Dasar Hukum Zakat Fithr
Meski orang banyak menyebut istilah “zakat fitrah”, sebenarnya yang tepat penyebutannya adalah Zakat Fithr, tidak pakai..”ah” di belakangnya. Karena mengacu kepada Fithr, bukan hari Fithrah. Bukankah kita menyebut ‘Idul Fithr dan bukan ‘Idul Fithrah?
Terkadang juga digunakan istilah shadaqah al-fithr. Karena zakat terkadang disebut juga dengan istilah shadaqah di dalam Al-Quran. Dasar pensyariatannya adalah dalil berikut ini
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memfardhukan Zakat Fithr bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa’ kurma atau sya’ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. (HR Jamaah kecuali Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar)
Maka dari dalil di atas, jelas sekali bahwa zakat ini dikaitkan dengan bulan Ramadhan. Zakat Fithr sebenarnya diutamakan untuk diberikan pada malam 1 Syawwal hingga shalat ‘Idul Fithr, sebagaimana hadits berikut ini.
Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan Zakat Fithr sebesar 1 sha’ kurma atau 1 sha’ tepung (syair), atas setiap hamba atau tuan, laki atau perempuan, kecil atau besar yang beragama Islam. Dan memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat. (HR Muttafaq ‘alaihi)
Namun para ulama mengatakan bahwa meski waktu yang utama adalah pagi hari sebelum shalat hari raya, tetapi pelaksanaannyaboleh dimajukan dua tiga hari sebelum itu. Dengan pertimbangan adanya kesibukan dan sedikitnya waktu penyalurannya. Sehingga ditakutkan bila zakat itu malah tidak sampai kepada yang berhak tepat pada waktunya.
Bahkan ada juga para ulama lain yang berijtihad untuk membolehkan pembayaran Zakat Fithr ini dilakukan sejak awal Ramadhan. Karena mengingat hadits di atas tidak membatasi masa awal mula mulai berlakunya pemberian zakat ini. Yang disebutkan di hadits itu hanya masa akhir berlakunya sekaligus merupakan masa yang paling utama (afdhal).
Ukuran dan Bentuk Zakat
Kalau kita bicara ukuran dan bentuk zakat ini, sesungguhnya kembali kepada tujuan dasar disyariatkannya, yaitu untuk mencukupkan kekurangan orang-orang faqir pada hari Raya Fithr. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Cukupkanlah makan mereka untuk hari ini.”
Maka esensi Zakat Fithr adalah bagaimana memastikan tidak ada orang yang kelaparan hari itu karena tidak bisa makan lantaran miskin. Pokoknya upayakan bagaimana agar pada hari itu semua orang miskin bisa makan dan tidak perlu puasa. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan puasa di hari itu.
Kemudian tentang ukuran dan bentuk makanannya, tentu kita kembalikan kepada masing-masing negeri. Kalau melihat hadits nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sudah bisa dipastikan bahwa ukurannya adalah ukuran untuk makan satu hari menurut kebiasaan penduduk Madinah.
Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahu ‘anh, “Kami mengeluarkan Zakat Fithr ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu shaa’ tha’aam (hinthah), atau satu shaa’ kurma, atau satu shaa’ sya’ir, atau satu shaa’ zabib, atau satu shaa’ aqith. Dan aku terus mengeluarkan Zakat Fithr sedemikian itu selama hidupku.” (HR Jamaah – Nailul Authar)
Jelas sekali hadits ini menceritakan bahwa makanan sehari-hari orang Madinah di zaman nabi adalah seperti disebutkan di atas. Akan tetapi masalahnya, apakah ukuran dan jenis makanan yang sama harus diterapkan di negeri di mana masyarakatnya tidak memakan jenis bahan pangan itu?
Apakah orang Papua yang makanan pokoknya sagu harus menerima zakat dalam bentuk kurma? Apakah bangsa Amerika yang makanannya kentang harus makan hinthah? Pertanyaanya, apakah mereka doyan makan makanan yang bukan makanan pokok mereka sehar-hari?
Oleh karena itu, mujtahid mutlak pertama, Al Imam Abu Hanifah jauh-jauh hari sudah memikirkan hal ini. Beliau mencoba mengambil esensi hadits-hadits tentang Zakat Fithr ini dan menuliskan kerangkanya. Initnya menurut beliau, ukurannya adalah ukuran yang cukup agar seseorang tidak lapar di hari itu.
Bahkan dalam mazhab Hanafi, pembayarannya boleh dikonversikan dalam bentuk uang seharga 1 sha‘ itu sesuai dengan jenis makanan di negeri masing-masing.
Lalu para mujtahid di negeri kita berupaya juga untuk mengkonversikan ke bentuk makanan pokok bangsa kita, yaitu beras. Sudah pasti ada perbedaan pendapat ketika mengkonversikannya. Namanya saja konversi.
Maka jangan heran kalau ada yang mengatakan bahwa satu sha’ dzabib, kurma, hinthah, sya’ir atau ‘athiq setara dengan 2, 176 kg. Tetapi ada juga yang membulatkan menjadi 2, 5 kg. Bahkan ada juga yang mengukurnya dengan volume bukan dengan berat, sehingga menjadi 3, 5 liter beras. Sebab menurut mereka, ukuran 1 sha’ itu bukan ukuran berat melainkan ukuran volume.
Tentu saja melebihkan ukurannya menjadi lebih utama dan lebih berpahala. Bahkan ada yang mengatakan seharusnya jenis berasnya disesuaikan dengan jenis beras yang kita makan sehari-hari. Janganlah kita memberi berat untuk zakat dari jenis yang bau apek, berkutu dan full batu, padahal yang kita makan sehari-hari dari jenis yang bermutu.
Tetapi pendeknya, makanan itu cukup untuk membuat seseorang tidak kelaparan dalam sehari itu, yaitu Hari Raya Fithr.
Kapan Zakat Fithr Diberikan?
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan Zakat Fithr sebesar 1 sha’ kurma atau 1 sha’ tepung (syair), atas setiap hamba atau tuan, laki atau perempuan, kecil atau besar yang beragama Islam. Dan memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat. (HR Muttafaq ‘alaihi)
Dengan berdasarkan hadits ini, memang benar sebaiknya Zakat Fithr itu diberikan sebelum shalat Idul Fithr dilaksanakan. Sebab tujuannya adalah agar fakir miskin pada hari raya itu tidak kelaparan. Kalau diberikan jauh sebelum waktunya, mungkin dikhawatirkan kehilangan momentumnya.
Namun para ulama sepakat mengatakan bahwa waktu untuk mengeluarkan Zakat Fithr bukan hanya boleh sebelum shalat Idul Fithri. Waktu itu hanya yang paling afdhal, tetapi tidak melarang bila diberikan pada malam 1 Syawwal hingga shalat Iedul Fitri. Juga boleh dimajukan pembayarannya dua tiga hari sebelum itu. Bahkan ada juga yang membolehkan sejak awal Ramadhan.
Kalau membagikan Zakat Fithr di pagi hari sebelum shalat Idul Fithr dilaksanakan dirasa sulit, karena berbagai pertimbangan dan faktor, boleh saja dilakukan pada malam harinya. Atau boleh dua tiga hari sebelumnya.
Kecuali anda punya team amil zakat yang solid dan bisa bekerja cepat sejak selesai shubuh hingga menjelang jam pelaksanaan shalat Ied. Yang pasti teamnya harus banyak, karena kalau terlambat akan sia-sia.
Atau bisa juga disiasati agar para mustahik zakat mengambil haknya di tempat pelaksanaan shalat dan waktunya sebelum shalat dimulai. Sehingga baik panitia shalat maupun para mustahik zakat sudah berdatangan sejak shubuh untuk pendistribusian.
Akan tetapi cara seperti ini barangkali masih terasa aneh dan kurang populer. Kalau tidak terbiasa, pasti merepotkan. Misalnya, kalau seorang mustahiq menerima beras sebelum shalat dimulai, maka selama shalat dan mendengarkan khutbah, dia harus membawa-bawa beras ke sana ke mari.
Kalau diantar ke rumah masing-masing, bisa jadi mustahik zakatnya tidak ada di rumah, karena sudah pergi untuk shalat Ied.
Maka kalau mau diberikan setelah shubuh dan sebelum shalat Ied, perlu dipikirkan teknis pendistribusiannya yang paling efektif, cepat dan tepat.
Jangan ditanya bagaimana dengan yang terjadi di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab penduduk Madinah di masa itu hanya sedikit. Konon menurut para ahli sejarah, luas kota Madinah di masa itu hanya seluas masjid Nabawi di hari ini. Maka mendistribusikan zakat ke sebuah wilayah yang hanya seluas masjid Nabawi, pasti tidak terlalu sulit.
Sedangkan di masa sekarang ini, terkadang coverage area distribusi zakat bisa sangat luas dan kompleks, sehingga membutuhkan trik khusus agar bisa tepat sampai sasaran pada waktunya.
Wallahu a’lam bish shawab.