Sebelum Rasulullah wafat, beliau pernah mengajarkan bahwa umat Islam itu harus taat kepada para ulama. Namun apakah setiap ulama itu wajib ditaati oleh umat muslim, sedangkan pada dasarnya setiap orang baru dapat dikatakan sebagai ulama ketika ia telah mampu menguasai persyaratan untuk menjadi seorang ulama. Mulai dari mampu memahami bahasa arab, mampu memahami tafsir serta syarat-syarat yang lainnya dan mungkin hal ini hanya akan dimiliki oleh orang-orang khusus saja yang benar-benar dipilih oleh Allah, karena ulama adalah seorang wali Allah yang diutus untuk menggantikan peran para nabi.
Di masa modern seperti saat ini, hampir setiap usai shubuh, apalagi di bulan Ramadhan, diberbagai stasiun televisi dan radio hampir semuanya berlomba-lomba menyiarkan beragam acara keagamaan. Mulai dari acara pengajian, ceramah, ataupun talkshow yang menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan sehari-hari dari sudut pandang Islam. Berbagai gaya dan tipe ustadz dan kiai yang tampil sebagai narasumber menyerukan berbagai nilai yang diajarkan Islam.
Tetapi apakah mereka semua dapat dikatakan sebagai ulama, nyatanya tidak juga. Lalu, apakah mereka yang dikatakan sebagai ulama-ulama Indonesia zaman sekarang telah melakukan hal-hal yang dilakukan oleh kiai atau ustadz di televisi atau radio tersebut? (yaitu melakukan dakwah secara langsung bahkah disiarkan ke berbagai penjuru Indonesia). Nyatanya tidak juga, padahal di seberang sana, berbagai lapisan masyarakat butuh bimbingan para ulama untuk menuntun mereka menuju jalan Islam yang lurus. Dan kini dalam realitas sosialnya masyarakat hanya dicekoki dengan berbagai tayangan islam yang ‘menghibur’ dari ustadz atau kiai yang muncul di televisi atau radio tersebut, sehingga wajar jika seakan pada akhirnya masyarakat tak tersentuh hidayah apa-apa.
Kondisi tersebut secara tidak langsung mampu sedikit menjelaskan tentang mengapa saat ini ulama seakan tidak banyak lagi yang didengar oleh masyarakat, mereka mungkin sudah kebanyakan mendengarkan ceramah-ceramah dari ustad-ustad yang ‘menghibur’ tersebut daripada mentaati fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama Indonesia. Padahal secara definisi, ulama itu berarti orang yang dianggap sebagai pemuka agama atau pemimpin agama serta bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.
Mungkin inilah yang dikatakan sebuah gejala munculnya delegitimasi para elit agama (ulama) oleh umatnya. Delegitimasi tersebut mengakibatkan mulai memudarnya pengaruh ulama Indonesia terhadap gerak dan etika sosial pada masyarakat Indonesia. Selain karena faktor yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, delegitimasi ini juga muncul disebabkan akumulasi kekecewaan umat beragama terhadap berbagai kebijakan (fatwa) yang dari sudut pandang mereka sangat tidak relevan dengan kondisi mereka.
Turun Gunung
Dalam bahasa yang sederhana, kondisi ini dapat digambarkan secara gamblang melalui kutipan berikut, “Agamawan kita adalah tontonan, bukan penuntun.” Para ulama tidak lagi banyak yang ‘turun gunung’ mengurusi masyarakat. Jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah atau bahkan oleh para ulama Islam terdahulu. Mungkin ulama kita juga harus mau mengalah dengan situasi masyarakat Indonesia.
Para ulama selayaknya mampu membimbing langsung masyarakat melalui ceramah-ceramah, pengajian maupun talkshow yang diadakan secara langsung di tengah masyarakat ataupun melalui media televisi atau radio. Padahal melalui media-media tersebut, para ulama dapat menyampaikan ilmu mereka dengan jauh lebih efektif. Coba bayangkan, pengajian mana yang mampu menampung jumlah hadirin yang lebih dari 50ribu orang, mungkin hal itu hanya bisa dilakukan melalui bantuan media televisi maupun radio.
Sayangnya pemanfaatan media belum menjadi efektif untuk hal-hal pokok dan lebih substansial dari peran ulama itu sendiri. Tidak seperti yang kebanyakan terjadi saat ini, dimana fatwa selalu turun tanpa masyarakat tahu atau tidak kenal dengan siapa orang yang memberikan fatwa, jika sudah begitu maka wajar saja jika fatwa-fatwa tersebut pada akhirnya tidak ditaati, atau bahkan ditolak. Seorang ulama selayaknya mampu ‘turun gunung’ dan ‘menapak ke bumi’ dalam memberikan pengajaran kepada masyarakat sehingga para ulama tidak lagi dianggap sebagai ‘orang langitan’.
Namun walau bagaimana pun setiap ulama, Di Indonesia atau di manapun, adalah seorang yang memiliki kelebihan ilmu dibandingkan dengan orang kebanyakan. Bahkan Rasulullah pernah mengatakan:
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan Al Imam Al Albani).
Maka, sudah selayaknya masyarakat muslim di manapun juga harus menghargai kedudukan para ulama tersebut serta juga harus mentaati apa yang dikatakan dan difatwakan oleh para ulama tersebut. Sehingga tidak lagi muncul perpecahan antar umat islam, dan yang lebih miris hal itu terjadi justru karena disebabkan oleh perbedaan pendapat yang sifatnya kecil dan perintilan.
Wallahu a’lam