Rajin memperjuangkan dispensasi biaya pendidikan bagi anak-anak Papua, Muhammad Yudy Kotouky juga rajin berdakwah dari satu pedalaman ke pedalaman lain, kini ia berhasil mendirikan satu pesantren di Nabire, Papua. Sebelumnya anak-anak Papua tinggal di lembaga pendidikan, tetapi kemudian ditelantarkan karena kehabisan dana.
Kotouky yang lahir di Mee, wilayah pegunungan barat Papua, 34 tahun, yang mendapati mereka langsung membawanya ke sebuah pesantren di sekitar kampus Islam di wilayah Jabotabek. Mereka ada yang mualaf, yaitu yatim piatu, dan ada pula yang Muslim sejak lahir tapi minim perekonomiannya.
Menurut Kotouky, anak-anak asal kawasan timur telah datang secara bertahap ke Jakarta sejak 1980-an. Ongkos perjalanan mereka biasanya dikumpulkan secara swadaya, melibatkan instansi maupun swasta di tanah asal (Papua). “tujuan hijrah ke Jakarta hanya dua :
“Sebagian menuntut ilmu, dan sebagian lainnya mencari bantuan untuk pengembangan sarana pendidikan,” ujarnya.
Kotouky adalah salah seorang pendiri Pondok Pesantren Asy Syafi’iyah, Kabupaten Nabire, Propinsi Papua. Di Jakarta ia bertugas mendatangi instansi pemerintah untuk mengajukan proposal pembangunan pesantren tersebut.
Selain itu, ia aktif di Dewan Pembina Masyarakat Muallaf Kabupaten Dogiyai dan Dewan Pendiri Pondok Pesantren Assaptia, Kab. Nabire, serta YPI Muslim Papua.
Aktivitasnya memperoleh apresiasi berupa penghargaan atas keberhasilan organisasi pembinaan anak yatim piatu asal Papua dari Dirjen Bansos Kementerian Sosial.
Walau Kotouky memeluk Islam sejak lahir, tetapi hingga tamat SD di Nabire, pendidikan agama tingkat dasar pun belum sepenuhnya ia dapatkan. Menginjak SMP, ia pun melancong ke pulau Jawa, diberi kesempatan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya (UNIKA) semarang.
Keteguhan iman Kotouky berhembus sekitar 1990-an, saat ia kuliah di Universitas Katholik terkuat ini. Aktivitas keislaman- ia lakukan secara sembunyi-sembunyi disela-sela kegiatan kuliah. Ia sempat bergabung dengan kelompok pengajian luar kampus dan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Suatu saat, pada 1994, ia kedapatan menyimpan Al-Qur’an di asramanya. Tanpa basi-basi. Ia pun langsung diberhentikan dari Universitas tersebut. Ia juga diinterogasi pihak rektorat, terlebih setelah diketahui ia telah aktif di HMI Jawa Tengah.
Sebelum dekrit pemberhentiannya dibacakan, Kotouky sempat berdebat dengan pejabat rektorat dan seorang Romo, “Kenapa Anda menyimpan Al-Qur’an? Dan mengapa anda terlibat aktif dalam HMI?”
Kotouky menjawab seraya balik bertanya, “Mohon maaf Romo, bukankah sejak mendaftar nama saya Muhammad? Jadi apa salah saya?”
“Ya, tapi Anda telah melanggar ketentuan penyandang dana kuliah Anda,” tukas Romo.
“Romo, ketentuan itu kan tidak tertulis, mana saya tahu?” balas Kotouky
Namun Romo itu kukuh dengan pendapatnya untuk memecat Kotouky tanpa menghiraukan argument Kotouky yang kala itu tengah menyusun skripsi. Meski dipecat, Kotouky yang suka bicara blak-blakan itu tak putus harapan. Ia lekas mencari jejak-jejak pengetahuan Islam yang selama ini diburunya. Hingga akhirnya ia dipertemukan dengan Dr. Zamaksyari Dhoifer, guru besar Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo, Jawa tengah.
Di sinilah, Kotouky mulai menemukan kembali nafas dan hidayahnya sebagai Muslim sejati. Hampir setahun lebih ia berguru kepada pengarang buku Tradisi Pesantren itu. Seperti dirasakannya, seakan ia mendapat kembali angin segar pengetahuan agama yang selama inidicarinya.
Cara membaca al-Qur’an sedikit demi sedikit ia perbaiki. Ia juga belajar menghafal beberapa hadits, dan ketinggalan tentunya, belajar berorganisasi.
Islam bukanlah sesuatu yang baru, orang tua Kotouky dan banyak penduduk Nabire sudah memeluk islam sejak lama. Menurut sejarah, islam telah tumbuh disana sejak awal kemerdekaan, dan hingga kini pemeluknya kian berkembang pesat. “jika anda Muhibah kesana saat ini, bukan hal langka akan anda daptkan wanita berkerudung. Bulan ramadhan disana juga seperti daerah lain, ramai dan suasananya sangat religious. Papar kotouky.
Kini, Yudy Kotoukybergabung dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari daerah pemilihan (Dapil) Papua. Hal ini untuk pertama kalinya sepanjang Pemilu di era reformasi PKS memperoleh satu kursi dari Papua.