Bagian ini memasuki pembahasan zakat pencarian atau profesi. Topik ini merupakan salah satu topik yang sangat penting bagi kita yang memiliki suatu pekerjaan atau profesi tertentu.
Topik ini sebenarnya bukan sudah hal yang baru di kalangan ahli fiqih zakat. Tapi apa yang diungkapkan oleh Yusuf Al Qardhawi mengenai topik ini adalah ijtihad beliau dalam rangka menentukan hukum yang jelas mengenai kedudukan harta Penghasilan atau Profesi, yaitu melalui studi perbandingan dan penelitian yang sangat dalam terhadap pendapat-pendapat yang ada mengenai masalah ini sejak zaman sahabat hingga zaman sekarang. Dengan demikian ijtihad beliau adalah ijtihad yang mempunyai dasar pijakan yang kuat.
Untuk menghilangkan keragu-raguan kita selama ini terhadap harta yang kita peroleh melalu profesi kita :
Apakah itu terkait dengan kewajiban zakat? Bila ya, berapa besarnya? Berapa nishabnya? Bagaimana cara pembayarannya? Maka sepatutnya kita dapat mengikuti apa yang dikemukakan beliau dalam bab ini. Oleh karena itu topik ini akan disampaikan secara lebih detil.
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok dewasa ini adalah apa yang diperoleh dari pencarian atau profesi, baik suatu pencarian yang tergantung oleh orang lain seperti pegawai (negeri atau swasta), atau pencarian tidak tergantung kepada pihak lain (professional), seperti halnya dokter, advokat, penjahit, seniman, dan lain-lain.
Jenis pekerjaan ini mendatangkan penghasilan baik berupa gaji, upah ataupun honorarium.
Perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal mewajibkan zakat terhadap harta Penghasilan atau Profesi ini sudah berlangsung sejak lama. Adapun beberapa ulama modern saat ini telah beranggapan bahwa upaya menemukan hukum pasti zakat harta jenis ini adalah sangat mendesak, dikarenakan inilah jenis penghasilan yang paling banyak dijumpai saat ini. Bila tidak ini berarti kita telah melepaskan kebanyakan orang dari kewajiban zakat yang telah dinyatakan jelas kewajibannya secara umum dalam Al Quran dan Sunnah (“Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian usaha kalian“, 2:267).
Pandangan Fikih tentang Penghasilan atau Profesi
Zakat harta Penghasilan atau Profesi memang tidak ditemukan contohnya dalam hadits, namun dengan menggunakan kaidah ushul fikih dapatlah harta Penghasilan atau Profesi digolongkan kepada “harta penghasilan”, yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Harta penghasilan itu sendiri dapat dibedakan menjadi :
(1) Penghasilan yang berkembang dari kekayaan lain, misalnya uang hasil menjual poduksi pertanian yang sudah dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% yang tentunya uang hasil penjualan tersebut tidak perlu dizakatkan pada tahun yang sama karena kekayaan asalnya (produksi pertanian tersebut) sudah dizakatkan. Ini untuk mencegah terjadinya apa yang disebut double zakat.
(2) Penghasilan yang berasal karena penyebab bebas, seperti gaji, upah, honor, investasi modal dan lain-lain (Insya Allah, pembahasan kita akan berkisar pada jenis harta penghasilan yang kedua ini). Karena harta yang diterima ini belum pernah sekalipun dizakatkan, dan mugnkin tidak akan pernah sama sekali bila harus menunggu setahun dulu.
Perbedaan yang menyolok dalam pandangan fikih tentang harta penghasilan ini, terutama berkaitan dengan adanya konsep “berlaku setahun” yang dianggap sebagai salah satu syarat dari harta yang wajib zakat (lihat pula posting sebelumnya mengenai syarat harta yang wajib zakat).
Sebagian pendapat mengungkapkan syarat ini berlaku untuk semua jenis harta, tapi sebagian lainnya mengungkapkan syarat ini tidak berlaku untuk seluruh jenis harta, terutama tidak berlaku untuk jenis harta penghasilan. selama diberlakukan juga ketentuan berlaku setahun itu untuk jenis harta penghasilan, maka akan sulit untuk melaksanakan kewajiban zakat untuk harta penghasilan ini.
Kelompok terakhir ini berpendapat, bahwa zakat penghasilan ini wajib dikeluarkan zakatnya langsung ketika diterima tanpa menunggu waktu satu tahun. Diantara kelompok terakhir ini adalah: Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Muawiyyah, dan lain-lain, juga Umar bin Abdul Aziz.
Pendapat mana yang lebih kuat tentang kedudukan zakat Penghasilan atau Profesi ini? Oleh karenanya Yusuf Al Qardhawi menelaah kembali hadits-hadits tentang ketentuan setahun ini dimana dijumpai ketentuan tersebut ditetapkan berdasar empat hadits dari empat shahabat, yaitu: Ali, Ibnu Umar, Anas dan Aisyah Radhiyallahu ‘Anh. Diantaranya berbunyi sebagai berikut:
Hadits dari Ali Radhiyallahu ‘Anh. dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Bila engkau mempunyai 200 dirham dan sudah mencapai waktu setahun, maka zakatnya adalah 5 dirham,……”[1]
Hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh, Rasulullah pernah bersabda: “Tidak ada zakat pada suatu harta sampai lewat setahun.”[2]
Tetapi ternyata hadits-hadits itu mempunyai kelemahan-kelemahan dalam sanadnya sehingga tidak bisa untuk dijadikan landasan hukum yang kuat (hadits shahih), apalagi untuk dikenakan pada jenis “harta penghasilan” karena akan bentrok dengan apa yang pernah dilakukan oleh beberapa shahabat. Adanya perbedaan pendapat di kalangan para shahabat tentang persyaratan setahun untuk zakat penghasilan juga mendukung ketidak shahihan hadits-hadits tersebut.
Bila benar hadits-hadits tersebut berasal dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, maka tentulah pengertian yang dapat diterima adalah: “Harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya tidak wajib lagi zakat sampai setahun berikutnya”, maksudnya dibayarkannya zakat adalah tahunan, setahun sekali.
Beberapa riwayat sahabat seperti Ibnu Mas’ud, menceritakan bagaimana harta penghasilan langsung dikeluarkan zakatnya ketika diterima tanpa menunggu setahun. Sehingga menjadi semakin jelas bahwa masa setahun tidak merupakan syarat, tetapi hanya merupakan tempo antara dua pengeluaran zakat.
Setelah mengadakan studi perbandingan dan penelitian yang mendalam terhadap nash-nash yang berhubungan dengan status zakat untuk bermacam-macam jenis kekayaan, juga dengan memperhatikan hikmah dan maksud Pembuat Syariat yang telah mewajibkan zakat, dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan ummat Islam pada masa sekarang ini, maka Yusuf Al Qardhawi berpendapat bahwa harta hasil usaha seperti: gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat, penjahit, seniman, dan lain-lainnya wajib terkena zakat dan dikeluarkan zakatnya pada waktu diterima.
Sebagai penjelasan dari pendapat beliau terhadap masalah yang sensitif ini, Yusuf Al Qardhawi mengemukakan beberapa butir alasan yang dikuatkan dengan dalil.
Pembahasan ini adalah kelanjutan dari pembahasan zakat Penghasilan atau Profesi. Point-point di bawah ini adalah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Yusuf Al Qardhawi untuk menguatkan pendapat beliau bahwa harta Penghasilan atau Profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima.
- Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai tingkat shahih atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum syara’ yang berlaku umum bagi ummat.
- Para sahabat dan tabi’in memang berbeda pendapat dalam harta penghasilan; sebagian mempersyaratkan adanya masa setahun, sedangkan sebagian lain tidak mempersyaratkannya yang berarti wajib dikeluarkan zakatnya pada saat harta penghasilan tersebut diterima seorang Muslim. Oleh karenanya persoalan tersebut dikembalikan kepada nash-nash yang lain dan kaedah-kaedah yang lebih umum.
- Ketiadaan nash ataupun ijmak dalam penentuan hukum zakat harta penghasilan membuat mazhab-mazhab berselisih pendapat tajam sekali, yang bila dijajagi lebih jauh justru menimbulkan berpuluh-puluh persoalan baru yang semakin merumitkan, yang seringkali hanya berdasarkan dugaan-dugaan dan tidak lagi didasarkan pada nash yang jelas dan kuat. Semuanya membuat Yusuf Al Qardhawi menilai bahwa adalah tidak mungkin syariat yang sederhana yang berbicara untuk seluruh ummat manusia membawa persoalanpersoalan kecil yang sulit dilaksanakan sebagai kewajiban bagi seluruh ummat.
- Mereka yang tidak mempersyaratkan satu tahun bagi syarat harta penghasilan wajib zakat lebih dekat kepada nash yang berlaku umum dan tegas. karena nash-nash yang mewajibkan zakat baik dari quran maupun sunnah datang secara umum dan tegas dan tidak terdapat di dalamnya persyaratan setahun. Misalnya : “Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian usaha kalian” (2:267). Kata “ma kasabtum” merupakan kata umum yang artinya mencakup segala macam usaha: perdagangan atau pekerjaan dan profesi. Para ulama fikih berpegang pada keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu memakainya sebagai landasan zakat pencarian dan profesi. Bila para ulama fikih talah menetapkan setahun sebagai syarat wajib zakat perdagangan, karena antara pokok harta dengan laba yang dihasilkan tidak dipisahkan, sementara laba dihasilkan dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Lain halnya dengan gaji atau sebangsanya yang diperoleh secara utuh, tertentu dan pasti.
- Disamping nash yang berlaku umum dan mutlak memberikan landasan kepada pendapat mereka yang tidak menjadikan satu tahun sebagai syarat harta penghasilan untuk wajib zakat, Qias yang benar juga mendukungnya. Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang Muslim diqiaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen.
- Pemberlakuan syarat satu tahun bagi zakat harta penghasilan berarti membebaskan sekian banyak pegawai dan pekerja profesi dari kewajiban membayar zakat atas pendapatan mereka yang besar, karena mereka itu akan menjadi dua golongan saja: yang menginvestasikan pendapatan mereka terlebih dahulu, dan yang berfoya-foya dan menghamburkan semua penghasilannya sehingga tidak mencapai masa wajib zakatnya. Itu berarti zakat hanya dibebankan pada orang-orang yang hemat saja, yang membelanjakan kekayaan seperlunya, yang mempunyai simpanan sehingga mencapai masa zakatnya. Hal ini jauh sekali dari maksud kedatangan syariat yang adil dan bijak, dimana hal ini justru memperingan beban orang-orang pemboros dan memperberat orang-orang yang hidup sederhana.
- Pendapat yang menetapkan setahun sebagai syarat harta penghasilan jelas terlihat saling kontradiksi yang tidak bisa diterima oleh keadilan dan hikmat islam mewajibkan zakat. Misalnya seorang petani menanam tanaman pada tanah sewaan, hasilnya dikenakan zakat sebanyak 10% atau 5%, sedangkan pemilik tanah yang dalam satu jam kadang-kadang memperoleh beratus-ratus dinar berupa uang sewa tanah tersebut tidak dikenakan zakat berdasarkan fatwa-fatwa dalama mazhab-mazhab yang ada, dikarenakan adanya persyaratan setahun bagi penghasilan tersebut sedangkan jumlah itu jarang bisa terjadi di akhir tahun. Begitu pula halnya dengan seorang dokter, insinyur, advokat, pemilik mobil angkutan, pemilik hotel, dan lain-lain. Sebab pertentangan itu adalah sikap yang terlalu mengagungkan pendapatpendapat fikih yang tidak terjamin dan tidak terkontrol berupa hasil ijtihad para ulama. Kita tidak yakin bila mereka hidup pada zaman sekarang dan menyaksikan `apa yang kita saksikan, apakah mereka akan meralat ijtihad mereka dalam banyak masalah.
- Pengeluaran zakat penghasilan setelah diterima akan lebih menguntungkan fakir miskin dan orang-orang yang berhak lainnya. Ini akan menambah besar perbendaharaan zakat dan juga memudahkan pemiliknya dalam mengeluarkan zakatnya. Cara yang dinamakan oleh para ahli perpajakan dengan “Penahanan pada Sumber” sudah dipraktekan oleh Ibn Mas’ud, Mu’awiyah dan juga Umar bin Abdul Aziz yaitu dengan memotong gaji para tentara dan orang-orang yang di bawah kekuasaan negara saat itu.
- Menegaskan bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam jiwa seorang Muslim. Pembebasan jenis-jenis penghasilan yang berkembang sekarang ini dari zakat dengan menunggu masa setahunnya, berarti membuat orang-orang hanya bekerja, berbelanja dan bersenang-senang, tanpa harus mengeluarkan rezeki pemberian Tuhan dan tidak merasa kasihan kepada orang yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan kemampuan berusaha.
- Tanpa persyaratan setahun bagi harta penghasilan akan lebih menguntungkan dari segi administrasi baik bagi orang yang mengeluarkan maupun pihak amil yang memungut zakat. Persyaratan satu tahun bagi zakat penghasilan, menyebabkan setiap orang harus menentukan jatuh tempo pengeluaran setiap jumlah kekayaannya yang diterimanya. Ini berarti bahwa seseorang Muslim bisa mempunyai berpuluh-puluh masa tempo masing-masing kekayaan yang diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali dilakukan, dan sulit pula bagi pemerintah memungut dan mengatur zakat yang yang dengan demikian zakat tidak bisa terpungut dan sulit dilaksanakan.
Demikian alasan yang dikemukakan beliau.
Bila ada yang setuju dengan pendapat Yusuf Al Qardhawi ini, maka silahkan mulai mengeluarkan zakat saat ini juga, baik dari stipend yang diperoleh, honor, dan lain-lain. Mari ber Fastabikhul Khairat dalam berzakat. Pembahasan berikut ini adalah bagian akhir dari kaji kita mengenai zakat Penghasilan atau Profesi, yaitu membahas ukuran nishab dan besarnya zakat serta cara pembayaran yang mungkin dilakukan oleh kita para professional.
Penghasilan dari profesi itu sendiri tidaklah selalu mudah diperoleh seperti halnya para dokter, banyak pula diantaranya yang diperoleh dengan susah payah, misalnya penjahit, supir, dan lain-lain, sehingga perlu diketahui pula nishab dan besar zakatnya.
Nishab dan Besarnya Zakat Penghasilan Atau Profesi
Seteleh menetapkan harta penghasilan dari Penghasilan atau Profesi adalah wajib zakat, Yusuf Al Qardhawi menjelaskan pula berapa besar nishab buat jenis harta ini, yaitu 85 gram emas seperti hal besarnya nishab uang (yang telah kita kaji sebelumnya). Demikian pula dengan besarnya zakat adalah seperempatpuluh (2.5%) sesuai dengan keumumman nash yang mewajibkan zakat uang sebesar itu.
Maka tinggal satu persoalan lagi.
Orang-orang yang memiliki profesi itu menerima pendapatan mereka tidak teratur, bisa setiap hari seperti dokter, atau pada saat-saat tertentu seperti seorang advokat, kontraktor dan penjahit, atau secara regular mingguan atau bulanan seperti kebanyakan para pegawai (seperti yang anggota korpri).
Bila nishab di atas ditetapkan untuk setiap kali upah, gaji yang diterima, berarti kita akan membebaskan kebanyakan golongan profesi yang menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali cukup nishab dari kewajiban zakat. Sedangkan bila seluruh gaji itu dalam satu waktu tertentu itu dikumpulkan akan cukup senishab bahkan akan mencapai beberapa nishab.
Adapun waktu penyatuan dari penghasilan itu yang dimungkinkan dan dibenarkan oleh syariat itu adalah satu tahun. Dimana zakat dibayarkan setahun sekali. Fakta juga menunjukkan bahwa pemerintah mengatur gaji pegawainya berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan per bulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak.
Jangan lupa bahwa yang diukur nishabnya adalah penghasilan bersih, yaitu penghasilan yang telah dikurangi dengan kebutuhan biaya hidup terendah atau kebutuhan pokok seseorang berikut tanggungannya (lihat posting syarat harta yang wajib zakat), dan juga setelah dikurangi untuk pembayaran hutang (ini hutang bukan karena kredit barang mewah, tapi karena untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer seperti halnya bayar kredit rumah BTN, hutang nunggak bayaran sekolah anak, dan lain-lain).
Bila penghasilan bersih itu dikumpulkan dalam setahun atau kurang dalam setahun dan telah mencapai nishab, maka wajib zakat dikeluarkan 2.5% nya. Bila seseorang telah mengeluarkan zakatnya langsung ketika menerima penghasilan tersebut (karena yakin dalam waktu setahun penghasilan bersihnya akan lebih dari senishab), maka tidak wajib lagi bagi dia mengeluarkannya di akhir tahun (karena akan berakibat double zakat). Selanjutnya orang tersebut harus membayar zakat dari penghasilan tersebut pada tahun kedua dalam bentuk kekayaan yang berbeda-beda.
- Bila kelebihan itu disimpan dalam bentuk uang, emas dan perak, maka kaji kita akan kembali pada pembahasan mengenai zakat uang, emas dan perak.
- Bila kelebihan itu diinvestasikan (pabrik, gedung, rumah yang disewakan, kendaraan yang disewakan, dan lain-lain), kita perlu membahas zakat investasi.
- Bila harta tersebut selanjutnya diputar dalam perdagangan maka zakatnya dibahas dalam zakat perdagangan.
- Bila dibelikan saham atau obligasi, maka zakatnya dibahas dalam zakat saham dan obligasi.
- Bila dibelanjakan untuk sesuatu yang dipergunakan sehari-hari atau yang tidak mempunyai potensi berkembang, maka tidak ada kewajiban zakat lagi pada tempo yang kedua ini.
Demikian saja yang bisa saya sarikan mengenai Zakat Penghasilan atau Profesi. Berikut ini cara simple untuk kalkulasi yang bisa digunakan oleh Ikhwan sekalian.
Penerimaan kotor selama setahun: A
Kebutuhan pokok setahun: B
Hutang-hutang yang dibayar dalam setahun: C
Penghasilan bersih setahun: A-(B+C) = D
Bila D > atau = dengan nilai 85 gram mas, maka wajib zakat yaitu 2.5% X D.
Bila D < nilai 85 gram emas, maka tidak wajib zakat.
Jadi bila kita yakin bahwa perkiraan besarnya D yang kita miliki dalam setahun adalah lebih besar dari 85 gram emas, maka kita tidak perlu lagi ragu-ragu mengeluarkan zakat langsung ketika diterima. Misalnya dari gaji bulanan diambil 2.5 % dari D/12 (karena perbulan).
Bila disamping gaji bulanan kita memperoleh tambahan penghasilan lain dari profesi kita, misalnya bagi dosen universitas negeri yang juga mengajar di universitas swasta. Misalkan memperoleh sebesar E dalam setahun, maka zakatnya adalah 2.5 % x (D+E), karena seluruh kebutuhan B dan C sudah tercover sebelumnya yang menghasilkan D.
Perlu diingat bahwa ini hanya zakat kita dari penghasilan Penghasilan atau Profesi. Bentuk-bentuk kekayaan lain yang kita miliki seperti; peternakan, pertanian, investasi, emas dan perak, uang tabungan, saham, obligasi, perdagangan dan lain-lain, juga harus dikeluarkan zakatnya dengan ukuran nishab dan besar zakat yang berbeda satu dengan lainnya.
[1] Diriwayatkan oleh Sulaiman bin Daud Al Mahri dari Ibnu Wahab, dari Jarir bin Hazim, yang lain mengatakan Abu Ishaq, dari Ashim bin Dzamra dan Haris ‘A’war dari Ali dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, oleh Abu Dawud.
Menurut Ibnu Hazm dalam Al Muhalla dan Nashb Ar Rayah statusnya adalah hadits mauquf dari Ali. Karena Haris adalah pembohong yang menyangkutkannya kepada Nabi, sedangkan Ashim tidak menyangkutkannya.
Ibnu Hajar berkata, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Turmudzi dari Abu Awanah dari Abu Ishaq dari Ashim dari Ali sebagai hadits marfu’.” Yusuf Al Qardhawi mengatakan bahwa hadits Ashim tidak menyebut-nyebut masalah setahun, sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Tentang Ashim, Mundziri dalam Mukhtashar As Sunan mengatakan bahwa Haris dan Ashim tidak bisa dipercaya, tetapi Adz Dzahabi dalam Mizan Al I’tidal mengatakan bahwa terdapat empta orang yang memperoleh hadits darinya dan dikuatkan oleh Ibnu Mu’ayyan dan Ibnu Madini. Ahmad berkata bahwa ia lebih baik dari Haris ‘A’war dan dapat dipercaya. Nasa’i juga berpendapat demikian. Tetapi Ibnu Adi mengatakan bahwa ia meriwayatkan hadits tersebut sendiri saja dari Ali. Menurut Ibnu Hibban, Ashim memiliki daya hafal yang jelek, banyak salah, dan selalu menghubungkan ucapannya itu kepada Ali yang oleh karena itu lebih baik tidak diperharikan, namun ia lebih baik dari Haris. Ucapan ini mendukung pendapat Al Mundziri bahwa hadits ini tidak dapat dijadikan landasan hukum.
[2] Diriwayatkan Ibnu Majah, Daruquthni, Baihaqi, serta Uqaili dalam Adh Dhu’afa, bahwa di dalamnya terdapat Haritsah bin Abur Rijal yang dha’if. Menurut Ibnul Qayyim hadits ini shahih, namun dibantah oleh Yusuf Al Qardhawi. Adz Dzahabi mengatakan bahwa Ahmad dan Ibnu Mu’ayyan menganggap hadits tersebut lemah, Nasa’i berpendapat bahwa hadits tersebut matruk, sedangkan Bukhari menganggap hadits tersebut tidak benar.