Taqrib, Kewajiban Yang Terabaikan

Suatu hari, di Masjid Nabawi, para sahabat sedang duduk berkumpul dan berbincang-bincang dengan akrab. Di salah satu bagian masjid, para sahabat yang berbincang-bincang itu adalah mereka yang tadinya berasal dari Kabilah Aus dan Khazraj.

Sungguh pemandangan yang sangat indah dan menenteramkan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW telah merekatkan hati yang sebelumnya tercerai-berai, memadamkan api dendam yang tadinya menyala-nyala, serta menumbuhkan benih-benih keharmonisan yang sebelumnya terkurung di kegelapan lipatan sekat-sekat perpecahan.

Aus dan Khazraj adalah dua kabilah yang pernah terlibat peperangan selama sekitar 120 tahun. Ada banyak perang yang mereka jalani. Yang paling terkenal adalah Perang Bu’ats. Pada perang ini, kemenangan silih berganti diraih oleh kedua pihak. Kemenangan di satu pihak artinya kekalahan di pihak lain.

Kekalahan berarti ada darah yang tertumpah, harta yang terampas, kehormatan yang dicederai, serta nyawa yang melayang. Semua itu menjadi alasan bagi masing-masing pihak untuk menuntut balas kepada pihak lawan, hingga peperangan terus berkobar selama puluhan tahun.

Tapi, semua dendam kesumat dan tuntutan itu sirna oleh cahaya Islam. Begitu mereka memeluk agama Islam, mereka bersumpah untuk menghilangkan semua permusuhan yang ada. Mereka pun hidup damai di bawah panji tauhid. Sungguh kenikmatan yang sangat berharga.

Cobaan pun tiba. Keindahan hidup berdampingan secara harmonis di antara kaum Mukminin dari beragam kabilah itu ternyata dimaknai berbeda oleh orang-orang Yahudi. Para pemuka Yahudi dan kaum munafik adalah orang-orang yang mendapat keuntungan besar dari peperangan yang berlangsung, mulai dari bisnis senjata hingga posisi politis.

Tercatat dalam sejarah bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul adalah tokoh ternama yang ditunjuk sebagai mediator perdamaian, dan akhirnya diminta menjadi raja kedua kabilah. Ketika akhirnya pertikaian berhenti dengan sendirinya setelah kedua suku memeluk Islam, keberadaan Abdullah bin Ubay (kelak dikenal sebagai tokoh munafik) menjadi tidak lagi penting. Bisa dibayangkan dendam kesumat yang muncul di hati Abdullah bin Ubay terhadap Islam.

Karena itu, persatuan adalah ancaman buat mereka. Pemandangan harmonisnya kaum Mukminin sangat menyakiti hati mereka. Maka, tampillah Syas bin Qais, seorang tokoh Yahudi. Ia mendatangi orang-orang Aus dan Khazraj yang tengah asyik berbincang-bincang itu. Ia mengungkit luka lama dengan cara menanyakan kabar saudara dan kerabat dari masing-masing orang Aus dan Khazraj yang terluka atau yang meninggal dunia.

Ia juga mempertanyakan klaim atas harta yang dirampas pada peperangan dulu. Rupanya, kata-kata Syas ini mampu mempengaruhi kedua kelompok. Mereka kemudian masing-masing menyatakan bahwa memang masih ada utang nyawa yang belum terbayar dan masih ada harta yang belum dikembalikan.

Masing-masing pihak mulai tersulut api permusuhan. Awalnya hanya berupa kata-kata. Lama-lama, kedua kelompok siap menghunus senjata. Di Masjid Nabawi, persatuan di antara sesama ummat Islam siap tercabik-cabik. Saat itulah Rasulullah SAW datang.

“Aku masih ada di antara kalian, dan kalian mau kembali ke perilaku jahiliah kalian? Bukankah derajat kalian menjadi terangkat dengan datangnya Islam?” kata Rasulullah dengan wajah yang terlihat sangat marah. Lalu turunlah ayat 103 surat Ali Imran yang berbunyi:

“Berpegang tegulahlah kalian semua kepada tali Allah, dan janganlah bercerai berai. Ingatlah nikmat Allah kepada kahan ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian. lalu karena nikmat Allah itu, kalian menjadi orang-orang yang bersaudara. (Padahal sebelumnya) kalian telah berada di tepi jurang neraka (kemusnahan), lalu Allah menyelamatkan kalian dari bahaya itu. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, agar kalian mendapat petunjuk.”

Kedua kelompok menundukkan kepalanya. Mereka kemudian menangis dan meminta ampunan karena hampir-hampir saja termakan hasutan busuk. (tentang sebab-sebab turunnya ayat, lihat Tafsir Ibnu Katsir terkait ayat ini).

Ayat ini kemudian menjadi salah satu ayat yang paling sering diucapkan oleh para ulama sepanjang sejarah. Sebabnya sangat jelas. Jika kita mengenal adagium bahwa ‘sejarah itu terus berulang dengan instrumen yang sedikit berbeda’, tak pelak lagi, permasalahan ancaman terhadap 4 persatuan kaum Muslimin termasuk di antara hal yang terjadi secara berulang-ulang sampai sekarang.

Adanya pertikaian awal yang kemudian terus disulut oleh pihak-pihak yang dirugikan oleh keharmonisan ummat Islam tidak hanya terjadi pada zaman Nabi, melainkan terus berulang sampai hari ini, ketika ummat Islam disebut-sebut berada di gerbang kebangkitanya.

Gerbang Abad 15 Hijriah, yang sering disebut-sebut sebagai abad kebangkitan Islam, sudah terbuka tiga dekade yang lalu. Selama tiga dekade ini, dunia memang ; menyaksikan banyak sekali hal yang, berhasil dicapai kaum Muslimin untuk menunjukkan kebangkitannya.

Akan tetapi, tidak sedikit pula peristiwa yang menunjukkan keterpurukan ummat Islam, dari mulai belum lepasnya Palestina dari penjajahan Zionis Israel, peristiwa Perang Teluk, hingga pendudukan atas negeri Muslim Irak dan Afghanistan.

Di sisi lain, posisi Dunia Islam juga secara umum masih belum beranjak dari kelompok negara-negara Dunia Ketiga. Kemiskinan dan ketertinggalan masih menjadi stigma yang disematkan kepada negara-negara Muslim di dunia.

Mengapa demikian? Mengapa ummat Islam masih saja terpuruk dan belum menunjukkan gerakan signifikan yang menjadi indikasi kebangkitan hakiki dari ummat nabi akhir zaman? Semua sepakat bahwa salah satu permasalahan utama yang menyebabkan ummat Islam masih terpuruk ke dalam berbagai macam ketertinggalan itu adalah masih rentannya ummat ini dari isu-isu perpecahan.

Palestina bisa dijadikan contoh yang jelas dan aktual. Perjuangan bangsa ini untuk lepas dari penjajahan memang sangat berat. Selain berhadapan dengan Zionis Israel, bangsa ini juga harus berjuang keras mencari jalan keluar atas adanya pertikaian keras di antara dua kelompok internal, yaitu Fatah dan HAMAS.

Dalam kasus terbaru, ketika kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan logistik dan makanan buat penduduk Gaza yang terblokade secara total, dan kapal tersebut mendapat serangan dari tentara Israel, sebagian besar ummat Islam tentu saja mengutuk tindakan biadab Israel itu.

Saat itu, media-media pemberitaan di Tanah Air kembali mengulas permasalahan laten Palestina. Tak kurang dari mantan Wapres Jusuf Kalla (kini Ketua PMI) yang menyatakan keprihatinannya sambil mengungkapkan bahwa bantuan apapun yang diberikan kepada bangsa Palestina selalu terkendala oleh pertikaian internal bangsa tersebut.

Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menyatakan bahwa dirinya telah dua kali mengingatkan Hamas dan Fatah agar segera mengakhiri persengketaan mereka yang menjadi syarat mudak kemerdekaan bangsa Palestina. Beliau juga menyinggung tindakan Mesir yang memblokade akses darat ke Gaza dan menyebutnya sebagai indikasi kuat sangat rapuhnya solidaritas di dunia Arab.

Irak dan Afghanistan juga didera permasalahan serupa. Di Irak, bom mobil yang meluluh-lantakkan masjid (Sunni atau Syiah) serta melenyapkan nyawa warga sipil tak berdosa sudah menjadi berita sehari-hari. Di Afghanistan, selama beberapa dekade terakhir ini, faksi-faksi terus bertikai.

Berbagai KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI) hampir tidak pernah menghasilkan kesepakatan yang menunjukkan kebesaran Islam. Liga Arab atau Organisasi Negara-Negara Teluk juga menunjukkan watak organisasi yang sama.

Negara-negera Muslim lebih suka bersekutu dengan negara lain ketimbang dengan sesama negara Muslim lainnya. Persekutuan apapun yang mengatasnamakan Islam selalu saja rapuh. Ke manapun ummat Islam ini bergerak untuk maju selalu membentur dinding menjulang tinggi bernama perpecahan.

Sama seperti kejadian yang menimpa kabilah Aus dan Khazraj setelah mereka masuk Islam, benih perpecahan itu disulut oleh pihak luar yang dirugikan dengan keharmonisan kaum Muslim. Perpecahan itu ada yang membuatnya, dan karenanya harus dilawan. Perpecahan itu menjadi komoditas musuh yang harus dilenyapkan.

Sama seperti Kabilah Aus dan Khazraj yang diperintahkan oleh Allah untuk berpegang teguh kepada tali Allah dan jangan sampai bercerai-berai, kaum Muslimin dunia saat ini juga mendapatkan seruan serupa. Mereka harus diingatkan kepada memori indahnya hidup harmonis. Dan, lebih dari segalanya, mereka harus diingatkan bahwa persatuan adalah salah satu perintah Allah – perintah yang seakan terlupakan – yang termasuk ke dalam kategori wajib.

Tak seorang ulama pun yang membantah bahwa perintah bersatu pada ayat 103 surat Ali Imran itu hukumnya semakin tinggi mengingat perintah untuk berpegang teguh kepada tali Allah (wa’tashimuu bi hablillati) langsung disusul dengan larangan tegas untuk bercerai-berai (wa laa tafarmquu). Sangat jarang sebuah perintah dalam Al Quran disampaikan dengan redaksi dua kalimat berturut-turut: perintah melakukannya dan larangan untuk melakukan hal sebaliknya.

Agar bisa mengimplementasikan kewajiban itu, ummat Islam bukannya tidak punya peluang. Berkat rahmat Allah yang Mahakasih, kita sebenarnya punya modal yang sangat besar, yang beberapa di antaranya tidak dimiliki oleh kelompok agama besar lainnya. Pertama, seluruh mazhab dan kelompok di dalam Islam memiliki prinsip dan rukun iman atau aqidah yang sama, seperti kepercayaan kepada tauhid, kenabian, kitab suci, dan hari akhir.

Selain itu, mereka juga meyakini hal-hal yang sama menyangkut rukun Islam. Semua sepakat tentang wajibnya shalat, zakat, puasa, haji, berjihad, dan sebagainya. Semua kelompok juga sepakat tentang haramnya berzina, minum khamar, mencuri, dan sebagainya

Bahkan, ummat Islam dari beragam golongan ini melaksanakan tata-cara beribadah dengan aturan yang secara umum sama. Contohnya adalah haji. Tidak ada satupun kelompok atau madzhab yang punya pendapat bahwa untuk berhaji kita diperbolehkan melaksanakannya di tempat selain Mekah. Juga shalat, semua sepakat bahwa shalat itu menghadap kiblat (Ka’bah).

Hal lain yang mempersatukan ummat Islam adalah yang terkait dengan ajaran akhlak. Semua kelompok dan madzhab sepakat bahwa rendah hati, bertutur sopan, dan peduli terhadap sesama adalah ajaran agama. Tidak ada satupun kelompok yang memiliki keyakinan sebaliknya.

Menarik untuk diperhatikan bahwa , meskipun secara formal ummat Islam ini terkotak-kotak ke dalam berbagai kelompok, partai, faksi, dan negara, akan tetapi, mereka memiliki kesamaan dalam hal pandangan politik secara umum. Kaum Muslimin sepakat bahwa bangsa Palestina adalah saudara sesama agama yang tertindas akibat penjajahan Zionis Israel.

Bahkan mereka secara umum memiliki pandangan yang sama bahwa dalam hal Palestina, negara adidaya Amerika Serikat telah bertindak tidak adil. Untuk itulah para pejabat tinggi AS, terutama di zaman George W. Bush, selalu menjadi sasaran demo kaum Muslimin.

Landasan teologis sudah diletakkan. Modal untuk mewujudkannya sudah tersedia. Para ulama juga sudah melakukan sejumlah perintisan dalam rangka meletakkan dasar-dasar taqrib bayna al madzahib (pendekatan antar mazhab).

Adalah tugas kita semua untuk tetap menyalakan api semangat pendekatan dan ukhuwah di antara seluruh kaum Muslimin, dan kemudian menerjemahkan semangat itu dalatn bentuk langkah-langkah kongkret.

Sumber: Buletin Yayasan Muslim Indonesia Bersatu, Edisi Perdana April 2011