Hijrah Simbolik

Hari masih pagi, baru pukul 08.45 ketika listrik tiba-tiba padam tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu dari pihak PLN. Pet! Gelap seketika dan semua data di komputer yang belum sempat disimpan terpaksa nanti harus dikerjakan ulang. Perusahan tempatku bekerja memang belum memiliki genset yang mampu mensuply listrik untuk seluruh mesin dan kantor. Hanya bebarapa kantor yang bisa diusahakan tetap menyala, namun itupun harus menunggu sekitar 15 menit untuk persiapan pemindahan dari power PLN ke genset sampai semua komputer bisa dipergunakan kembali. Waktu jeda sekitar 15 menit seperti inilah yang kemudian dipakai oleh kami untuk beristirahat sejenak dari rutinitas pekerjaan. Begitupun pagi itu, meski kami baru saja memulai pekerjaan, namun karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan tanpa adanya aliran listrik, maka saya dan teman-teman sekantor berkumpul dimeja besar di tengah ruangan yang semula direncanakan untuk meja meeting namun sampai sekarang belum pernah sekalipun digunakan.

Awalnya kami membicarakan seputar rencana tour tahunan yang sudah mendapat persetujuan dari pihak managemen namun justru panitia belum memastikan tanggal keberangkatannya. Tujuan tour pun beberapa kali mengalami pergantian mengingat saat ini sudah memasuki musim hujan.

“Kenapa tidak kita ambil tanggal 18 saja, kan tanggal merah tuh. Sudah gitu kan pas hari Jum’at, jadi kita masih punya waktu cukup untuk istirahat hari Sabtu dan Minggu“, usul salah satu teman yang duduk disamping kananku.

“Sebaiknya jangan, nanti bagaimana sholat Jum’atnya? Masa gara-gara tour, kita semua harus meninggalkan sholat Jum’at?” jawabku tak setuju. Saya maklum dengan usulannya karena teman saya yang satu ini memang non muslim, jadi pertimbangannya tidak sampai ke sana.

“Iya, jangan berani-berani bepergian tanggal 18 soalnya itu kan tanggal 1 Suro! Apalagi Jum’atnya kan Jum’at kliwon. Hih..”. Seorang teman yang duduk di ujung ikut memberikan komentarnya. Raut mukanya terlihat aneh, dia ketakutan seperti melihat setan.

“Memangnya kenapa?” tanyaku pura-pura tidak tahu dengan kekhawatiran yang temanku maksudkan.

Maka pembicaraan kami pagi itupun beralih dari rencana tour menjadi seputar ‘seramnya’ malam satu Suro yang tahun ini bertepatan dengan malam Jum’at Kliwon. Dugaanku terhadap apa yang dikatakan temanku tadi ternyata benar. Dengan penuh semagat dia menceritakan segala hal ‘mengerikan’ seputar tanggal 1 Suro dan malam Jum’at Kliwon. Semua ceritanya tak jauh dari kesan angker dan mistis, terkesan berlebihan dan dibesar-besarkan.

Memang, harus diakui bahwa di masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam khususnya di beberapa daerah yang saya tahu, masih menganggap tahun baru Hijriyah sebagai hari yang justru menyeramkan. Bukan peralihan tahun hijriyahnya yang dikenal masyarakat, tapi kesan mistis bagi sebagian orang yang menganggap ‘keramat’ tanggal 1 Suro atau 1 Muharam ini. Entahlah, tapi memang begitu adanya. Meski mengaku Islam, meski rajin sholat, meski menjalankan puasa Ramadhan dan ibadah lainnya namun mereka juga masih mengerjakan ritual-ritual yang tak ada kaitannya dengan agama, malah cenderung menyimpang dari kemurnian ajaran agama. Meneruskan budaya warisan nenek moyanglah yang paling sering dijadikan alasan.

Tak usah jauh-jauh mengambil contoh, saya jadi teringat ketika masih tinggal di kampung. Menjelang datangnya tahun baru Hijriyah, banyak orang yang datang ke rumah salah satu tetangga saya untuk ‘memandikan’ keris pusakanya. Dulu saya sering melihat puluhan keris tertata rapi di atas meja rumah tetangga yang masih kerabat itu. Setelah ‘tukang memandikan pusaka’ ini meninggal, ternyata kebiasaan masyarakat tidak juga hilang. Ada orang lain yang menggantikan profesi serupa. Begitulah, sampai saat ini kebiasaan orang-orang itu masih berjalan setiap tahunnya, padahal mereka yang melakukan itu kutahu beragama Islam juga.

Ada lagi ‘ritual nyeleneh’ yang saya dengar dari orang-orang di kampung. Beberapa orang sengaja berjalan keliling kampung pada malam tahun baru atau malam satu Suro. Malah katanya ada yang berkeliling kampung sampai tujuh kali. Konon kalau yang beruntung akan menemukan semacam jimat atau pusaka. Bahkan ada yang lebih tak masuk akal, katanya ada yang melakukan ritual ini dengan (maaf ) bertelanjang, tentunya dengan disertai seorang kerabatnya untuk mengantisipasi jika ada orang yang bertemu dengan mereka. Entahlah, saya sendiri belum pernah melihat, namun saya sering mendengar cerita ini, dan sepertinya sudah menjadi rahasia umum warga kampung.

Di beberapa rumah, setiap malam pergantian tahun hijriyah atau setiap malam Jum’at Kliwon masih saja ditemui semacam sesajen. Kelapa muda, kembang, menyan dan rendaman daun yang biasa kami sebut daun tawa diletakkan di teras-teras rumah. Tak hanya di pelosok kampung, tapi saya juga pernah melihat di salah satu rumah warga di komplek perumahan. Padahal, sang pemilik rumah seorang sarjana dan memiliki jabatan cukup penting di pemerintahan.

Cerita dari beberapa teman saya pagi itu akhirnya melengkapi cerita tentang berbagai ritual aneh menyambut datangnya satu Suro maupun malam Jum’at kliwon. Astaghfirullah!

Tahun baru Hijriyah, setahu saya tidak ada contoh dari nabi Muhammad untuk melakukan bentuk amalan atau ibadah khusus terkait dengannya. Barangkali kalau menjadikannya sebagai momentum untuk interospeksi diri, membuat semacam pengadilan untuk diri sendiri justru lebih banyak manfaatnya.

Dengan datangnya tahun baru Hijriyah, semestinya kita melakukan rekonsiliasi terhadap diri kita masing-masing. Bagaimanakah perbandingan antara amal kebaikan dan keburukan. Tak ada salahnya jika moment pergantian tahun Hijriyah kita gunakan untuk mengevaluasi ibadah kita. Sudahkah kita bisa menjalankan sholat dengan khusyuk. Sudahkah zakat dan sedekah kita bayarkan dengan penuh keikhlasan. Alangkah lebih baiknya jika kita gunakan pergantian tahun ini untuk merenungi perjalanan hidup kita selama setahun ini. Alangkah lebih manfaatnya jika kita gunakan pergantian tahun ini untuk kembali menyusun rencana kebaikan yang belum bisa direalisasikan di tahun kemarin. Target-target pendekatan diri kepada Allah mana saja yang ingin kita raih di tahun mendatang.

Tak salah jika pergantian tahun kita jadikan moment untuk berdoa, meminta kepada Allah SWT segala kebaikan dunia dan akhirat. Sebagaimana tak salah jika di malam pergantian tahun kita menangis, menyesali seluruh perbuatan dosa dan maksiat kita selama tahun-tahun yang sudah kita lewati. Yang jelas, banyak hal yang bernilai ibadah yang bisa kita lakukan dalam rangka menyambut datangnya tahun baru Hijriyah ketimbang kembali terjebak pada ritual-ritual leluhur yang tidak bisa dipertanggungjawabkan di mata agama.

Jangan sampai hanya sekedar hijrah simbolik, tahun sudah hijriyah tapi tingkah laku dan perbuatan masih saja jahiliyah.

-Catatan Muharam 1431 H –

 

Oleh: Abi Sabila, Tangerang

Blog