Saya mengenal seseorang yang -masya Allah- secara keilmuan dan akhlak luar biasa – أحسبه كذلك ولا أزكي على الله أحداً- . Dia termasuk pelajar yang mumtaz sewaktu di kampus, dan secara akhlak maka segenap civitas kampus mencintainya. Tak ada satu pun yang membencinya kecuali orang yang hasadnya kebangetan. Itu pun kalau ada.
Singkatnya, selepas lulus ia berdakwah di tanah Sumatera. Itu mesti dia jalani sebagai bentuk khidmah, karena selama ngampus ia tidak punya modal rupiah melainkan berkat bantuan para muhsinin kepadanya. Nah salah satu muhsinin mewajibkannya untuk khidmah beberapa tahun di sana sebagai timbal balik.
Sayangnya, nafkah yang diberikan muhsinin kepadanya selama khidmah itu tidaklah besar. Bahkan bisa dikatakan jauh dari kata ‘manusiawi’. Sebulan teman saya hanya diupah tidak lebih dari 500 ribu! Tentu keteteran sebulan megang uang segitu, apalagi tempat ia berdakwah termasuk daerah pedalaman yang biaya hidupnya tinggi.
Di luar itu, dia sering mengisi taklim ke sana kemari. Dari taklim itu dia bisa mendapatkan tambahan dari amplop yang dihadiahkan para jama’ah. Katanya, jika ditotal-total sebulan dia bisa dapat sekitar 3-4 Juta. Angka yang berlipat-lipat lebih besar dari yang ia dapat dari aktivitas khidmahnya bersama muhsininnya.
Apakah kita ingin men-judge bahwa ia tidak ikhlas gara-gara mengambil amplop dari para jama’ah tersebut? Sedang ia juga manusia yang butuh untuk bertahan hidup. Sedang ia butuh akomodasi dan transportasi selama perjalanan dakwahnya tersebut. Sedang ia mesti melewati hutan demi hutan untuk sampai ke tempat taklimnya itu.
Maka ikhlas sejatinya adalah apa yang tertanam di dalam hati. Sedang dunia, dipersilahkan bagi kita mengambil seperlunya sesuai kebutuhan kita.
Dan hendaknya kita tidak memanfaatkan kata ‘ikhlas’ untuk berbuat semena-mena kepada pihak lain. Biarkan ia ikhlas untuk RabbNya, sedang tugas kita adalah menunaikan hak manusia sesuai kebutuhannya.