Presiden Joko Widodo mengajukan Sutiyoso menjadi calon kepala BIN. Benarkah tidak ada orang lain yang lebih pantas?
Teka-teki selama berbulan-bulan tentang calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu akhirnya terkuak. Presiden Joko Widodo telah mengajukan calon orang nomor satu di Pejaten ke DPR “Yang beliau tunjuk adalah Pak Sutiyoso,” ujar Ketua DPR Setya Novanto di Senayan, Jakarta, Rabu 10 Juni 2015. Sutiyoso adalah Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, salah satu partai anggota Koalisi Indonesia Hebat (KIH) penyokong duet Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Jokowi pun membenarkan tentang pengajuan Sutiyoso sebagai calon Kepala BIN ke DPR hari Selasa, 9 Juni 2015 kemarin. Ia mengaku sudah memperhatikan rekam jejak Sutiyoso selama di TNI. “Ini saya juga sudah melalui banyak pertimbangan dan memperhatikan baik rekam jejak maupun kompetensi dari Pak Sutiyoso terutama di dunia intelijen dan militer,” ujarnya. Jokowi berharap, Sutiyoso lolos uji kompetensi di DPR karena dirinya sudah mempertimbangkan pengajuan ini masak-masak.
Pengajuan nama Sutiyoso telah mengakhiri berbagai spekulasi yang berkembang selama delapan bulan terakhir tentang siapa pemimpin telik sandi di Republik ini. Semula, orang-orang dekat Jokowi mengatakan, bahwa Jokowi masih akan mempertahankan Marciano Norman sebagai Kepala BIN. “Pak Jokowi masih merasa nyaman dengan Pak Marciano,” kata seorang kawan di Istana. Tapi belakangan, Jokowi merasa perlu untuk mengganti Kepala Intelijen yang bisa dipercayainya.
Nama yang paling santer disebut-sebut sebagai calon kuat Kepala BIN adalah bekas Wakil Ketua BIN As’ad Said Ali. As’ad dinilai lebih berpengalaman. Sebab, lelaki kelahiran Kudus, 19 Desember 1949 ini sudah malang melintang di lembaga telik sandi itu sejak zaman Orde Baru. “Jaringannya luas, termasuk di kalangan Islam radikal,” kata seorang agen intelijen utama BIN. Karena kemampuannya, lelaki tinggi besar itu menjadi Wakil Kepala BIN selama 9 tahun pada masa Jenderal TNI (Purn.) AM Hendropriyono dan Mayor Jenderal TNI (Purn) Sjamsir Siregar menjadi Kepala BIN.
Dalam Pemilihan Umum Presiden 2014 lalu, As’ad adalah salah satu anggota tim sukses Joko Widodo – Jusuf Kalla. Dalam posisinya sebagai Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, As’ad-lah yang telah “mengkondisikan” warga NU, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. “Dia telah mengerahkan orang-orangnya untuk memenangkan Jokowi terutama di basis-basis Nahdliyin,” kata seorang tangan kanan As’ad.
Selain dekat dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, As’ad juga punya kedekatan pribadi dengan Jokowi. Ia pun didukung bekas bosnya, AM Hendropriyono. Karena itu sejak awal As’ad sudah disebut-sebut sebagai calon Kepala BIN Jokowi. “Beberapa kali Jokowi diantar Teten Masduki datang kantor As’ad di Tebet,” kata seorang sumber yang dekat dengan mereka. Dalam pertemuan itu, Jokowi meminta pandangan dan saran As’ad tentang berbagai situasi di tanah air.
Menurut seorang sumber, hingga pekan lalu, kepada As’ad, baik Megawati Soekarnoputri maupun AM Hendropriyono masih memastikan bahwa dialah yang bakal menjadi Kepala BIN. “Tampaknya sudah ada deal-deal tertentu antara Sutiyoso dengan Mega dan Hendro, sementara As’ad hanya diberi harapan palsu,” kata seorang intel senior. Karena itu, keputusan Jokowi menunjuk Sutiyoso sebagai calon Kepala BIN diperkirakan juga bakal mendapat sorotan dari kalangan NU. Maklumlah, meski tak punya darah biru kiai, As’ad dianggap sebagai patron Kaum Nahdliyin pasca Gus Dur.
Bekas Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sempat pula muncul sebagai kandidat kuat Kepala BIN. Lelaki kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 30 Oktober 1952 itu dikenal sebagai seorang perwira intelijen yang cakap, dihormati, dan disegani kawan, lawan maupun anak buahnya. Sjafrie adalah kawan dekat Letnan TNI (Purn.) Jenderal Prabowo Subianto. Namun dalam pemilu 2015 kemarin, Sjafrie memilih posisi netral. Ia mengaku sempat berbincang-bincang selama beberapa jam dengan kawannya itu untuk menjelaskan sikap netralnya. “Saya masih menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan, jadi saya memilih untuk bersikap netral,” ujar Sjafrie saat saya temui di rumah dinasnya di jalan Imam Bonjol ketika itu.
Selain dikenal sebagai seorang perwira intelejen yang cakap, profesionalitas Sjafrie selama ini juga menjadi alasan dimunculkannya nama Sjafrie. Kalangan internal di BIN pun mengakui kemampuan Sjafrie. “Bagus juga kalau Pak Sjafrie yang ke sini,” kata seorang Direktur Intelijen di BIN. Menurut seorang sumber saya di Istana, penyokong utama Sjafrie adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Namun, beberapa pihak tampaknya agak resisten kepada Sjafrie. Sebab, selama ini ia selalu dianggap bertanggung jawab dalam kerusuhan Mei 1998.
Sjafrie merasa tahu diri dengan berbagai beban sejarah yang diembannya. Sebab dialah bekas Panglima Kodam Jaya saat kerusuhan Mei 1998. Dia pun lama menjadi pengawal pribadi Jenderal TNI (Purn.) Soeharto saat masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Sementara itu, pendukung Jokowi saat ini kebanyakan adalah orang-orang yang dulu bersikap oposisi terhadap Sang Penguasa Orde Baru itu. Karena itu ia mengaku tak punya beban. “Biar saja… jaman sekarang ini keputusannya tergantung pada faktor-faktor yang tidak exact,” ujarnya ketika saya menanyakan kansnya sebagai Kepala BIN dalam sebuah pertemuan di Mabes TNI Cilangkap.
Nama kandidat lain yang muncul sebagai calon Kepala BIN adalah bekas Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Marsekal Madya (Purn.) Ian Santoso Perdanakusumah. Putra pahlawan nasional Halim Perdana Kusumah ini adalah salah satu anggota tim sukses Jokowi-JK dalam pemilu 2014. Nama lainnya adalah bekas Wakil Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi. “Fachrul didukung Kepala Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan,” kata seorang sumber di Istana. Maklumlah, mereka berdua memang satu angkatan, sesama lulusan AKABRI angkatan 1970.
Dari Partai Demokrasi Indonesia perjuangan muncul nama anggota Komisi I DPR Mayor Jenderal TNI (Purn.) Tubagus Hasanuddin. Bekas Sekretaris Militer Presiden ini adalah lulusan AKABRI 1974. Dia dikenal sebagai anggota DPR yang paling kritis dalam persoalan Pertahanan Keamanan dan Intelijen karena latar belakang kemiliterannya. Namun waktu itu ia diminta untuk legowo. “Katanya Kepala BIN sebaiknya bukan dari partai, ya saya manut saja,” kata lelaki kelahiran Majalengka itu via telepon kemarin.
Nama terakhir adalah Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sutiyoso. Sutiyoso adalah seorang bekas perwira kopassus yang lebih dikenal sebagai jago tempur dari pada jago intelijen. Meski pernah menjadi Wakil Komandan Jenderal Kopassus, Sutiyoso lebih banyak berkecimpung di pasukan dan operasi. Karena itu, selama beberapa bulan terakhir nama Sutiyoso justru tidak terlalu diunggulkan sebagai calon Kepala BIN.
Munculnya nama Sutiyoso cukup mengejutkan. Sebab, ditilik dari sisi umur, usia Sutiyoso jauh lebih tua dari kandidat-kandidat yang lain. Sutiyoso adalah lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) 1968 dan akan menggantikan Marciano Norman lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) 1978. Tahun ini, Sutiyoso pun sudah berusia 71 tahun. “Wah, ini mah sudah kakek-kakek. Kayak nggak ada orang yang lebih muda dan lebih kompeten lagi,” kata Hasanuddin.
Namun Sutiyoso mengaku siap mengemban tugas sebagai kepala BIN. “Saya siap mengemban tugas itu kalau dipercaya Presiden,” ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (10/6/2015). Ia mengaku bahwa dirinya telah dipanggil Presiden Jokowi pada Senin (8/6/2015). Sutiyoso merasa mampu menjadi kepala BIN karena memiliki pengalaman di bidang intelijen saat aktif bersama Kopassus. “Intelijen kan habitat saya. Maksud saya, saya lama di bidang itu,” ujar mantan Pangdam Jaya itu.
Memang, saat perwira pertama Sutiyoso adalah anggota tim Flamboyan. Di bawah komando (Kapten) Yunus Yosfiah tim Sandi Yudha inilah yang pertama kali disusupkan ke Timor-Timur sebelum dimulainya operasi Seroja Desember 1975. Ia pun pernah ditugaskan di Aceh dalam operasi militer Jaring Merah di Aceh, dan beberapa operasi militer lainnya. “Sutiyoso sudah lama tak berkecimpung di dunia telik sandi,” kata seorang agen intelijen utama BIN. Sementara menurut Hasanuddin intelijen jaman sekarang berbeda pendekatannya dengan intelijen jaman Orde Baru seperti di masa Sutiyoso.
Belum lagi jika menilik relasi Sutiyoso dengan konstituen PDI Perjuangan. Sebab, Sutiyoso adalah bekas Panglima Kodam Jaya pada saat peristiwa penyerbuan Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di jalan Diponegoro pada tanggal 27 Juli 1996. Bersama Kepala Staf Kodamnya, Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono, Sutiyoso-lah yang memimpin penyerbuan kantor PDI. Uniknya, pada saat mencalonkan dirinya lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso didukung elit PDI Perjuangan, termasuk Megawati dan suaminya Taufiq Kiemas, meski di kalangan grassroot PDI Perjuangan menentangnya.
Karena itu, kini penunjukan Sutiyoso sebagai calon Kepala BIN kembali dipertanyakan oleh konstituen PDI Perjuangan sendiri. Berbagai protes dialamatkan kepada beberapa politisi PDI Perjuangan, salah satunya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. “Rata-rata orang mengaitkan keterlibatan Sutiyoso dengan peristiwa 27 Juli 1996,” ujarnya di Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu (10/6) malam. Karena itu, menurut Ganjar, pihak Istana harus menjelaskan alasan Jokowi memilih Sutiyoso sebagai calon tunggal Kepala BIN. Sehingga perdebatan dan protes terhadap keputusan Jokowi terjawab dengan jelas.
Atas berbagai pertanyaan kader PDI Perjuangan tentang penunjukan Sutiyoso sebagai calon Kepala BIN ini, Hasanuddin pun mengaku tak mengerti. “Saya tidak tahu pertimbangannya, saya harus tanya dulu,” ujarnya. Namun, ia enggan menilai kapasitas Sutiyoso lebih jauh. “Itu sudah keputusan Presiden, dan itu juga hak prerogative presiden, mau apa? Saya tidak sedang mengapresiasi keputusan itu. Ya sudah mau apa lagi. Saya cuma bisa ngomong gini, ‘apa kata kader PDIP,” ujarnya.
Dilihat dari konstelasi politik terakhir, tampaknya penunjukan Sutiyoso sebagai Kepala BIN sesungguhnya tak lebih dari sekadar bagi-bagi kursi dan jabatan untuk partai-partai pendukung duet Jokowi-JK. Maklumlah, hanya tinggal PKPI saja yang belum mendapat posisi penting. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), Haris Azhar bahkan menganggap, ada politik balas budi dalam penunjukan Sutiyoso sebagai kepala BIN. Sebab, masih banyak nama lain yang layak menjadi kepala BIN. “Ini jelas aroma politisnya, penunjukkan Sutiyoso sekadar balas budi karena menjadi pendukung Jokwi pada saat Pilpres,” ujarnya.
Koordinator KONTRAS itu pun mempertanyakan Integritas Sutiyoso dalam memimpin instansi telik sandi itu. “Apakah dia sudah bersih diri dari pelanggaran HAM?” tanyanya retoris. Sebab, menurut dia, masih ada kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang diduga melibatkan Sutiyoso, tetapi belum rampung diusut aparat penegak hukum hingga saat ini. “Semua tahu, masyarakat kita tahu, Sutiyoso adalah mantan Panglima Kodam Jaya saat peristiwa 27 Juli, ada apa dalam peritiwa itu,” ujarnya pula.
Sementara itu, meski soal jatah-jatahan kursi bisa dianggap wajar di panggung politik, banyak yang menyayangkan keputusan Presiden Jokowi memberikan jatah Kepala BIN untuk Ketua Umum PKPI ini. Sebab, menurut seorang sumber tangan kanan seorang tokoh politik dan militer, kalaupun persoalan jatah kursi untuk PKPI, Sutiyoso sebenarnya sudah menawarkan partainya sebesar 30 milyar kepada tokoh-tokoh potensial yang akan memakainya sebagai kendaraan politik. “Salah satunya kepada boss saya,” kata sumber saya tadi. Sayang Sutiyoso tidak mengangkat telepon genggamnya ketika saya ingin menanyakan persoalan jual beli partainya itu.
Maka sungguh tragis rasanya, ketika seseorang yang sudah menjual partainya kepada orang lain, justru mendapat posisi mentereng dengan alasan partai pendukung Presiden itu –yang sudah dijualnya– belum mendapatkan jatah kursi.