Tarik Ulur Konsep Islam Nusantara
Istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini marak diwacanakan oleh beberapa kalangan, namun persoalannya, hingga kini belum ada konsep yang jelas atas istilah tersebut. Misalnya saja, Said Aqil Siraj, sebagai salah satu tokoh yang mendukung penggunaan Istilah ini, mendefinisikannya sebagai Islam yang merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya. Tidak malah memberangusnya, “Berbeda dengan model Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang Saudara”, Ujarnya (bbc.com). Begitu pula dengan President Indonesia, Joko Widodo, juga mengusung istilah ini dengan mengatakan “Islam kita (Indonesia) adalah Islam nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi”.
Dua pengistilahan ini, lahir demi membedakan dengan Islam yang identik dengan konflik di daerah Arab, seperti Yaman, Suriah dan Mesir. Sehingga tentunya definisi yang dibentuk hanya untuk memberikan perbedaan atas fenomena keberislaman Indonesia-Timur Tengah adalah definisi yang timpang. Karena cerminan ajaran Islam bukan dilihat dari fenomena keberagamaannya, tetapi sumber ajaran Islam itu sendiri.
Definisi yang timpang tersebut, pada akhirnya berhadapan dengan dua masalah. Pertama, dari segi definisi, banyak tokoh Muslim yang menolak pengistilahan tersebut. sebut saja, Ismail Yusanto menolak pengistilahan tersebut dengan alasan bahwa tidak fair membandingkan Timur Tengah sekarang dengan Indonesia pada tahun 2015. Sebab dalam inti ajarannya, dari dulu hingga sekarang antara Islam di Indonesia dan di Timur Tengah banyak memiliki kesamaan, contohnya adalah kerangka “melawan penguasa diktator”.
Menjernihkan pemahaman terhadap Ulama Nusantara
Masalah kedua adalah istilah Islam Nusantara ini ternyata dibangun atas pemahaman yang kurang tepat atas dakwah ulama Indonesia masa lalu. Bagi para pengusung Islam Nusantara, metode dakwah para ulama dahulu seperti wali songo adalah bukti nyata bagaimana Islam Nusantara diterapkan. Lestarinya slametan, tahlilan, gamelan, wayang, ziarah ala jawa merupakan produk nilai Islam yang dinusantarakan dan menjadi bentuk keberislaman masyarakat Indonesia hingga sekarang. (nu.or.id)
Padahal, jika mau mengkaji lebih dalam lagi maka dapat dibuktikan bahwa menjadikan metode ulama Indonesia seperti walisongo untuk membenarkan konsep Islam Nusantara kuranglah tepat.Lestarinya Slametan, tahlilan, dan gamelan bukanlah usaha menusantrakan nilai Islam, justru upaya keras walisongo mentauhidkan masyarakat yang ketika itu sangat terpengaruh ajaran Hindu-Budha.
Amin Fattah dalam bukunya Metode Dakwah Walisongo menjelaskan bahwa wayang yang dikonsep oleh Walisongo bertujuan untuk mengajarkan ketauhidan kepada masyarakat. seperti tokoh semar yang berasal dari bahasa Arab simar : paku. Kalimat ini melambangkan kebenaran agama Islam merupakan kebenaran yang kokoh. Begitu pula dengan tokoh petruk yang juga berakar dari kata fatruk yang berarti tinggalkan. Kata ini berasal dari nasihat fatruk kullamn siwallahi, yaitu tinggalkan segala apa yang selain Allah.
Dalam berdakwah, Walisongo juga sangat menjaga batas-batas nilai Islam yang bisa ditoleransikan dengan budaya dan yang tidak. Bahkan, dalam beberapa hal, Walisongo pun berbeda pendapat. Seperti pada penggunaan wayang sebagai alat dakwah. Sunan Giri berpendapat bahwa wayang itu hukumnya haram sebab menyerupai bentuk manusia. penolakan ini, kemudian disiasati oleh Sunan Kalijaga dengan mengusulkan wayang diubah bentuknya. Wayang yang tangannya lebih panjang dari kakinya, begitu pula dengan hidungnya adalah upaya agar tidak menyentuh wilayah keharaman tersebut. Upaya ini menunjukkan bahwa para Walisongo tidak menjadikan budaya sebagai tolak ukur atau alat yang bisa mengubah syariat. Mereka pun berijtihad agar metode dakwahnya tidak mengubah hal-hal yang telah ditetapkan secara mutlak di dalam Islam.
Pesantren sebagai model pembelajaran para wali songo pun tidak berakar dari Nusantara melainkan dari metode Rasulullah di Arab sana. Ini bisa dilihat dari gaya hidup orang pesantren mirip dengan orang sufi yang mondok meniru Ashhabus Shuffah pada zaman Rasulullah. Yaitu orang-orang yang tinggal diemperan mesjid Nabawi untuk belajar dan melihat sekaligus meniru dan mencontoh segala yang diamalkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Keterangan ini tentu menunjukkan bahwa justru para wali songolah, ulama yang mempelopori adanya islamisasi budaya nusantara. Sayangnya masyarakat Indonesia justru disuguhi sosok Walisongo yang tidak memiliki aspek pendidikan dan pengetahuan sejarah. “Karamah” Walisongo karena berpegang pada ketahuidan justru diwujudkan dengan “keramat”. Tidak heran jika Walisongo lebih dikenal sebagai pesilat jawa, bukan sebagai tokoh Islamisasi Nusantara. Tidak heran pula upaya mengubah ritual animisme dan dinamisme menjadi tahlilan dan slametan, tidak dimaknai sebagai islamisasi kenusantaraan, malah menjadi alasan untuk membuat bacaan al-Qur’an dengan langgam Jawa.