Mendapatkan kabar duka tentang meninggalnya orang yang dicinta, dan itu terjadi bukan di tempat asalnya, kadang membuat pikiran mendadak seolah buntu. Maka, kehadiran sahabat dan saudara pada saat-saat seperti itu, sangat terasa artinya.
Begitu pun saat kabar meninggalnya bapak (mertua) hari Rabu siang lalu, di RSPAU Dr Esnawan (Halim), Jakarta Timur. Berduka, tentu saja. Tetapi bagaimana jenazah harus cepat sampai ke kampung di Purworejo, Jawa Tengah (karena ibu sangat ingin bapak dimakamkan di kampung), adalah hal lain yang mau tak mau harus dipikirkan dengan cepat.
Dalam kondisi seperti itulah, betapa berartinya uluran tangan para sahabat. Ada mbak Mugi dan Pak Rama yang langsung menawarkan mobil ambulans dan 1 mobil lagi berikut supirnya. Jazakumullah, cuma tawaran itu secara teknis agak sulit karena posisi jenazah Bapak dan saudara-saudara di ujung timur Jakarta sedang mobil yang dimaksud masih ada di Pamulang. Ada beberapa teman yang selain mengucap bela sungkawa juga langsung bertanya, “Apa yang bisa kami bantu?”
Sungguh mengharukan.
Sementara itu teman-teman kantor suami begitu tahu ada kabar duka siang itu, langsung menelpon, “Jenazah dan keluarga mau berangkat ke kampung naik apa? Kalau dengan pesawat, kami akan segera uruskan”.
Suami menjawab, “Kayaknya dengan perjalanan darat aja, konvoi mobil dan ambulan dari rumah sakit”
“Oh begitu. tapi nanti kalau berubah pikiran dan akan dibawa naik pesawat, tolong hubungi kami lagi”.
Telepon ditutup.
Ada pula teman-teman kantorku yang juga dengan sigap langsung mengantarku berkonvoi dari Pamulang ke rumah sakit, sekaligus membawa serta mobilku yang siapa tahu akan dibawa pulang kampung (terima kasih untuk bu Ngadi, mba Tatmi, bu Kini, pak Darwo, pak Ibud, pak Acik, pak Toto, dan kang Agus). Entah siapa yang akan menyetir mobilku nanti, itu soal belakangan. Karena mengandalkan suami sebagai anak kandung yang baru saja kehilangan bapak dan dua malam sebelumnya juga menemani di rumah sakit, rasanya dia tak ‘cukup kuat’ untuk menyetir mobil sendiri. Meski akhirnya mobil itu harus dibawa kang Agus pulang lagi ke rumahku di Pamulang, karena tidak menemukan sopir dalam waktu singkat, dan tiga mobil dari adik dan kakakku yang akan konvoi dirasa sudah cukup.
Kemudahan lain tiba-tiba terkuak begitu saja. Karena untuk mengajak si sulung yang biasanya ada di boarding school Asy-Syifa Subang, tentu jadi ribet urusannya. Tapi siang itu justru dia sedang berada di Islamic Book Fair, Istora Senayan, program dari sekolahnya. Sehingga langsung dijemput oleh salah satu orang tua murid yang ingin bertemu dengan anaknya juga di IBF, mbak Lolly dan mas Yusuf. Jazakumullah, telah menyempatkan mengantar kak Hurin mbak, mas..
Lalu, ibu berpesan supaya kalau bisa jenazah cepat sampai rumah di kampung. Itu artinya, rencana konvoi berubah. Sebaiknya diangkut dengan pesawat. Hingga akhirnya diputuskan jenazah dan beberapa anggota keluarga inti (ibu, suami, aku dan 2 adik ipar) berangkat naik pesawat, sementara yang lainnya tersebar. Ada yang berkonvoi mobil, ada pula saudara yang memilih jalur perjalanan darat dengan kereta api atau bis malam. Jam 14.00 itu, suami menghubungi teman-teman kantornya lagi, jadinya naik pesawat. Dalam hal ini, teman-teman kantor suami sangat sigap memberikan bantuan. Sahabat2 yang baik itu langsung menguruskan semuanya. Hanya dengan sekali telpon bahwa jenazah akan dibawa dengan pesawat diiringi 5 anggota keluarga inti, urusan ticketing pesawat sudah mereka bereskan. Alhamdulillah.
Begitu jenazah selesai dimandikan dan dimasukkan dalam peti, buru-buru kami ke bandara Soeta. Setiba di sana mobil ambulan jenazah disambut oleh Kepala Bea Cukai bandara Soetta (terima kasih mas Diki selaku PLh) yang telah mengatur semuanya sedemikian rupa sehingga jenazah tinggal masuk, tidak ada pengurusan yang berbelit-belit.
Sebelumnya, suami waktu ditanya tentang ticketing, hanya menyebut jumlah seat pesawat yang dibutuhkan via telepon berikut nama2 kami. Ternyata untuk pemesanan yang hanya berjarak tiga jam dari jadwal keberangkatan, sangat sulit untuk disatukan dalam satu pesawat. Akhirnya aku, ibu dan dua adikku ada di pesawat berbeda, sementara suami dan cargo jenazah di pesawat yang lain, flight yang lebih malam.
Teman-teman itu begitu sigap, karena begitu aku datang ke bandara Soeta, mereka langsung datang menyerahkan 5 tiket, yang itu juga sudah dilakukan proses check in, tinggal masuk ke waiting room (terima kasih untuk mas saiful, yang jadi repot kesana kemari dari Bea Cukai Tanjung Priok).Mas saiful bercerita bahwa sebenarnya dia dan beberapa temannya ingin mengiringi kami, sehingga memesan 9 tiket pesawat, tapi hanya mendapat 5 tiket. Tak menyerah, seusai dari bandara, ternyata mas saiful cs langsung ke stasiun kereta, pergi ke Purworejo naik kereta taksaka, demi melayat. Tanpa persiapan bekal baju tentu saja, sehingga harus beli mendadak di kampung. Sungguh aku terharu. Sekali lagi terima kasih mas Saiful, dek Oky.
Aku dan rombongan kecilku terbang jam 18.00. Beberapa saat sebelum boarding beberapa sms dari nomor2 tak kukenal masuk ke hapeku. Ternyata dari teman2 Bea Cukai Jogjakarta dan istri mas saiful (yang kutahu juga bertugas di Bea Cukai Jogja) yang bersiap akan menjemput setiba di bandara Adi Sucipto, mewanti2 agar begitu boarding aku segera berkirim sms.
Sesampai di bandara Adi Sucipto Jogja jam 19.00, rombongan kecilku disambut teman2 Bea Cukai Jogkakarta, termasuk pak Kojar dan istrinya dek Yati, yang kukenal baik (jazakumulah pak, dek..). Karena pesawat yang akan membawa jeanazah baru akan datang 1 jam kemudian, kami dipersilakan untuk transit di kantor beacukai Jogja yang letaknya masih di seputar bandara. Disediakan makan malam gudeg bu tjitro dan menyempatkan sholat, sambil menunggu. Sangat membantu, karena sejak ada kabar duka ini, kami semua ‘lupa’ makan siang.
Tak lama, jenazah dan suami datang, disambut langsung oleh Kepala Bea Cukai Jogja dan beberapa stafnya (matur nuwun sanget pak Yanto), sehingga cargo jenazah dapat diambil dengan cepat. Tak hanya itu. Pihak Bea Cukai Jogja ternyata juga sudah menyiapkan mobil ambulan serta satu mobil innova untuk membawa kami semua ke Purworejo, 63 km dari Jogja. Itupun pak Kojar dan beberapa teman masih mengawal kami dengan mobilnya sendiri, sehingga ada 3 mobil yang konvoi. Alhamdulilah, perjalanan yang tiba sekitar jam 22 malam itu lancar, dan di rumah sudah banyak pelayat yang menunggu.
Tetangga-tetangga yang baik juga sudah menyiapkan semuanya. Tenda, kursi, juga urusan dapur, telah beres. Mobil ambulan untuk esok harinya membawa jenazah ke pemakaman pun telah disiapkan oleh seorang sahabat, pak Karsiwi (Jazakallah pak). Sungguh semuanya dipermudah.
Mungkin ini sederhana, hanya masalah evakuasi jenazah dan keluarganya dari ibukota ke daerah, dan pengurusan jenazah hingga pemakaman. Tapi bagiku, bagi kami, ini sangat tidak sederhana, karena biasanya cargo jenazah dan pemesanan tiket dalam jumlah cukup banyak seperti itu tak mudah, bisa memakan waktu berjam-jam, bahkan baru bisa mendapatkan jadwal keesokan harinya. Tentu juga dengan biaya yang tak sedikit, karena harga minus 3 jam keberangkatan, tentulah sudah membubung tinggi, per tiket hampir tembus tujuh digit. Apalagi salah satu tiket (yang dipakai suami) adalah tiket eksekutif dari maskapai terbesar di Indonesia yang memang layanan cargonya dapat diandalkan, harganya 3 kali lipat dari tiketku. Belum biaya cargo. Jadi kalau ditotal jendral, entah berapa juta. Tapi, sampai saat ini teman-teman kantor suami itu tak mau biayanya diganti. Semoga saja besok jika bertemu lagi di Jakarta, mereka mau biayanya diganti. Biar enak sama enaklah, karena kami juga sudah sangat banyak dibantu.
Juga tak sederhana, karena begitu tahu jenazah akan dibawa langsung dari Rumah sakit ke kampung (tanpa disemayamkan di rumahku atau rumah adik), tawaran bertubi untuk membawa mobil mereka juga datang dari teman-teman. Juga tak sederhana, karena rumah orang tua yang 2 bulan ini kosong melompong ditinggal bapak ibu ke Jakarta, telah disiapkan sedemikian rupa oleh tetangga-tetangga dan saudara di kampung, hingga sedetil-detilnya, hingga urusan mobil ambulan, penyiapan makam, dsb.
Ya, persahabatan itu memang indah, lalu mampu menggerakkan. Benar kata suami, saat kita meniatkan diri untuk senantiasa memudahkan orang lain, kita juga akan dimudahkan urusannya oleh orang lain, pada saat yang tak terduga, saat yang sangat kami butuhkan.
Sekali lagi, terima kasih teman dan sahabat kami semua, untuk semua bantuannya.
Terakhir, dari sekian banyak ucapan doa, ada satu ucapan yg cukup membuatku berpikir dan berpikir, dari seorang sahabat di Bandung, Aki Awan (jazakallah Ki). Dia menuliskan sms begini:
Ustazah, mbak Tia…
Semoga Kang Zubaidy menemukan pelipur lara yang menentramkannya saat ini, dari istri tercintanya..
Keluarga besarnya makin kompak, ukhuwahnya makin kuat,
Lalu bapak tak kehabisan do’a dari anak-anaknya yang shalih shalihah itu..
Ya Rabb, mampukan kami semua, untuk senantiasa menjadi ladang pahala bagi Bapak almarhum, sebagaimana hadits nabi ‘waladun sholihun yad’uulah‘, anak2 sholeh yang senantiasa mendoakan orang tuanya.
Besole, 18 Maret 2012
Tulisan ini didedikasikan untuk semua pihak yang telah membantu pengurusan jenazah bapak mertua,
Rabu & Kamis, 14-15 Maret 2012 lalu