Sebagai bukti universalitas dan syumuliah-nya, Islam telah meletakkan pondasi dan asas yang jelas pada setiap perilaku umatnya. Pondasi ini menjadi barometer untuk menentukan segala sesuatu apakah masih dalam koridor Islam atau tidak. Eksistensinya bukan untuk memenjara dan menekan hak manusia dalam bertindak, justru sebaliknya, ia dapat melindungi hak yang dizhalimi. Misalnya dalam persoalan riba, ia dilarang dalam Islam karena hanya menguntungkan satu pihak saja, sementara pihak yang lain dirugikan. Dan secara garis besar, akad dalam Islam berpijak pada logika “saling meridhai dan tidak menzhalimi”. Melanggar prinsip ini berarti membatalkan akad yang ada.
Istilah akad dalam hukum Islam dikenal dalam hukum Indonesia dengan istilah “perjanjian”. Kata akad berasal dari kata al ‘aqd yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan, juga bisa bermakna afirmasi atau pengukuhan. Adapun secara terminologi, ulama fiqih memberikan dua makna; makna khusus dan makna umum. Adapun akad dalam arti khusus adalah pernyataan dari dua pihak atau lebih (ijab dan qabul) yang menghasilkan hukum syar’i yang melazimkan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Sedangkan akad dalam arti umum adalah tindakan atau kehendak sepihak yang melahirkan hukum syar’i yang melazimkan dirinya.
Cakupan akad menurut definisi kedua jauh lebih luas dibandingkan definisi pertama, karena ia tidak mengharuskan adanya dua belah pihak dalam suatu akad. Seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf, pelepasan hak dan berbagai bentuk komitmen yang datang dari satu pihak, tanpa harus melibatkan orang lain. Sedangkan cakupan akad menurut definisi pertama terbatas hanya pada tindakan-tindakan yang melibatkan dua pihak atau lebih, seperti jual beli, sewa menyewa dan lainnya. Kedua definsi ini akan kita temukan dalam buku fiqih, namun definisi pertama lebih mendominasi.
Rukun Akad
Rukun adalah komponen pokok dari sesuatu, rukun akad adalah esensi dari suatu akad. Tanpanya, akad tersebut belumlah dianggap ada. Secara umum dalam suatu akad ada tiga; Pertama, Sighah, yaitu pernyataan ijab dan qabul dari kedua belah pihak, Kedua, Mahal Al‘Aqd atau objek akad dan Ketiga, Aqidan atau pihak-pihak yang melakukan akad.
Sighah
Ijab adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari suatu pihak untuk melahirkan suatu tindakan hukum yang dimaksud. Sedangkan qabul adalah pernyataan kehendak yang mengindikasikan persetujuan terhadap ijab dalam waktu yang simultan atau serentak. Terlaksananya ijab dan qabul ini menunjukkan terjadinya suatu akad.
Pada hakikatnya, suatu akad itu dipicu oleh kehendak, pilihan dan atas kerelaan diri sendiri. Namun unsur-unsur yang demikian letaknya di hati, maka dijadikanlah ijab qabul sebagai penerjemah bahasa hati.
Pertanyaan selanjutnya adalah, haruskah lisan yang menjadi patokan dalam ijab qabul? Atau cukup dengan bahasa tubuh?
Ada tiga pendapat ulama dalam menjawab pertanyaan ini;
- Harus dengan bahasa lisan kecuali dalam kondisi tertentu seperti bisu, dan tidak cukup hanya dengan bahasa tubuh dan perilaku, karena pada dasarnya hal itu tidak menunjukkan apa-apa.
- Perilaku bisa menggantikan posisi bahasa lisan, jika disertai indikator yang menunjukkan pada makna yang dimaksud.
- Akad terlaksana dengan segala sesuatu yang dapat difahami untuk menyampaikan makna yang dimaksud, atau segala sesuatu yang sudah menjadi adat kebiasaan yang berlaku, baik bahasa lisan atau perilaku.
Dalam sighah harus selaras antara ijab dan qabulnya. Apabila suatu pihak menawarkan (ijab) benda A dengan harga seratus Rupiah, pihak lain harus menerima (qabul) dengan menyebutkan benda A senilai seratus Rupiah pula, bukan dengan benda B yang harganya seratus lima puluh Rupiah.
Dan dalam sighah pula, kedua belah pihak harus jelas meyatakan penawarannya dan pihak yang lain harus dengan jelas menerima tawarannya (transparansi), qabul harus langsung diucapkan setelah ijab diucapkan. Ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang lain tanpa adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab ditawarkan hari ini dan dijawab dua hari kemudian itu tidaklah sah, ijab dan qabul juga harus dilakukan di dalam satu ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus di dalam satu majelis yang sama.
Mahal Al‘Aqd
Rukun kedua dari akad adalah Mahal Al‘Aqd atau objek akad yaitu jasa atau benda-benda yang berharga dan objek akad tersebut tidak dilarang oleh syariah. Ulama sepakat bahwa objek akad harus memenuhi dua kriteria; terdiri dari objek yang harus menerima segala konsekuensi hukum dari akad tersebut dan kriteria kedua adalah bebas dari segala bentuk gharar (spekulasi) yang menyebabkan perselisihan dan perbedaan.
Kepemilikan dari objek akad harus ada pada saat akad dilaksanakan. Objek harus sudah diketahui oleh kedua belah pihak, beratnya, harganya, spesifikasinya, modelnya dan kualitasnya. Dan hendaknya menjadi perhatian bahwa dalam hukum Islam, seseorang tidak diperbolehkan untuk menjual sesuatu yang bukan miliknya, contohnya: menjual burung-burung yang masih terbang, atau menjual ikan-ikan yang masih berenang di lautan lepas, karena tidak jelas berapa jumlah dan sulit untuk menentukan harga pastinya, yang berakibat pada adanya unsur ketidakpastian atau gharar. Ketidakpastian atau gharar ini dapat membatalkan akad.
Aqidan
Dan rukun ketiga dari akad adalah Aqidan atau pihak-pihak yang akan melakukan akad. Kriteria pelaku akad adalah ahliyah (kecakapan), wilayah (kuasa) dan ridha (kerelaan).
Ahliyah (kecakapan) memiliku dua kriteria yaitu ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’; ahliyatul wujub adalah kelayakan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban, adapun ahliyatul ada’ adalah saat perkataan seseorang dan perbuatannya dianggap sah secara hukum syariah. Ahliyah ini terbagi menjadi dua; sempurna dan tidak sempurna. Periode sempurna adalah bagi mereka yang sudah baligh dan tidak lagi terbatasi untuk melakukan segala sesuatu sesuai kehendak. Adapun tidak sempurna adalah mereka yang sudah tamyiz tapi belum mencapai baligh, atau karena hal lain yang menyebabkan daya akalnya tidak sempurna, seperti idiot. Jika tidak mempunyai ahliyah maupun wilayah, maka akad tersebut tidak bisa dilangsungkan. Adapun saat transaksi dilakukan oleh orang yang mempunyai kelayakan namun tidak mempunyai kuasa, seperti menjual milik orang lain, maka keabsahannya tergantung kepada izin pemilik barang.
Jumhur ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa suatu akad tidaklah sah apabila tidak mengandung unsur ridha. Ada beberapa hal yang dapat menghilangkan ridha yaitu ikrah (pemaksaan), mabuk, hazl (terucap diluar keinginannya), ghalath (keliru), tadlis (menyembunyikan aib) dan ghabn (penipuan).
Konsekuensi Akad
Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada dua. Yang pertama Shahih atau sah yang artinya semua rukun akad beserta semua kondisinya sudah terpenuhi, yang kedua, Batil yaitu apabila salah satu dari rukun akad tidak terpenuhi maka akad tersebut menjadi batal atau tidak sah, apalagi kalau ada unsur Maisir, Gharar dan Riba di dalamnya. Ketiga unsur tersebut sebaiknya dihindari dalam transaksi yang menggunakan akad syariah.
Maisir adalah segala permainan yang mengandung unsur taruhan, dimana pihak yang menang mengambil harta atau materi dari pihak yang kalah. Gharar diibaratkan dengan suatu keadaan yang tidak menyajikan informasi memadai tentang subjek atau objek akad. Sedangkan Riba adalah setiap kelebihan yang tidak syar’i antara nilai barang yang diberikan dan nilai yang diterima.
Sebagai contoh aplikatif, mari kita perhatikan ulasan Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili dalam bukunya AlFiqhul Islami wa Adillatuhu tentang jual beli yang dilarang dalam beberapa kategori.
Pertama; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan dari aqidan. Seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil, orang yang diancam atau dipaksa, dan seorang mahjur ‘alaih.
Kedua; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan syarat dari sighah. Seperti jual beli dengan syarat yang dilarang, tidak ada kesesuaian antara ijab dan qabul, dan jual beli dengan kata atau isyarat yang tidak difahami.
Ketiga; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan syarat dari mahallul ‘aqd. Seperti jual beli barang yang haram dan najis, jual beli ma’dum, jual beli barang yang tidak bisa diterima langsung, termasuk di dalamnya jual beli yang mengandung unsur gharar.
Keempat; karena ada sifat atau syarat yang dilarang, misalnya bai’ ‘inah, riba, jual beli orang kkota dengan harga mahal untuk orang desa yang belum mengetahui harga, jual beli saat panggilan shalat jumat dan sebagainya.
Demikian paparan singkat mengenai teori akad dalam hukum Islam, dengan memahami teori akad ini hendaknya seorang muslim mampu mengkondisikan dirinya untuk sebisa mungkin meninggalkan hal-hal yang dilarang, untuk selanjutnya mencari alternatif lain yang terbebas dari laranggan agar berkah dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahua’lam bil shawab
Sumber:
Buletin Pakeis edisi I, II 1433 H