Bisa dikatakan Indonesia adalah negara dengan tingkat toleransi yang tak memiliki indikator. Hingga dengan mudahnya oknum-oknum di negeri ini berkelakukan seenaknya dengan dalih toleransi.
- Penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta, karena ada ancaman dari Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Indonesia, Umat Islam menerima.
- Kalender Nasional dan Kalender Pendidikan memakai kalender Masehi, sehingga agak ribet ketika menentukan libur Ramadhan dan libur hari raya. Umat Islam pun dapat menerima.
- Hari libur pekanan hari Minggu, bukan hari besar Islam (Jum’at ), umat Islam Mengalah.
- Tahun Baru Imlek dan Tahun baru Masehi peraayaannya jauh lebih besar dan lebih gebyar dari pada tahun baru Islam. Lagi-lagi umat Islam tidak iri hati.
- Pemaksaan terhadap asas tunggal pada zaman orde baru yang di rekayasa oleh kelompok “Tanah Abang” otak utamanya non Muslim, lagi-lagi umat Islam yang sangat terpojok pada saat itu, sampai terjadi meletusnya pristiwa priok. Para aktifis HAM bungkam (karena korbannya umat Islam).
- Pengeluaran secara tidak terhormat siswi berjilbab, dari SLTA Negeri selama 12 Tahun (1980-1992). Akar masalahnya karena ada surat SK pelarangan Jilbab oleh DirJen Dik Das Men yang waktu itu dijabat oleh seorang wanita asal Belanda yang non muslim. Sampai ribuan korban gadis berjilbab yang di usir dari sekolah negeri. Orang-orang tidak ada yang teriak HAM, termasuk aktifis HAM nya juga tinggal diam.
- Nama gedung-gedung besar terutama di jakarta, sangat kental dengan bahasa yang digunakan oleh non Muslim.
- Jenis-jenis Penghargaan oleh Presiden terhadap bawahannya, semuanya memakai nama-nama yang juga sangat kental dengan bahasa yang digunakan oleh non Muslim.
- Pristiwa Ambon yang sangaat Jelas, pembantaian terhadap orang-orang yang baru selesai sholat Ied, saksinya jutaaan manusia. Anehnya media nasional memberitakan secara tidak seimbang dan terkesan ditutupi. Berita-berita di luar negeri memberitakan sebaliknya, bahwa umat Islam lah yang mendahului. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah dibantai difitnah pula.
- Komposisi PNS dan Pejabat berdasarkan Agama di KalTeng dan Maluku tidak proposional jika dibanding dengan komposisi agama penduduknya. umat Islam tidak mempermasalahkan, walaupun secara proporsional dipertanyakan.
- Bicara Korban Pembantaian apalagi, siapa yang banyak korban? Peristiwa Priok, Lampung, Cisendo, Woyla, Aceh Ambon, dan lain-lain.
- Rekayasa global dengan isu Terorisme, yang sangat memojokkan umat Islam, sangat berimbas di Indonesia, sampai-sampai pesantren jadi sasaran fitnah. Kita harus menerima fakta bahwa seolah-olah ketika bicara terorisme itu konotasinya umat Islam.
- Sekedar perbandingan dua kekejaman antara Saddam dan Bush. Ketika Saddam Hussein berkuasa selama 24 tahuh (16 Juli 1979 hingga 9 April 2003) orang yang terbunuh atas printah langsungnya ada 49 orang, semua laki laki, semua tokoh-tokoh oposannya. Sementara invasi AS yang cuma 9 bulan pertama saja sudah menewaskan 700.000 jiwa yang terdiri dari anak-anak dan wanita, karena bom yang dijatuhkan dari pesawat tidak bisa memilih gender dan usia.
- Ketika kita ingin mencintai produk dalam negeri, mulai dari gaya hidup, pakaian, musik, seni, pergaulan, model rambut, produk teknologi, sampai pada buah-buahan, makanan termasuk ayam goreng, minuman dan sebagainya dengan maksud menjaga harga diri bangsa, dan mempertahankan rupiah, kita akan dituduh fanatik, melarang kebebasan ekspresi, melanggar HAM, dan sebagainya. Sebaliknya mereka yang selalu membawa produk asing, terutama musik, yang akan mengangkut bermilyar-milyar rupiah uang anak bangsa ke luar negeri, mereka diangkat jadi pahlawan.
Faktanya, hingga hari ini umat Islam terus dituduh tidak toleransi, dan masih terus dituntut untuk bisa bertoleransi. Kita bertanya mau yang bagaimana lagi? Kami diminta apa lagi?