akan membiarkan gerakan Islam ini berkembang hingga lebih tinggi daripada diri mereka. Dan ini sekali lagi akan menghalangi tegaknya Daulah Islamiyah seperti yang diperjuangan oleh harakah Islamiyah.

Sementara bagi golongan ulama haraki yang mengatakan Tahaluf Siyasi sebagai sesuatu yang diharuskan, mereka berpegang dengan hujjah-hujjah berikut:

1. Hilf Al Fudhul. Ia merupakan satu peristiwa yang berlaku pada zaman Jahiliyah yaitu perjanjian di antara beberapa qabilah untuk menolong golongan yang dizalimi. Perjanjian ini telah disaksikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Inilah yang dimaksudkan oleh hadis baginda yang menyatakan:

وَأَيُّمَا حِلْفٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً

“Apapun perjanjian yang dilaksanakann ketika Jahiliyah tidak akan ditambahkan (diubah) oleh Islam melainkan semakin patut dilaksanakan – membawa makna apapun perjanjian di zaman Jahiliyah yang bermaksud kerjasama dan silaturrahim tidak akan berubah ketika Islam melainkan ia lebih patut untuk dilaksanakan. Ini karena Islam tidak akan mengharamkan sesuatu perkara yang baik.

Hujjah: Sekalipun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyaksikan perjanjian ini ketika Jahiliyah, tetapi karena Nabi telah memujinya semasa Islam, ia dianggap sebagai perkara yang baik. Ini menunjukkan bahwa sekalipun yang berada dalam ikatan perjanjian itu orang-orang yang berakidah salah, ia tetap dianggap perjanjian yang baik selagi mana tujuannya adalah baik.

2. Perjanjian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan pamannya Abu Thalib untuk menjaganya serta memeliharanya dari ancaman kaum Quraisy. Tahaluf di antara mereka berdua berlaku dalam beberapa peringkat:

  1. Ketika Abu Thalib melihat bagaimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertegas untuk melaksanakan dakwah sekalipun terpaksa mati untuk Islam, Abu Thalib lantas menyatakan: “Teruskan wahai anak saudaraku, katakanlah apa yang kamu hendaki. Demi Allah, aku tidak akan serahkan kamu kepada siapapun selama-lamanya” Kata-kata ini dibuktikan beberapa kali oleh Abu Talib di mana pernah beliau mengetahui tentang sekumpulan kaum Quraisy yang merancang untuk membunuh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dikumpulkan bani Abdul Mutalib dan Bani Hasyim untuk melindungi baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka semua berkumpul termasuklah yang masih kafir untuk melindungi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
  2. Peringkat berikutnya adalah ketika kaum Quraisy melancarkan pemboikotan kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib sebagai tindak balas karena mereka melindungi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu ditulis surat perjanjian di mana tidak dibenarkan siapapun menikahi atau dinikahi oleh kedua  kabilah ini. Juga tidak dibenarkan berlakunya urusan jual beli dengan keduanya. Surat ini ditempelkan di dinding kaabah.

Hujjah: Di dalam peristiwa-peristiwa ini, dapatlah dibuat kesimpulan bahwa menjadi satu keharusan jamaah Islam untuk mendapat perlindungan dari orang yang bukan Islam demi mencapai tujuan perjuangannya. Namun ia tidaklah sampai kepada peringkat tunduk dan patuh sehingga menggadaikan perjuangannya.

3. Perjanjian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Muth’im bin ‘Adi. Hal itu terjadi selepas kewafatan Abu Thalib dan sekembalinya baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari menyebarkan dakwah di Thaif. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memasuki kota Mekkah dengan perlindungan seorang musyrik yang bernama Muth’im bin ‘Adi. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghargai pertolongan Muth’im sehingga baginda pernah bersabda saat memenangi Perang Badar, “Sekiranya Muth’im bin Adi masih hidup lalu memintaku membebaskan tawanan ini, aku akan lakukan untuknya..”

Hujjah: Muth’im di dalam peristiwa ini sekalipun tidaklah memberikan kebebasan dan pertolongan kepada dakwah Islam tetapi melakukan sesuatu yang lebih besar dari itu, yaitu menjaga badan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Muth’im tidak pernah berniat untuk menjadi pengikut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan pendirian ini jelas ketika ia menjawab soalan dari Abu Jahal. Ini menunjukkan keharusan mendapatkan kerjasama dari orang yang tidak berniat melaksanakan Islam di dalam urusan yang memberikan kebaikan kepada Islam dan umatnya.

4. Perjanjian yang dibuat oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan kaum Yahudi ketika ditegakkan negara Islam Madinah. Perjanjian yang melahirkan Sahifah Madinah (Piagam Madinah) ini merupakan satu-satunya peristiwa besar dan terpenting yang menjadi hujjah keharusan kaum muslimin menjalinkan perjanjian dengan orang-orang bukan Islam di atas dasar memelihara kebajikan kedua pihak.

Di antara isi kandungan perjanjian ini adalah, “Kaum Muslimin mempunyai haknya dan kaum Yahudi mempunyai haknya. Dan di antara mereka hendaklah tolong menolong sekiranya diserang oleh siapapun. Dan di antara mereka hendaklah saling menasihati dan bekerjasama. Dan janganlah siapapun memungkiri janjinya. Dan hendaklah pertolongan diberikan kepada yang dizhalimi. Dan sekiranya berlaku apa-apa kepada pihak yang menjalinkan perjanjian ini, maka tempat rujukan adalah kepada Allah dan Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam…”

Hujjah: Inilah sebesar-sebar hujjah keharusan melakukan hubungan dengan non-Muslim di dalam menegakkan negara Islam. Dan tidaklah menjadi dasar Islam untuk menyingkirkan kaum Musyrikin dari realitas kehidupan.

5. Perjanjian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Bani Khaza’ah. Hal itu terjadi ketika baginda bersama para Shahabat ingin memasuki kota Makkah untuk mengerjakan haji namun dihalangi oleh kaum Quraisy. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus mata-mata dari Bani Khuza’ah yang merupakan seorang Musyrik dan mereka melaporkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai pergerakan kaum Quraisy. Bani Khuza’ah sebenarnya telah mempunyai hubungan dengan Bani Hasyim semenjak zaman Jahiliyah dan mereka meneruskan hubungan baik mereka dengan Bani Hasyim sekalipun berbeda akidah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meng-iktiraf hubungan ini dengan memberikan syarat yaitu pertolongan tidak akan diberikan kepada golongan yang zhalim.

6. Perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para Shahabat agar berhijrah ke Habasyah semasa ditindas di Makkah untuk mendapatkan perlindungan dari Raja Najasyi yang merupakan seorang Nasrani pada masa itu turut merupakan dalil kepada keharusan untuk mendapatkan perlindungan dari orang yang bukan Islam di dalam menjaga kemaslahan umat Islam.

Jawaban Terhadap Golongan Yang Mengharamkan Tahaluf Siyasi

Di dalam memberikan jawaban kepada golongan ulama haraki yang mengharamkan Tahaluf Siyasi, beberapa pandangan telah dikemukakan. Antara lain:

1. Ayat yang digunakan yaitu dari surah Al Maidah, ayat 51-52 bukanlah merujuk kepada Tahaluf Siyasi tetapi merujuk kepada orang-orang munafik yang terus meletakkan kepatuhan kepada orang-orang Yahudi di Madinah. Ia turun kepada pemimpin munafikin yaitu Abdullah bin Ubai yang bertindak untuk mendukung kabilahnya Yahudi Bani Qainuqa’ di dalam berhadapan dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini menunjukkan bahwa ayat ini tidak berhubungan dengan Tahaluf Siyasi tetapi berkenaan dengan orang yang keluar langsung dari harakah Islam untuk bekerjasama dengan musuh bagi melawan Islam.

2. Ayat 219 dari surah Al Baqarah bukan saja tidak menjadi hujjah mengharamkan Tahaluf Siyasi bahkan menjadi peneguh kepada keharusannya. Ini karena dari Tahaluf Siyasi yang dilaksanakan di beberapa negara seperti Mesir, Sudan, dan Yaman, manfaat yang besar banyak diperoleh oleh kaum Muslimin. Oleh yang demikian, di dalam masalah manfaat dan mudharat ini, pertimbangan berdasarkan skenario kontemporer perlu diperhitungkan. Tahaluf Siyasi sebelum diputuskan hendaklah dipertimbangkan masak-masak oleh pakar politik dan ahli-ahli strategi.

Kesimpulan

Di dalam menghadapi arus politik dunia pada hari ini, gerakan Islam perlu bijak mengambil manfaat dari ruang dan peluang yang ada. Tahaluf Siyasi perlu dilakukan dalam keadaan gerakan Islam mendapat keuntungan yang maksimum dalam usaha untuk menegakkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimanapun, perlu diingatkan agar penjelasan demi penjelasan hendaklah dilakukan dari masa ke masa, khususnya kepada masyarakat awam agar tidak keliru dalam memahami langkah yang diambil.

Penyertaan gerakan Islam dalam pemerintahan apapun seharusnya dilakukan dengan penelitian yang teliti terhadap skenario politik setempat. Oleh karena itu, pimpinan gerakan Islam perlu senantiasa memperhatikan dan sensitif dengan perkembangan terbaru serta kehendak masyarakat agar langkah yang diambil tidak menyebabkan kerugian di mereka nanti.

Ahmad Fadhli bin Shaari