‘Ojo wedi karo ayang-ayangmu dhewe’ (jangan takut dengan bayanganmu sendiri), itu salah satu pesan orang tua, bertahun-tahun yang lalu.
Bayangan/siluet badan kita memang gelap dan hitam, tak berwajah, seolah menyeramkan. Lucunya, jika kita takut dengan bayangan kita sendiri, kemanapun kita berlari, tetap saja bayangan itu mengikuti. Maka menjadi aneh, jika seseorang takut dengan bayangannya sendiri.
Tapi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, memang kerap begitu. Ketakutan kita akan berhadapan atau mengalami sesuatu, termasuk pada kegagalan, kehilangan, dan sebagainya sejatinya bukan apa yang kita hadapi saat itu, tapi justru ketakutan itu ada dalam diri kita. Di benak kita, persepsi kita.
Maka, untuk keluar dari kegelapan bayangan itu, kita perlu sinar yang terang. Sinar, suluh. Dalam terang, sebenarnya untuk menghilangkan bayangan, kita perlu mencari sinar dari segala penjuru. Pasti tak akan ada lagi bayangan.
Maka, sinar itu bisa berarti sesuluh, pelajaran. Al-ilmu nuurun. Ilmu itu cahaya, sinar. Kalau kita mau belajar menuntut ilmu dari manapun, kita akan memiliki banyak bekal, mampu memilih dan memilah, sehingga muncullah rasa percaya diri, lalu tidak takut lagi dengan bayang-bayang sendiri.
Namun, ada juga orang yang karena di tempat ‘terang’ takut pada bayangan, akhirnya memilih dalam kegelapan dengan maksud supaya tidak ada bayangan. Tapi sebenarnya pada saat itu dia justru sedang membutakan diri. Membutakan diri dari ilmu. Lebih baik tidak tahu hukum ini itu dari pada nanti repot sendiri kalau tidak bisa melaksanakan. Membutakan yang justru semakin membuat diri jatuh ke lubang kegelapan.
Atau, sinar juga bisa berarti lingkungan. Karena lingkungan yang sehat akan mempengaruhi pola pikir kita. Seperti dhawuh kanjeng nabi, bertemanlah dengan penjual minyak wangi, tapi jangan berteman dengan pande besi. Tentu ini bukan dalam arti yang sebenarnya, karena itu kiasan saja. Hadits lengkapnya begini:
“Perumpamaan teman yang shalih dengan yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Berteman dengan penjual minyak wangi akan membuatmu harum karena kamubisa membeli minyak wangi darinya atau sekurang-kurangnya mencium ban wanginya. Sementara berteman dengan pandai besi akan membakar badan dan bajumu atau kamu hanya akan mendapatkan bau tidak sedap“. (HR Bukhari & Muslim).
Namun, yang utama, sinar itu sebenarnya ada di mata kita. Setiap objek di sekitar kita tak akan terlihat bila tak memantul ke mata kita. Kalau kita memejamkan mata, maka semuanya juga akan terasa gelap, pekat. Mungkin itulah yang dirasakan mereka yang tuna netra. Gelap, serba hitam. Maka, untuk mendapatkan sinar, selalu gunakanlah mata. Dan selalu gunakan mata hati kita, terutama. Seperti sabda nabi, Istafti qalbaka, mintalah fatwa pada (mata) hatimu.
Karena, bisa saja kita sudah memiliki ‘sinar’ berupa ilmu yang cukup, mampu membedakan halal dan haram. Juga punya ‘sinar’ yang lain, yaitu memiliki teman-teman yang baik. Tapi kadang kita mungkin masih saja ingin melanggar dan mengakali hukum Allah. nah, pada kondisi seperti ini, maka kita perlu bertanya: lalu gerangan kemanakah perginya mata hati?