Hari ini, Tuan-tuan beramai-ramai menggugat kemerdekaan kita. Dengan puisi-puisi hebat Tuan, dengan rangkaian kata-kata di jejaring sosial Tuan, dengan pidato-pidato menggelegar Tuan, jamak dari Tuan menggugat dan bertanya, “Apakah Indonesia sudah merdeka?”. Kemudian Tuan memberi jawaban sendiri, “Indonesia belum merdeka!”.
Entah apa maksud Tuan. Mungkin Tuan ingin mengingatkan kami bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan tinimbang merayakan kemerdekaan dengan sekedar tirakatan dan makan-makan atau lomba-lomba yang tujuh belasan. Mungkin begitu. Tapi terkadang kata-kata Tuan terdengar nyinyir di telinga kami, dan mungkin para kyai, santri, pemuda, dan para syuhada yang puluhan tahun lampau menyumbangkan seluruh hidup dan nyawanya untuk sekedar sebait-dua bait teks proklamasi yang dibacakan pemimpin kita sebagai penanda kemerdekaan kita.
Kemudian Tuan menyatakan bahwa kita belum merdeka. Seakan itu menafikkan dan menyepelekan darah-darah yang berceceran di bumi pertiwi kami.
Sekolah mahal, orang miskin masih banyak, kesehatan masih mahal, tingkat pendidikan masih rendah, korupsi masih banyak, pembalakan liar semakin liar, keamanan tak terjamin. Tuan menyebutkan satu-satu masalah kita dan menyebutnya sebagai alasan bahwa kita belum merdeka. Sadarkah Tuan, itu salah siapa? Kalau lebih dari delapan windu kita masih berkubang dengan banyak masalah, apakah kemudian Tuan merasa hebat dengan mempertanyakan ke-belum merdeka-an kita? Apakah Tuan merasa nyaman dan terbebas dari segala tanggungjawab ketika dengan lantang menyatakan dan menyebutkan berbagai masalah ibu pertiwi kita?
Tuan, ketika Tuan menuntut para pejabat dan pemimpin kita berlaku jujur dan amanah, apakah Tuan sudah membebaskan diri Tuan dari segala ketidakjujuran? Apakah Tuan yang masih bersekolah sudah merelakan nilainya kecil daripada harus mencontek dan berbuat curang sewaktu ujian? Apakah Tuan yang menjadi pedagang sudah memastikan timbangan Tuan tak berat sebelah dan memastikan bahwa pelanggan Tuan mendapatkan sesuai dengan yang Tuan katakan? Apakah Tuan yang menjadi pegawai, ketika melamar menjadi pegawai dengan jujur atau dengan muslihat dan koneksi sana-sini?
Tuan, ketika Tuan mempertanyakan pendidikan kita yang tak kunjung membaik, apakah Tuan sudah dengan sungguh-sungguh mendidik dan mengajari anak Tuan? Atau sekedar memasukkan anak Tuan ke sekolah mahal dan merasa semuanya akan menjadi sempurna?
Tuan, ketika Tuan menggugat pemerintah karena masih ada busung lapar, masih ada yang makan nasi kering, masih ada anak bangsa yang lapar, apakah Tuan sudah peduli setidaknya dengan tetangga dan orang-orang terdekat Tuan?
Tuan, ketika Tuan mencibir penegak hukum kita yang tak tegas menangani beberapa kasus, apakah Tuan ingat ketika Tuan melanggar larangan lalu lintas, Tuan lebih senang berdamai dengan petugas, atau mau bersusah payah mengurus ini itu di pengadilan dan memastikan tak ada suap yang masuk ke kantong petugas kita?
Tuan, ketika Tuan menuntut ini itu bagi bangsa dan ibu pertiwi kita, apakah Tuan sudah memberikan sumbangsih nyata, atau sekedar menyampaikan kalimat seperti kaum Nabi Musa yang dimurkai oleh Tuhan, “Anda saja yang berjuang, kami akan duduk-duduk di sini saja dan menunggu hasil perjuangan Anda”.
Tuan, bukankah dengan kecerdasan Tuan, Tuan sangat tahu bahwa caci dan keluh kesah tak akan menjadikan negeri ini seperti yang Tuan kehendaki lewat kalimat-kalimat dan puisi hebat Tuan?
Maafkan saya, Tuan…
Agus Fredy Muthi’ul Wahab
Presiden Mahasiswa STAN 2010/2011
Blog Si Abi