Para ulama saling berbeda pendapat, apakah di antara berbagai macam dosa, ada dosa yang taubatnya tidak diterima ataukah taubat dari dosa apa pun diterima?
Menurut Jumhur, taubat harus dilakukan untuk setiap dosa. Setiap dosa memungkinkan untuk dimintakan ampunan dengan bertaubat. Ada pula golongan yang mengatakan, bahwa taubat pembunuh tidak diterima. Ini termasuk pendapat Ibnu Abbas dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Bahkan Ibnu Abbas harus berdebat dengan rekan-rekannya, yang mengatakan, “Bukankah Allah telah befirman dalam surat Al-Furqan: 68-70, ‘Dan, orang-orang yang tidak menyembah sesembahan yang lain beserta Allah dan tidak pula membunuh jiwa yang diharamkan Allah…’ sampai, ‘kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan?”
Ibnu Abbas menyanggah, “Ayat ini berkaitan dengan perbuatan di masa Jahiliyah. Pasalnya, ada beberapa orang musyrik yang dulu pernah melakukan tindak pembunuhan dan juga pernah berzina. Lalu mereka menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, seraya berkata, ‘Apa yang engkau serukan itu benar-benar bagus. Andaikan saja engkau memberitahukan kepada kami tentang suatu tebusan dari apa yang pernah kami lakukan’. Maka turunlah ayat ini. Jadi, ayat ini berkenaan dengan diri mereka. Sementara dalam surat An-Nisa’ telah disebutkan firman Allah, ‘Dan, barangsiapa membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya’. Jika seseorang mengetahui Islam dan syariatnya, lalu dia membunuh dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam.”
Menurut golongan ini, karena membunuh orang Mukmin secara sengaja tidak bisa diterima dan tidak ada cara untuk meminta pembebasan darinya, apalagi mengembalikan nyawanya. Taubat dari hak manusia tidak dianggap sah kecuali dengan salah satu dari dua cara ini. Sementara keduanya tidak bisa lagi dilakukan oleh pembunuh. Berbeda dengan harta, yang sekalipun pemiliknya sudah meninggal dunia, maka orang yang merampasnya masih bisa menyampaikan manfaat harta itu kepada pemiliknya yang sudah meninggal, dengan cara menshadaqahkannya.
Mereka juga berkata, “Kami tidak menolak pendapat bahwa syirik itu lebih besar dosanya daripada tindak pembunuhan, dan taubat dari syirik itu masih bisa dilakukan. Tapi taubat dari syirik ini berkait dengan hak Allah, dan memohon ampunan dari-Nya masih memungkinkan. Tapi kaitannya dengan hak manusia, maka taubatnya tergantung pada pengembalian hak itu atau meminta pembebasan darinya.
Jumhur yang berpendapat bahwa taubat dari dosa apa pun bisa diterima, berhujjah dengan firman Allah, “Dan, sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82).
Jika pembunuh itu bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka Allah akan mengampuni dosanya. Juga telah disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, tentang orang yang pernah membunuh seratus orang kemudian bertaubat, dan ternyata taubatnya itu diterima. Ada beberapa hadits lain yang menyatakan hal yang sama.
Tentang surat An-Nisa’: 93, bahwa orang yang membunuh orang Mukmin secara sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, banyak nash lain yang senada dan yang di dalamnya disebutkan ancaman seperti itu, seperti firman-Nya, “Dan, barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan-Nya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 14).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa membunuh dirinya sendiri dengan sepotong besi, maka besi itu akan menghunjam dirinya, dia kekal dan dikekalkan di neraka Jahannam.”
Manusia saling berbeda tentang nash semacam ini. Di antara mereka ada yang mengartikannya menurut zhahirnya, bahwa pelakunya akan kekal di dalam neraka. Ini merupakan pendapat golongan Khawarij dan Mu’tazilah. Dalam hal ini pun mereka juga saling berbeda pendapat. Khawarij mengatakan, mereka itu sama dengan orang kafir, karena yang kekal di dalam neraka hanya orang kafir. Mu’tazilah berpendapat, mereka bukan orang-orang kafir, tetapi orang-orang fasik yang juga kekal di dalam neraka, jika mereka tidak bertaubat. Golongan lain berpendapat, siapa yang melakukannya yakin tentang pengharamannya, maka dia tidak mendapat ancaman ini (kekal di dalam neraka), sekalipun dia tetap mendapat ancaman masuk neraka.
Kemudian ada perbedaan pendapat tentang pembunuh yang bertaubat dan dia menyerahkan diri untuk dijatuhi hukuman setimpal (qishash).
Apakah pada hari kiamat korbannya masih mempunyai hak untuk menuntut atas dirinya?
Satu golongan berpendapat, pembunuh itu tidak lagi mempunyai dosa yang harus ditanggungnya di hadapan korban pada hari kiamat, sebab memang hukum qishashlah yang harus diterapkan kepadanya. Hukuman merupakan tebusan bagi pelakunya. Dengan cara itu seakanakan dia telah memenuhi hak warisan korban terhadap ahli warisnya dengan cara mengorbankan dirinya. Sebab tidak ada bedanya apakah
seseorang memenuhi hak orang lain lewat dirinya atau wakilnya.
Golongan lain berpendapat, korban telah dizhalimi dan kehilangan hak-haknya. Sementara dia juga tidak tahu apa yang terjadi setelah dia dizhalimi, sekalipun kemarahan ahli warisnya dapat dipadamkan. Tapi manfaat apa yang diperoleh korban? Hak dalam pidana pembunuhan itu ada tiga macam: Hak Allah, hak korban dan hak waris. Hak Allah tidak terpenuhi kecuali dengan taubat. Hak ahli waris bisa terpenuhi dengan meminta pelaksanaan hukuman sehubungan pembunuhan itu.
Ada tiga pilihan untuk ini: Pelaksanaan qishash, ampunan tanpa disertai tebusan harta, dan tebusan harta. Sekalipun ahli waris sudah menerima tebusan dari pembunuh, hak korban belum terpenuhi secara total. Sebab bagaimana mungkin haknya sudah terpenuhi, jika ini merupakan salah satu dari tiga cara pemenuhan hak? Andaikata korban dapat berkata, “Jangan-lah kalian membunuhnya, karena aku akan menuntutnya sesuai dengan hakku pada hari kiamat, namun nyatanya mereka membunuhnya, apakah dengan begitu hak korban dianggap gugur?
Yang benar dalam masalah ini menurut hemat saya, dan Allah lebih mengetahui mana yang benar, jika pembunuh bertaubat sebagai pemenuhan terhadap hak Allah, dan dengan suka rela dia menyerahkan dirinya kepada ahli waris, agar dengan begitu dia dapat memenuhi hak korban, maka dua hak telah dia penuhi. Kini tinggal hak korban yang belum terpenuhi, yang tentunya Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Namun ampunan Allah yang diberikan kepada pembunuh sudah dianggap sebagai pengganti dari hak korban, sebab apa yang dialaminya juga tidak bisa dihalangi dengan membunuh pembunuhnya.
Taubat yang sebenar-benarnya sudah cukup untuk menghapus dosa di masa lampau dan hal ini menjadi pengganti dari kezhalimannya, sehingga dia tidak dijatuhi hukuman karena kesempurnaan taubatnya. Hal ini seperti orang kafir yang pernah memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membunuh orang Muslim. Namun jika kemudian dia masuk Islam dan Islamnyabagus, maka Allah akanmemberikan pengganti kepada korban yang dibunuhnya dan mengampuni orang kafir yang masuk Islam itu, karena keislamannya. Dia tidak dihukum karena pernah membunuh orang Muslim secara zhalim. Taubat yang menghapus dosa sebelumnya, sama seperti Islam yang menghapus dosa seseorang sebelum masuk Islam.