Ustadz Tarekat Punya Kesaktian Hebat

Pertanyaan:

Keluarga saya terpengaruh dengan ajaran Tarekat tertentu. Saya makin risau karena mereka asyik memuja ustadz mereka. Mereka berkata bahwa dia keturunan Nabi, jangan dipermasalahkan, dia ada kesaktian, dia bisa tahu apa yang ada dalam hati kita dan macam-macam lagi. Saya melihatnya mereka bukan asyik menceritakan kehebatan Islam, tetapi kehebatan Ustadz mereka. Harap dapat diberikan pendapat tentang hal ini.

Jawaban

Terima kasih kepada saudari yang bertanya. Dari pertanyaaan saudari tampak saudari menghayati hakikat sebenarnya ajaran Islam. Islam berdasarkan tauhid dan anti syirik. Asas ajaran Islam ialah membesarkan Allah dan menghayati ajaran Allah berdasarkan petunjuk ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika ada Ustadz melandaskankan ajarannya kepada mengagungkan Allah dan mengikuti ajaranNya seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka itulah ajaran yang benar. Jika tumpuan kepada mengagungkan Ustadz, sibuk menceritakan kehebatan Ustadz, maka itu telah tersesat dari ajaran Allah dan rasulNya. Di sini beberapa perkara patut diberikan perhatian;

Kesalahan sebagian ajaran Ustadz Tarekat adalah mereka cuma menjadikan diri mereka pusat kekaguman pengikut dengan mengada-adakan cerita kehebatan diri. Mengambil kesempatan dari fanatisme pengikutnya menyebabkan kita lihat, walaupun Tarekat kononnya mengajar penganutnya agar meninggalkan cinta dunia, tetapi Ustadz-ustadz Tarekat yang hidup dengan kemewahan. Bahkan, menjadi trend sebagian Ustadz ini untuk mendampingi orang kaya dan berkuasa. Hal ini sangat berbeda dengan mereka yang zuhud pada zaman salafush shalih. Pada zaman dahulu, walaupun banyak penguasa yang shalih, namun golongan zuhhad (ahli zuhud) yang ikhlas ini enggan mendampingi mereka, khawatir percikan dunia. Hari ini banyak penguasa yang tidak shalih, tetapi kita lihat golongan yang menyandarkan diri kepada Tarekat ini banyak suka memakmurkan majelis-majelis kemeriahan penguasa, berlebihan memuji mereka untuk mendapat kue dari mereka. Maka, sebagian Ustadz menjadikan ‘bicara ruhani’ atau bicara keajaiban diri untuk membina kerajaan harta dan pengaruh.

Bagaimanakah seorang Ustadz bisa mengaku bahwa dia mengetahui apa yang tersembunyi dalam dada muridnya, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun tidak mengaku demikian? Dalam hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ، وَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ

“Kamu mengangkat perselisihan kamu kepadaku. Bisa jadi sebagian kamu lebih bagus hujahnya dari yang lain. Lalu aku berikan untuknya berdasarkan apa yang aku dengar. Barangsiapa yang aku berikan sesuatu hak saudaranya janganlah dia ambil, karena sesungguhnya aku memotong untuknya potongan api neraka.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Artinya, beliau pun menilai berdasarkan apa yang zhahir dan tidak mengetahui yang batin, sedangkan beliau seorang nabi. Hanya jika ada kasus tertentu yang beliau mendapat informasi berdasarkan wahyu dari Allah.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melihat sahabat mengawinkan bunga kurma, lalu beliau bersabda:

مَا تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا: كُنَّا نَصْنَعُهُ، قَالَ:”لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا” فَتَرَكُوهُ، فَنَفَضَتْ أَوْ فَنَقَصَتْ، قَالَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: “إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيِي، فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ”

“Apa yang sedang kamu lakukan?”. Jawab mereka: “Kami telah lakukannya sebelum ini”. Jawab beliau: “Barangkali jika kamu tidak buat ia lebih baik”. Maka mereka pun tidak melakukannya, lalu pokok tidak berbuah. Mereka menyebut hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda: “Aku ini manusia. Apabila aku menyuruh kamu dari perkara agama, maka ambillah (patuhlah). Jika aku menyuruh kamu sesuatu dari pendapatku, maka aku hanyalah seorang manusia” (Riwayat Muslim).

Apakah Ustadz Tarekat itu lebih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga mengetahui segala perkara yang zhahir dan yang tersembunyi?

Keturunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanglah satu kelebihan. Namun, itu bukan pengukur utama kemuliaan seseorang. Tiada sistem kasta dalam Islam. Berlebihan dalam memuliakan keturunan tertentu itu menyerupai ajaran Hindu, atau dalam umat ini seperti ajaran Syiah. Sedangkan al-Quran menyebut: “Sesungguhnya yang paling mulia dalam kalangan kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa” (Surah al-Hujurat: 13 ).

Nabi sendiri pernah menyebut:

يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ، يَا صَفِيَّةُ بِنْتَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا

“Wahai Fatimah binti Muhammad! Wahai Sofiyyah binti ‘Abd al-Muttalib! Wahai keturunan’Abd al-Muttalib! Aku tidak dapat menyelamatkan kamu dari (hukuman) Allah.” (Riwayat Muslim).

Artinya, yang menyelamatkan seseorang itu iman dan takwa sendiri, bukanlah keturunannya.

Kaum keluarga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dihormati, namun ada batasan. Prof. Hamka mengkritik keras pengakuan Ibn ‘Arabi (tokoh rujukan sebagian besar golongan Tarekat) yang menyatakan kita hendaklah menerima apa saja yang dilakukan oleh mereka yang berketurunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau kaum sayyid kepada kita.

Kata Prof Hamka: “Tegasnya menurut fatwa Ibn Arabi ini, kalau bangsa sayyid atau habib mengambil harta-benda kita hendaklah ridha, hendaklah serahkan, hendaklah sabar, kalau diganggunya diri kita ditamparnya, dipukulnya hendak ridha, hendaklah menyerah, hendaklah sabar. Sebab beliau cucu Nabi kita dan kalau diganggunya kehormatan kita sehingga kita jadi malu, hendaklah ridha, hendaklah menyerah, hendaklah sabar, kalau diganggu anak isteri kita dan kaum keluarga kita, hendaklah terima dan ridha dengan menyerah dan sabar…maka perkataan Ibn Arabi ini ditanamkanlah kepada orang awam. Padahal sangat membawa hinanya sebagian manusia di hadapan yang setengahnya, sehingga lebih hina mereka dari budak yang telah sepuluh kali dijual dan sepuluh kali berganti tuan. Walaupun hartanya atau dirinya bahkan walaupun anak gadisnya diganggu oleh Ahli Bait, zuriat Rasul, dia menyerah saja dan wajib memandang itu sebagai nikmat sesudah iktisadnya dan hidupnya dijajah oleh Inggris dan Belanda dan Cina, maka jiwanya pula wajib dijadikannya sebagai budak dan jajahan kepada kaum sayyid.” (Hamka, Teguran Suci dan Jujur Terhadap Mufti Johor, hal 72, Selangor: Pustaka Dini).

Para sahabah yang mulia seperti Abu Bakr, Umar dan lain-lain pun tidak pernah berkampanye tentang kehebatan diri mereka. Sebaliknya, mereka senantiasa mengajak umat Islam mendahulukan Allah dan rasulNya. Ketika Abu Bakr r.a dilantik menjadi khalifah, beliau berucap:

أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ وُلِّيتَ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ، فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِينُونِي، وَإِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُونِي…أَطِيعُونِي مَا أَطَعْتُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، فَإِذَا عَصْيَتُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَلَا طَاعَةَ لِي عَلَيْكُمْ

“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah dilantik menjadi pemimpin kamu, bukanlah aku yang terbaik dalam kalangan kamu. Jika aku betul, tolonglah aku. Jika aku salah, betulkanlah aku… Taatlah aku selagi aku taatkan Allah dan RasulNya. Jika aku derhakakan Allah dan RasulNya, maka tiada ketaatan untukku.” (Ibn Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, 1/361).

Padahal, orang seperti Abu Bakr al-Siddiq telah dimuliakan oleh al-Quran dan al-Sunnah, namun masih lagi mengingatkan bahwa asas Islam kembali kepada membesarkan Allah dan RasulNya. Apakah sebagian Ustadz Tarekat ini lebih hebat dari Abu Bakr?

Barangsiapa saja hendaklah patuh kepada al-Quran dan sunnah. Ukuran kita apa yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah, bukannya tokoh. Kata al-Imam al-Syatibi (meninggal 790H): “Maka wajib bagi kita untuk mengikut orang yang terhalang dari kesilapan (maksudnya Rasulululah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) dan berhenti dari mengikut siapa saja yang tidak terhalang dari salah apabila melihat kekeliruan pada ikutan tersebut. Bahkan kita bentangkan apa yang datang dari para imam kepada al-Kitab dan al-Sunnah. Apa yang keduanya (al-Quran dan al-Sunnah) terima, maka kita terima, dan apa yang kedua tidak terima, kita tinggalkannya.”. (Al-Syatibi, Al-I’tisam, hal. 165, Beirut: Dar al-Kitab al-`Arabi).

Islam mengeluarkan kita dari kebodohan kepada kebijaksaan. Dari mengikut sesuatu secara membabi buta kepada menilai dan memahami sebelum mengikut. Firman Allah:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah engkau mengikut apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan mengenainya; sesungguhnya pendengaran dan penglihatan serta jantung hati, semua anggota-anggota itu akan ditanya”. (Surah al-Isra’: ayat 36).

Wajib setiap perkataan Ustadz diukur dengan al-Quran dan al-Sunnah dan haram mengikut mengikut sesuatu yang jelas bercanggah dengan al-Quran dan al-Sunnah.

Mempelajari agama dari tokoh apapun bukanlah masalah utama, tetapi sikap bertaklid tanpa menilai dan berfikir itulah yang membawa kepada kesesatan. Jika ada Tarekat yang bersumberkan al-Quran dan hadis yang sahih, maka tiada salah mengikutnya. Kesufian dan tasawwuf juga tidak menjadi masalah jika berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah. Namun pastikan bukan seperti yang diingatkan oleh Syeikh Manna’ al-Qattan: “Tasawwuf telah bertukar menjadi falsafah andaian semata-mata, yang tiada lagi hubungan dengan wara’, taqwa dan kezuhudan. Falsafah ini mengandungi pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam dan akidahnya” (Mabahith Fi `Ulum al-Quran, hal.. 356, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif).

Prof. Madya Dr. Muhammad Asri Zainul Abidin