Sobat! Mungkin Anda pernah membakar singkong atau jagung? Atau paling kurang mengkonsumsi nasi yang belum sepenuhnya masak. Masakan semacam itu dalam bahasa jawa disebut dengan masakan “mogol”. Bila dimakan bisa menyebabkan perut Anda kembung, namun bila dibuang sayang.
Oleh masyarakat, kata “mogol” alias “setengah matang” sering kali dijadikan ilustrasi untuk menggambarkan orang-orang yang “setengah matang”. Pakar bukan bodoh juga tidak sepenuhnya bodoh, namun demikian sikapnya yang “petentang-petenteng”, hantam sana sini, seakan jagoan tak terkalahkan sering merugikan dan meresahkan masyarakat. Kondisi semacam ini terjadi dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan ilmu dan agama.
Karena “mogol” mereka sering kali berkata aneh dan nyleneh, kaku dan beku, akibat dari keterbatasan ilmunya, sehingga kurang mampu menerapkan ilmunya dengan “luwes” dan bijak.
Pada suatu hari, ada seorang wanita menemui Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu, untuk bertanya kepadanya tentang wanita yang berzina, kemudian hamil, dan setelah ia melahirkan, ia membunuh anaknya tersebut.
Menjawab pertanyaan ini Abdullah bin Mughaffal radhaiallahu ‘anhu berkata: “Wanita itu masuk neraka”.
Mendengar jawaban yang demikian, wanita tersebut segera berpaling pergi sambil terisak-isak menangis.
Melihat wanita itu menangis terisak isak, Abdullah bin Mughaffal segera memanggilnya kembali, lalu berkata kepadanya: “Menurutku, permasalahanmu ini hanya ada satu dari dua alternatif berikut:
[arabtext]ومن يعمل سوء أو يظلم نفسه ثم يستغفر الله يجد الله غفورا رحيما[/arabtext]
“Dan barang siapa yang melakukan kejahatan, atau mendlalimi dirinya, kemudian ia memohon ampunan kepada Allah, niscaya ia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”
Mendengar jawaban beliau yang kedua ini, wanita tersebut mengusap matanya dan segera pergi. (Ibnu Jarir At Thabary)
Sikap serupa juga pernah dilakukan oleh sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Sa’ad bin Ubaidah, ia menuturkan: Suatu hari datang seorang lelaki menjumpai sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, lalu ia bertanya, “Apakah diterima taubat orang yang dengan sengaja membunuh seorang mukmin?”
Beliau menjawab, “Tidak diterima, dan hanya ada satu balasan baginya yaitu neraka.”
Setelah lelaki itu pergi, segera murid-murid beliau bertanya karena keheranan, “Sebelumnya tidak demikian engkau mengajarkan kami masalah ini. Sebelumnya engkau mengajarkan kepada kami bahwa taubat orang yang dengan sengaja membunuh seorang mukmin masih bisa diterima.”
Menanggapi pertanyaan murid-muridnya ini, sahabat Ibnu Abas radhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku mengira lelaki yang bertanya tadai adalah orang yang sedang marah dan berencana membunuh seorang mukmin.”
Mendengar alasan gurunya ini, mereka segera mencari tahu perihal lelaki yang bertanya tersebut dan ternyata mereka mendapatkannya tepat seperti yang diperkirakan oleh sahabat Ibnu Abbas radhiallal ‘anhuma.
Berdasarkan praktek para ulama’ semacam inilah selanjutnya Imam Qarafy menyimpulkan, “Sikap kakusaklek dalam menerapkan perkataan ulama’ yang termaktub dalam kitab kitab dalam segala kondisi dan waktu adalah satu kesesatan dalam beragama. Sikap tersebut juga mencerminkan kebodohan dalam memahami keinginan para ulama’ kaum muslimin dan generasi terdahulu.” (Al Furuq 1/321)
Imam Ibnu Al Qayyim menimpali ucapan Imam Qarafy ini dengan berkata, “Ucapan beliau ini ialah pamahaman yang sangat tepat. Karena siapapun yang berfatwa kepada masyarakat hanya berdasarkan keterangan yang ia dapatkan di dalam kitab, tanpa perduli dengan perbedan tradisi, budaya, zaman, situasi dan kondisi masyarakat maka ia telah terjerumus dalam kesesatan dan menyesatkan orang lain.” (I’ilamul Muwaqiin 3/78)
Sobatku! Karena itu selektiflah dalam bertanya dan menimba ilmu, karena bisa jadi anda mendapatkan orang yang hafal banyak ucapan ulama’ namun kenyataannya mereka adalah orang orang yang digambarkan dalam ucapan Imam Qarafy dan Ibnul Qayyim di atas. Maksud mereka baik, namun karena kapasitasnya terbatas, sehingga tersesat dan menyesatkan, hasbunalahu wa ni’mal wakil. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan baik disengaja ataupun tidak disengaja.
Ustadz Dr. Muhammad Arifin