Tawakkal

Allah befirman berkaitan dengan tempat persinggahan tawakkal ini, “Dan, hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23).

Allah befirman kepada Rasul-Nya, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali Imran: 159).

Masih banyak firman Allah yang menjelaskan tawakkalnya para nabi, rasul dan orang-orang yang beriman.

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan hadits tentang tujuh puluh ribuorang yang masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yangtidak mempercayai mantra, tidak meramal yang buruk-buruk, tidakmengobati dengan sundutan api, dan hanya bertawakal kepada Allah.

Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Hasbunallah wa ni’mal-wakil”, diucapkan Ibrahim Alaihis-Salam, ketika beliau dilemparkan ke kobaran api, danjuga dikatakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, saat orang-orang berkata kepada beliau, “Sesungguhnya manusia (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”.

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa berdoa,

“Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku kembali dan karena-Mu aku bermusuhan. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada kemuliaan-Mu, yang tiada llah selain Engkau, agar Engkau (tidak) menyesatkanaku. Engkau Yang Mahahidup yangtiada mati, sedangkan jin dan manusia mati.”

Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab secara marfu’, “Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengansebenar-benarnya tawakkal, niscaya Dia akan melimpahkan rezki kepadakalian sebagaimana Dia memberikan rezki kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.”

Di dalam As-Sunan disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan (saat keluar dari rumalinya), ‘Dengan asma Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah’, maka dikatakan kepadanya, ‘Kamu mendapat petunjuk, dilindungi dan dicukupkan. Lalu syetan berkata kepada syetan lainnya, ‘Bagaimana mungkin kamu bisa memperdayai orang yang telah mendapat petunjuk, dilindungi dan dicukupi?'”

Tawakkal merupakan separoh agama dan separohnya lagi adalah inabah. Agama itu terdiri dari permohonan pertolongan dan ibadah. Tawakkal merupakan permohonan pertolongan sedangkan inabah adalah ibadah.

Tawakkal merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan menyeluruh, yang senantiasa ramai ditempati orang-orang yang singgah di sana, karena luasnya kaitan tawakkal, banyaknya kebutuhan penghuni alam, keumuman tawakkal, yang bisa disinggahi orang-orang Muk-min dan juga orang-orang kafir, orang baik dan orang jahat, termasuk pula burung, hewan liar dan binatang buas. Semua penduduk bumi dan langit berada dalam tawakkal, sekalipun kaitan tawakkal mereka berbe-da-beda.

Para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang khusus bertawakkal kepada Allah karena iman, menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, berjihad memerangi musuh-musuh-Nya, karena mencintai-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sedangkan selain mereka bertawakkal kepada Allah karena kepentingan dirinya dan menjaga keadaannya dengan memohon kepada Allah. Ada pula di antara mereka yang bertawakkal kepada Allah karena sesuatu yang hendak didapatkannya, entah rezki, kesehatan, pertolongan saat melawan musuh, mendapatkan istri, anak dan lain sebagainya. Ada pula yang bertawakkal kepada Allah justru untuk melakukan kekejian dan berbuat dosa. Apa pun yang mereka inginkan atau yang mereka dapatkan, biasanya tidak lepas dari tawakkal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Bahkan boleh jadi tawakkal mereka ini lebih kuat daripada tawakkalnya orang-orang yang taat. Mereka menjerumuskan diri dalam kebinasaan dan kerusakan sambil memohon kepada Allah agar menyelamatkan mereka dan mengabulkan keinginan mereka.

Tawakkal yang paling baik ialah tawakkal dalam kewajibanmemenuhi hak kebenaran, hak makhluk dan hak diri sendiri. Yang paling luas dan yang paling bermanfaat ialah tawakkal dalam mementingkan faktor eksternal dalam kemaslahatan agama, atau menyingkirkan kerusakan aga-ma. Jni merupakan tawakkalnya para nabi dalammenegakkan agama Allah dan menghentikan kerusakan orang-orang yangrusak di dunia. Ini juga tawakkalnya para pewaris nabi. Kemudian tawakkal manusia setelah itu tergantung dari hasrat dan tujuannya. Diantara mereka ada yang bertawakkal kepada Allah untuk mendapatkan kekuasaan dan ada yang bertawakkal kepada Allah untuk mendapatkan serpihan roti.Siapa yang benar dalam tawakkalnya kepada Allah untuk mendapatkan sesuatu, tentu dia akan mendapatkannya. Jika sesuatu yang diinginkannya dicintai dan diridhai Allah, maka dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji. Jika sesuatu yang diinginkannya itu dibenci Allah, maka apa yang diperoleh-nya itu justru akan membahayakan dirinya. Jika sesuatu yang diinginkannya itu sesuatu yang mubah, maka dia mendapatkan kemaslahatan dirinya dan bukan kemaslahatan tawakkalnya, selagi hal itu tidak dimak-sudkan untuk ketaatan kepada-Nya.

Berikut ini akan kami jelaskan makna tawakkal dan derajat-derajatnya serta berbagai pendapat tentang tawakkal ini.

Al-Imam Ahmad berkata, “Tawakkal adalah amal hati. Karena ia merupakan amal hati, maka ia bukan dinyatakan dengan perkataan lisan dan amal anggota tubuh. Ilmu juga bukan termasuk masalah ilmu atau pun teori.”

Namun di antara manusia ada pula yang menganggapnya masalah ilmu dan ma’rifat, dengan mengatakan, “Tawakkal merupakan ilmu hati atas jaminan Allah yang diberikan kepada hamba.”

Sahl berkata, “Tawakkal merupakan kepasrahan kepada Allah menurut apa pun yang dikehendaki-Nya.”

Bisyr Al-Hafy berkata, “Adakalanya seseorang yang berkata, ‘Aku tawakkal kepada Allah’, tetapi dia berdusta kepada Allah. Kalau memang dia benar-benar tawakkal kepada Allah, tentu dia meridhai apa pun yang dilakukan Allah terhadap dirinya.”

Yahya bin Mu’adz pernah ditanya, “Kapankah seseorang bisa disebut orang yang tawakkal?” Maka dia menjawab, “Jika dia ridha kepada Allah sebagai wakilnya.”

Di antara mereka ada yang menafsiri tawakkal dengan keyakinan terhadap Allah, tenang dan damai terhadap-Nya.

Ibnu Atha’ berkata, “Tawakkal ialah jika engkau tidak mempunyai kecenderungan kepada sebab-sebab tertentu, sekalipun engkau sangat membutuhkannya. Hakikat kedamaian tidak akan beralih ke kebenaran selagi engkau mengandalkan sebab-sebab itu.”

Dzun-Nun berkata, “Tawakkal artinya tidak bersandar kepada pengaturan diri sendiri, berlepas dari daya dan kekuatan diri sendiri. Tawakkal seorang hamba semakin kuat jika dia mengetahui bahwa Allahmengawasi dan melihat dirinya.”

Ada yang berkata, “Tawakkal ialah bergantung kepada Allah di se-tiap keadaan.”

Ada pula yang berpendapat, “Tawakkal ialah jika engkau menolak sumber-sumber kebutuhan dan engkau tidak kembali kecuali kepada Dzat yang benar-benar memberi kecukupan.”

Ada pula yang berkata, “Tawakkal ialah menghilangkan segala keragu- raguan dan berserah diri kepada Raja Segala Raja.”

Abu Sa’id Al-Kharraz berkata, “Tawakkal ialah kegelisahan tanpa ketenangan dan ketenangan tanpa kegelisahan.”

Abu Turab An-Nakhsyaby berkata, “Tawakkal ialah menghempas-kan badan untuk beribadah, menggantungkan hati dalam Rububiyah, merasa tenang karena ada kecukupan, jika diberi bersyukur dan jika di-tolak sabar.”

Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “Tawakkal itu ada tiga derajat: Tawakkal itu sendiri, berserah diri, lalu pasrah. Orang yang tawakkal merasa tenang karena janji Allah, orang yang berserah diri cukup dengan pengetahuannya tentang Allah dan pasrah adalah ridha terhadap hukum-Nya. Tawakkal merupakan permulaan, berserah diri merupakan pertengahan dan pasrah merupakan penghabisan. Tawakkal merupakan sifat orangorang Mukmin, berserah diri merupakan sifat para wali dan pasrah merupakan sifat muwahhidin. Tawakal merupakan sifat orang-orang awam, berserah diri merupakan sifat orang-orang khusus, dan pasrah merupakan sifat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Tawakkal adalah sifat para nabi, berserah diri adalah sifat Ibrahim, sedangkan pasrah merupakan sifat Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.”

Masih banyak pendapat-pendapat lain tentang makna tawakkal ini, yang semuanya merupakan rincian dari makna tawakkal.

Pada hakikatnya tawakkal ini merupakan keadaan yang terangkai dariberbagai perkara, yang hakikatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya. Masing-masing mengisyaratkan kepada salah satu dari perkara-perkara ini, dua atau lebih. Perkara-perkara ini adalah:

  1. Mengetahui Allah, sifat, kekuasaan, kecukupan, kesendirian dan kembalinya segala urusan kepada ilmu-Nya dan yang terjadi berkat kehendak dan kekuasaan-Nya. Ini merupakan derajat pertama yang menjadi pijakan kaki hamba saat berada di tempat persinggahan tawakkal.

Syaikh kami (Ibnu Taimiyah) berkata, “Karena itu tawakkal tidak akan menjadi benar dan sulit dibayangkan bisa dilakukan seorang filosof atau pun golongan Qadariyah, yang mengatakan bahwa di dalam kekuasaan Allah ada sesuatu yang tidak bisa dikehendak-Nya, atau dari golongan Jahmiyah yang meniadakan sifat Allah. Tawakkal macamapakah yang keluar dari orang yang meyakini bahwa Allah tidak mengetahui bagian-bagian alam atas dan alam bawah, tidak bisa berbuat menurut kehendak-Nya dan tidak didukung satu sifat pun? Siapa yang lebih mengetahui tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, maka tawakkal-nya lebih benar dan lebih kuat. Allahlah yang lebih mengetahui hal ini.”

  1. Menetapkan sebab dan akibat. Siapa yang meniadakan hal ini, berarti tawakkalnya ada yang tidak beres. Ini kebalikan dari pendapat yang mengatakan, bahwa menetapkan sebab bisa menodai tawakkal dan meniadakan sebab ini merupakan kesempumaan tawakkal. Ketahuilah bahwa tawakkalnya mereka yang meniadakan sebab tidak akan benar sama sekali. Sebab tawakkal termasuk sebab yang paling kuat untuk mendapatkan apa yang ditawakkali. Tawakkal ini seperti doa yang dijadikan Allah sebagai sebab untuk mendapatkan apa yang diminta dalam doa itu. Jika hamba percaya bahwa tawakkalnya tidak ditetapkan Allah sebagai sebab dalam memperoleh sesuatu, begitu pula doanya, maka sesuatu itu tetap diperolehnya, baik dia tawakkal atau tidak tawakkal, berdoa atau tidak berdoa, kalau memang hal itu sudah ditakdirkan baginya. Jika tidak ditakdirkan, maka sesuatu itu tidak akandiperolehnya, tawakkal atau tidak tawakkal.

Orang-orang yang meniadakan sebab ini beralasan bahwa tawakkal dan doa adalah ubudiyah yang bersifat murni, yang manfaatnya ha-nya ubudiyah itu semata. Di antara mereka ada yang bersikap kelewat batas, dengan mengatakan bahwa doa agar tidak dihukum atas keliru dan lalai tidak memberi manfaat apa-apa. Karena sudah ada jaminan pengabulannya. Menurut sebagian di antara mereka, yang kami baca dalam buku karangannya, bahwa doa itu mengandung kesangsian terhadap pengabulannya. Sebab orang yang berdoa berada di antara ketakutan dan harapan. Kesangsian terhadap pengabulannya berarti kesangsian terhadap pengabaran Allah.

Perhatikanlah bagaimana pengingkaran terhadap sebab telah menye-ret mereka ke dalam dosa yang besar, karena mereka mengharamkan doa. Padahal Allah memuji para wali dan hamba-hamba-Nya, karena mereka berdoa dan memohon kepada-Nya. Untuk menyanggah duga-an mereka yang batil, dapat dikatakan sebagai berikut: Ada bagian ketiga yang tidak kalian sebutkan dari dua bagian di atas, yaitu kenya-taan. Dengan kata lain, bahwa Allah menetapkan tawakkal dan doa sebagai dua sebab untuk mendapatkan apa yang diminta, dan Allah menakdirkan perolehan sesuatu jika hamba mengerjakan sebabnya. Jika dia tidak mengerjakan sebab, maka dia juga tidak memperoleh akibatnya. Hal ini seperti ketetapan Allah untuk mendapatkan anak, jika seorang laki-laki berjima’ dengan wanita yang akan mengandung anaknya. Jika dia tidak berjima’ dengannya, tentu Allah tidak akan menciptakan anak baginya.

Allah menetapkan kenyang jika hamba makan. Jika dia tidak makan, tentu dia tidak akan kenyang. Allah menetapkan hamba masuk surge jika dia masuk Islam dan mengerja-kan amal-amal shalih. Jika tidak melakukannya, maka selamanya dia tidak akan masuk surga. Sekarang bandingkan dengan apa yang dikatakan orang-orang yang mengingkari sebab, yang setiap orang di antara mereka berkata, “Kalau memang sudahditakdirkan bagiku dan sudah ditetapkan sejak awal untuk mendapatkan anak, kenyang, menunaikan haji dan lain sebagainya, tentu semua akan terjadi pada diriku, entah aku bergerak atau diam, menikah atau membujang, bepergian atau duduk-duduk saja. Tapi jika tidak ditakdirkan bagiku, maka semua itu juga tidak akan terjadi pada diriku, aku berbuat atau tidak berbuat.” Apakah orang yang berkata seperti ini dianggap sebagai orang yang waras? Bukankah binatang lebih pandai daripada dia? Sebab binatang pun masih berusaha melakukan sebab sesuai berdasarkan petunjuk secara

umum.

Tawakkal merupakan sebab yang paling besar untuk mendapatkan apa yang diharapkan dan menyingkirkan apa yang tidak diinginkan. Sia-pa yang mengingkari sebab, berarti tawakkalnya tidak benar. Tapitawakkal yang sempurna juga tidak mengandalkan sebab semata dan memutuskan hubungan hati dengannya.

  1. Memantapkan hati pada pijakan tauhid. Tawakkal seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Bahkan hakikat tawakkal adalah tauhidnya hati. Selagi di dalam hati masih ada kaitan-kaitan syirik, maka tawakkalnya cacat. Seberapa jauh kemurnian tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakkal. Jika seorang hamba berpaling kepada selain Allah, maka hal ini akan membentuk cabang di dalam hatinya, sehingga mengurangi tawakkalnya kepada Allah karena ada-nya cabang itu. Berangkat dari sinilah muncul anggapan sebagian orang bahwa tawakkal tidak benar kecuali dengan menolak sebab secara total. Memang ini bisa dibenarkan. Tapi penolakan ini harus dari hati dan bukan dari anggota tubuh. Tawakkal tidak benar kecuali dengan menyingkirkan sebab dari hati dan kebergantungan anggota tubuh kepadanya. Jadi harus ada pemutusan dengan sebab dan juga harus ada hubungan dengan sebab.
  2. Menyandarkan hati kepada Allah dan merasa tenang karena bergantung kepada-Nya, sehingga di dalam hati itu tidak ada kegelisahan karena godaan sebab dan tidak merasa tenang karena bergantung kepadanya. Tandanya, ia tidak peduli saat menghadapi sebab itu atau saat melepaskannya, hati tidak gelisah saat melepaskan apa yang disukai dan saat menghadapi apa yang dibenci, karena penyandarannya kepada Allah dan ketenangannya bergantung kepadaNya, telah melindungi dirinya dari ketakutan. Keadaannya seperti orang yang berhadap-an dengan musuh yang tangguh dan tak mungkin dikalahkannya, lalu tiba-tiba dia melihat benteng kokoh yang terbuka pintunya, lalu Allah memasukkannya ke dalam benteng itu dan menutup pintunya. Dia melihat musuh ada di luar benteng, sehingga hatinya tidak lagi risau karena keadaannya ini. Atau seperti orang yang diberi uang oleh raja. Tapi kemudian uang pemberian itu dicuri orang lain. Lalu raja berkata kepadanya, “Tidak perlu takut, karena aku mempunyai uang yang melimpah. Jika engkau mau datang ke tempatku, akan kuberikan se-berapa pun yang engkau minta.” Jika dia percaya kepada raja, yakin terhadap perkataannya dan tahu gudangnya penuh uang, tentu dia tidak akan gelisah dan takut.
  3. Berbaik sangka terhadap Allah. Seberapa jauh baik sangkamu terhadap Allah, maka sejauh itu pula tawakkalmu kepada-Nya. Maka sebagian ulama menafsiri tawakkal dengan baik sangka terhadap Allah. Yang benar, baik.sangka ini mengajak kepada tawakkal. Sebab tawakkal tidak bisa digambarkan datang dari orang yang berburuk sangka kepada Allah atau dari orang yang tidak mengharapkan-Nya.
  4. Ketundukan dan kepasrahan hati kepada Allah serta memotong seluruh perintangnya. Karena itu ada yang menafsiri tawakkal ini dengan berkata, “Hendaknya seorang hamba di hadapan Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya, yang membolak-balikkan jasadnya menurut kehendaknya, dan dia tidak mempunyai hak untuk bergerak atau mengatur.

Inilah makna perkataan sebagian orang, bahwa tawakkal adalah membebaskan diri dari pengaturan, atau menyerahkan pengaturan kepada Allah. Tapi ini tidak berlaku untuk perintah dan larangan, tapi untuk hal-hal yang diperbuat Allah terhadap dirimu danbukan dalam perkaraperkara yang diperintahkan-Nya agar kamu mengerjakannya.

  1. Pasrah. Ini merupakan ruh tawakkal, inti dan hakikatnya, yaitu menyerahkan semua urusannya kepada Allah, tanpa menuntut dan menentukan pilihan, bukan merasa dipaksa dan terpaksa. Kepasrahannya kepada Allah seperti kepasrahan seorang anak yang lemah tak berdaya kepada ayah dan ibunya, yang menyayangi, mencintai, menangani segala keperluannya dan melindunginya. Dia melihat penanganan orang tuanya adalah penanganan yang paling baik bagi dirinya. Maka dia tidak melihat kebaikan bagi dirinya selain dari menyerahkan semua urusannya kepada orang tuanya.

Jika seorang hamba sudah sampai ke derajat ini, maka dia akan beralih ke derajat lain, yaitu ridha, yang merupakan buah tawakkal, sehingga ada yang menafsiri tawakkal dengan ridha. Berarti penafsiran ini hanya melihat sisi buah tawakkal dan manfaatnya yang paling besar. Sebab siapa yang tawakkal dengan sebenar-benarnya tawakkal, tentu dia ridha terhadap apa pun yang dilakukan wakilnya.

Syaikh kami, Ibnu Taimiyah berkata, “Yang menjadi ukuran adalah dua perkara: Tawakkal sebelumnya dan ridha sesudahnya. Siapa yang tawakkal kepada Allah sebelum berbuat dan ridha kepada-Nya setelah berbuat, berarti dia telah menegakkan ubudiyah.”

Inilah makna yang terkandung dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sehubungan dengan doa istikharah, “Ya Allah, aku memohon pilihan yang terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kekuasaan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon kepada-Mu dari karunia-Mu yang agung.” Ucapan ini mencerminkan tawakkal dan kepasrahan. Kelanjutan doa ini, “Sesungguhnya Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui, Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa, Engkau Maha Mengetahui yang gaib”. Ini mencerminkan kepasrahan kepada Allah dalam masalah ilmu, daya dan kekuatan serta tawassul kepada-Nya dengan sifat-sifat-Nya, yang merupakan tawassul paling disukai orang-orang yang tawassul kepada-Nya. Kelanjutan doa istikharah ini adalah permohonan agar Allah memenuhinya jika di dalamnya ada kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Maka yang menyisa baginya hanya ridha terhadap ketetapan Allah, dengan berkata, “Tetapkanlah kebaikan bagiku apa pun bentuknya, kemudian buatlah aku ridha kepadanya.”

Doa istikharah ini mencakup ma’rifat tentang Allah, hakikat-hakikat iman, seperti tawakkal, kepasrahan sebelum ada ketetapan dan ridha setelah ada ketetapan, yang merupakan buah tawakkal, sedangkan kepasrahan merupakan tanda kebenaran tawakkal. Jika dia tidak ridha, maka kepasrahannya tidak murni.

Dengan menyempurnakan delapan derajat ini, berarti seorang hamba telah menyempurnakan tawakkal dan pijakan kakinya sudah mantap di tempat persinggahan ini.

Namun banyak terjadi kerancuan dalam masalah yang terpuji dan sempurna ini dengan hal-hal yang tercela dan kurang. Ada kerancuan dalam masalah kepasrahan dengan penyia-nyiaan. Seorang hamba menyia-nyiakan bagiannya dengan anggapan bahwa itu merupakan kepasrahan dan tawakkal, padahal itu merupakan penyia-nyiaan dan penelantaran, bukan kepasrahan.

Ada pula kerancuan tawakkal dengan kesantaian dan tidak mau memikul beban, lalu pelakunya mengira bahwa dia adalah orang yang tawakkal. Ada pula kerancuan melepaskan sebab dan meniadakannya.

Melepaskan sebab merupakan gambaran tauhid sedangkan meniadakansebab merupakan zindiq dan ateis. Melepaskan sebab artinya tidak menyandarkan hati kepada sebab, sedangkan meniadakan sebab berarti menyingkiri sebab itu secara total. Dan masih banyak contoh lain tentang kerancuan-kerancuan ini.

Tawakkal merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan umum kebergantungannya kepada Asma’ul-Husna. Tawakkal mempunyai kebergantungan secara khusus dengan keumuman perbuatan dan sifat-sifat Allah. Semua sifat Allah bisa dijadikan gantungan tawakkal. Maka siapa yang lebih banyak ma’rifatnya tentang Allah, maka tawakkalnya juga lebih kuat.

Banyak orang yang tawakkal justru tertipu oleh tawakkalnya. Boleh jadi seseorang bertawakkal dengan sebenar-benarnya tawakkal, namun dia tertipu. Seperti orang yang mengalihkan tawakkalnya kepada kebutuhan parsial dengan mencurahkan seluruh kekuatan tawakkalnya. Padahal dia bisa mendapatkan kebutuhan itu dengan cara yang paling sederhana.

Padahal seandainya dia mencurahkan hatinya untuk tawakkal dengan menambah iman dan ilmu serta menolong agama, maka ini jauhlebih baik baginya.

Pengarang Manazilis-Sa’irin berkata, “Tawakkal adalah penyerahan urusan kepada yang berkuasa menanganinya dan menyerahkan kepercayaan kepada wakilnya. Ini merupakan tempat persinggahan orang awam yang paling sulit dan jalan yang paling lemah bagi orang-orang yang khusus. Sebab Allah telah menyerahkan semua urusan kepada Diri-Nya dan alam tidak berkuasa terhadapnya sedikit pun.”

Menyerahkan kepercayaan kepada wakilnya, artinya lebih mementingkan tindakannya daripada tindakanmu dan kehendaknya daripada kehendakmu. Menyerahkan kepercayaan ini ada dua macam: Pertama, mengangkat wakil atau kepasrahan kepadanya. Kedua, menyerahkan urusan kepada orang yang ditunjuk sebagai wakil. Hal ini bisa dilihat dari dua sisi. Allah mewakilkan kepada hamba dan menunjuknya untuk menjaga apa yang diserahkan kepadanya. Sedangkan hamba menyerahkan kepercayaan kepada Allah dan bersandar kepada-Nya. Tentang penyerahan kepercayaan Allah kepada hamba-Nya, maka Dia befirman,

“Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya.” (Al-An’am: 89).

Maksudnya, siapa yang melaksanakan apa yang diwahyukan Allah karena iman, mau melaksanakan dakwah, jihad dan memberikan pertolongan, maka mereka itulah yang akan diserahi Allah untuk mengemban kepercayaan ini.

Jika engkau bertanya, “Lalu bolehkah jika dikatakan, ‘Seseorang menjadi wakil Allah?'”

Dapat dijawab, “Tidak. Sebab yang disebut wakil adalah orang yang bertindak atas nama yang menunjuknya sebagai wakil lewat cara perwakilan. Padahal Allah tidak mempunyai wakil dan tak ada seorang pun yang menggantikan kedudukan-Nya, tapi justru Allahlah yang menjadi pengganti hamba, sebagaimana yang disebutkan dalam doa ketika hendak mengadakan perjalanan, “Ya Allah, Engkau teman dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga.”

Sedangkan penyerahan kepercayaan hamba kepada Allah artinyakepasrahan hamba kepada-Nya dan membebaskan dirinya dari sikap tertentu dan menegakkan Rububiyah dengan ubudiyah. Inilah makna Allah sebagai wakil hamba. Artinya, Allahlah yang mencukupinya, menangani segala urusan dan kemaslahatannya. Sedangkan perwakilan yang diserahkan Allah kepada hamba merupakan perintah dan ubudiyah. Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, ada tiga derajat tawakkal, yang masing-masing berjalan menurut perjalanan manusia secara umum, yaitu:

  1. Tawakkal yang disertai permintaan dan memperhatikan sebab, menyibukkan hati dengan sebab, disertai rasa takut. Orang yang memiliki derajat ini bertawakkal kepada Allah dan tidak meninggalkan sebab. Bahkan dia mencari sebab itu dengan niat un-tuk menyibukkan hati dengan sebab, disertai rasa takut andaikan hati disibukkan oleh nafsu. Sebab jika hati tidak sibuk dengan sesuatu yang bermanfaat, maka ia sibuk dengan sesuatu yang berbahaya. Apalagi jika ada waktu senggang dan disertai semangat keremajaan clan kecenderungan jiwa kepada nafsu serta lalai. Mengerjakan sebab yang diperintahkan merupakan cermin ubudiyah dan merupakan hak Allah atas hamba-Nya, yang karenanya ada pahala dan siksa.
  2. Tawakkal dengan meniadakan permintaan, menutup mata dari sebab, berusaha membenahi tawakkal, menundukkan nafsu dan menjaga halhal yang wajib.

Meniadakan permintaan artinya permintaan kepada hamba dan bu-kan permintaan menurut hak. Dia tidak meminta sesuatu pun dari seseorang. Pada dasarnya permintaan kepada hamba itu dimakruhkan, tapi bisa mubah jika sangat diperlukan, seperti diperbolehkannya makan bangkai bagi orang yang terpaksa. Ahmad menetapkan bahwa permintaan kepada hamba ini tidak wajib. Syaikh kami memberi isyarat, bahwa permintaan itu tidak layak. Saya mendengarnya pernah berka-ta tentang permintaan ini, “Itu merupakan kezhaliman dalam hak Rububiyah dan kezhaliman terhadap hak hamba serta kezhaliman terhadap hak diri sendiri.” Disebut kezhaliman dalam hak Rububiyah, karena permintaan itu mengandung ketundukan kepada selain Allah dan mengalirkan air muka kepada selain penciptanya. Mengalihkan permintaan terhadap Allah kepada permintaan terhadap hamba, bisa mendatangkan murka Allah, jika kebutuhan hidupnya masih tercu-kupi pada hari itu. Disebut kezhaliman terhadap hak hamba, karena permintaan itu merupakan tuntutan agar dia mengeluarkan apa yang diminta. Padahal apa yang diminta itu merupakan sesuatu yang disukai pemiliknya. Disebut kezhaliman terhadap hak diri sendiri, karena permintaan itu sama dengan melecehkan harga dirinya. Permintaan makhluk kepada makhluk merupakan permintaan orang fakir kepada orang fakir lainnya. Tapi jika engkau meminta kepada Allah, maka engkau justru menjadi mulia di hadapan-Nya, Dia ridha kepadamu dan mencintaimu. Tapi jika engkau meminta kepada makhluk, maka engkau menjadi kerdil di hadapannya dan dia kurang suka kepadamu, sebagaimana yang dikatakan dalam syair, “Allah murka jika engkau tak meminta kepada-Nya, anak Adam justru murka jika engkau meminta kepadanya.”

Hamba yang buruk ialah yang biasa meminta kepada hamba yang Iain, padahal dia tahu Tuannya mempunyai apa pun yang dikehendakinya.

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Auf bin Malik Al-Asyja’y Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Kami sedang berada di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama sembilan, delapan atau tujuh orang. Beliau bertanya, “Mengapa kalian tidak berbaiat kepada Rasul Allah?”

Memang pada masa pelaksanaan baiat, kami masih terlalu kecil. Kami berkata, “Kami sudah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak berbaiat kepada Rasul Allah?”

Kami membentangkan tangan seraya berkata, “Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah. Lalu untuk apa kami berbaiat kepada engkau?”

Beliau bersabda, “Agar kalian menyembah Allah, tidak menyekutukansesuatu pun dengan-Nya, menjaga shalat lima waktu dan janganlah kalian meminta sesuatu pun kepada manusia.” Auf bin Malik berkata, “Aku pernah melihat sebagian di antara mereka, ketika cambuknya jatuh, maka dia tidak meminta orang lain untuk mengambilkannya.”

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Meminta-minta senantiasa dilakukan salah seorang di antara kalian hingga dia bersua Allah, sementara di mukanya tidak ada sekerat daging pun.”

Di dalam Ash-Shahihain juga disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari atas mimbar tatkala menyebutkan masalah shadaqah dan menjaga diri untuk tidak meminta-minta, “Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah.”

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah RadhiyallahuAnlut, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa meminta-minta kepada manusia karena menginginkan harta yang banyak, maka dia hanyalah meminta bara api. Maka hendaklah dia menganggapnya sedikit atau menganggapnya banyak.”

Dan masih banyak hadits-hadits lain yang senada, yang menjelaskan kehinaan meminta-minta kepada manusia. Tawakkal dengan meninggalkan permintaan ini merupakan ubudiyah yang murni. Perkataannya, “Menutup mata dari sebab, berusaha membenahi tawakkal”, artinya tidak menyibukkan diri dengan seluruh sebab, kare-na hendak membenahi tawakkal dan menguji jiwa. Sebab ada orang yang memperhatikan sebab, dan dia mengira telah tawakkal, padahal dia belum tawakkal karena keyakinannya terhadap apa yang diketahuinya.

Jika dia berpaling dari sebab, maka tawakkalnya dianggap benar. Inilah yang diisyaratkan sebagian ahli ibadah, yang mengarungi gu-run tanpa membawa bekal apa pun, karena mereka menganggap bekal itu bisa menodai tawakkal. Kisah tentang hal ini banyak dinukil dari mereka. Inilah Ibrahim Al-Khawwash, orang yang sangat detail dalam tawakkalnya. Memang dia mengarungi gurun tanpa membawa bekal.

Tapi dia tidak pernah ketinggalan membawa benang, jarum, kantong kulit dan gunting. Ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau membawa barang-barang itu, sementara engkau tidak membawa bekal yang lain?” Dia menjawab, “Yang seperti ini tidak mengurangi tawakkal. Sebab Allah telah menetapkan beberapa kewajiban kepada kita. Orang fakir hanya mempunyai satu lembar pakaian. Boleh jadi pakaiannya itu robek. Jika dia tidak mempunyai jarum dan benang, maka auratnya akan kelihatan sehingga shalatnya tidak sah. Jika dia tidak membawa kantong kulit, maka dia tidak bisa bersuci. Jika engkau melihat orang fakir yang tidak mempunyai jarum, benang dan kantong kulit, maka curigailah shalatnya.”

Perhatikanlah bagaimana dia merasa bahwa agamanya belum benar kecuali dengan sebab? Membebaskan diri dari sebab secara total merupakan tindakan yang ditentang akal, syariat dan indera. Memang adakalanya seseorang memiliki keyakinan yang amat kuat terhadap Allah, yang mendorongnya untuk meninggalkan sebab yang selayaknya seperti orang yang menantang bahaya. Saat itu dia memasrahkan diri kepada Allah dan tidak mengandalkan dirinya sama sekali. Lalu datang pertolongan dari Allah. Tapi keadaan ini tidak terjadi secara terus-menerus.

Kisah-kisah yang biasanya dinukil orang-orang sufi berkaitan dengan masalah ini, bersifat parsial dan insidental, bukan merupakan jalan yang diperintahkan untuk diikuti dan tidak bisa ditetapkan. Sehingga hal ini menimbulkan cobaan bagi dua golongan manusia: Pertama, golongan yang menganggap kisah-kisah itu merupakan jalan kehidupanyangpasti, sehingga mereka berbuat hal yang sama. Kedua, golongan yang menyalahi syariat dan akal, yang menganggap keadaannya lebih sempurna daripada keadaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat.

  1. Tawakkal dengan mengetahui tawakkal, membebaskan diri dari noda tawakkal, menyadari bahwa kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu merupakan kekuasaan yang agung, tidak ada sekutu yang menyertai- Nya, bahkan sekutu-Nya bersandar kepada-Nya. Urgensi ubudiyah ialah jika hamba mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya yang merajai segala sesuatu.

Artinya, selagi orang yang berada pada derajat ini memutuskan sebab dan permintaan dan sudah melewati dua derajat sebelumnya, maka tawakkalnya lebih baik daripada tawakkal dua derajat sebelumnya. Setelah dia mengetahui hakikat tawakkal dan mengetahui pendorong untuk membebaskan diri dari noda tawakkal, atau yang tadinya tidak mengetahui noda tawakkal lalu mengetahui hakikatnya, berarti pada saat itu tawakkalnya sudah memiliki ma’rifat yang menyerunya untuk membebaskan diri dari noda tawakkal. Kemudian ma’rifat untuk mengetahui noda tawakkal ialah menyadari bahwa kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu merupakan kekuasaan yang agung. Kekuasaan yang memiliki kekuatan, pencegahan dan penundukan, yang menolak disertai sekutu selain-Nya, dan Dia Mahaagung dalam kekuasaan-Nya.