Meng-install Komitmen Dakwah Kita

Mari kita lihat dan dengar apa yang terjadi hari-hari belakangan ini. Seluruh penjuru kota dan desa di banyak negara sedang dilanda kekisruhan. Di negeri kita sendiri, Indonesia tercinta,  sedang lelah memikirkan penduduknya yang kian hari kian membandel. Manusia semakin hari semakin terbawa arus syaithan: duduk di pemerintahan kemudian korup, duduk di lembaga peradilan lalu menerima suap, bahkan dipercaya menyelenggarakan ujian nasional pun malah melegalkan contek massal. Kejujuran dilawan dengan kelicikan, kebenaran dirongrong oleh kesalahan, dan keadilan dikuya-kuya oleh kezhaliman.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

“Dan hendaklah ada diantara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang – orang yang beruntung” (Ali Imran [3] : 104)

Melalui ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala menyampaikan bahwa setiap muslim mempunyai kewajiban melakukan da’wah sesuai dengan kemampuan dan bidang keahliannya, apapun profesi, posisi dan jabatannya dan di manapun ia berada. Pada akhir ayat tersebut, Allah berfirman “merekalah orang-orang yang beruntung”, untuk semakin mempertegas bahwa da’wah itu wajib hukumnya bagi kita.

Oleh karena da’wah diwajibkan kepada seluruh manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda dan di manapun kita berada, maka cakupan da’wah tidak terbatas hanya dalam bentuk ceramah saja sebagaimana masyarakat umum memahaminya. Da’wah harus menyentuh semua sektor kehidupan yang nyata. Da’wah secara lisan, da’wah dengan tulisan, dan da’wah dengan amal perbuatan dengan contoh-contoh yang kongkrit adalah lahan garapan kita.

Sekarang, yang kita perlukan adalah kembali menguatkan komitmen da’wah kita (re-installing), agar da’wah tidak menghambar dan sering ‘hang’ digerogoti virus-virus.

Pertama, pahami bahwa da’wah itu fardhu, yang mengakibatkan konsekuensi dosa bagi orang yang tidak melakukannya. Perdebatan mengenai jenis fardhu ini,  fardhu ‘ain ataukah fardhu kifayah sudah selesai,  dengan kesimpulan bahwa siapaun kita harus turut serta menjalankannya. Kenyataannya adalah hingga kini ummat yang kita hadapi masih memerlukan sentuhan da’wah, sementara wahyu Allah yang memerintahkan untuk berda’wah telah sampai kepada kita.

Kedua, bersihkan memori kita dari pikiran yang kotor,  nafsu kebebasan, dan paham yang menyesatkan. Ketika Anda menginstal computer, semua virus dan file aktif yang mencurigakan harus dibersihkan dulu, kalau tidak ingin instalasi Anda gagal karena software Anda kalah oleh virus itu. Orang menjadi enggan berda’wah ketika masih beranggapan bahwa semua agama itu sama benarnya, lalu terjerumus dalam prinsip kebhinekaan dan pluralisme yang salah kaprah.

Ketiga, tanamkan niat dan tujuan yang benar, ikhlas semata mengharap ridha Allah. Niat akan memengaruhi perolehan kita. Ketika kita berda’wah dengan niat karena Allah, niscaya Allah memberi bimbingan sesuai yang dikehendaki-Nya, dan tiadalah Allah berkehendak kecuali yang terbaik. Da’wah dengan niat mencari popularitas, merintis dukungan politik, mencari keuntungan finansial, dan sebgaianya akan menghasilkan apa yang ia niatkan. Tetapi tujuan utama da’wah, yaitu memperbaiki masyarakat, tidak akan terwujud, dan Allah akan memberi peringatan dengan cara-Nya kepada para da’i yang tidak lurus itu.

Keempat, katakan dengan ksatria : “Ini tugas saya”. Keberanian ini mendorong kita untuk mengambil tanggungjawab, mengemban amanah karena merasa terpanggil oleh seruan-seruan Allah. Komitmen da’wah sering lemah disebabkan oleh sebagian dari kita menganggap amanah da’wah adalah “tugas mereka”,  yaitu tugas para da’i dan mubaligh yang sering tampil di TV, radio, masjid-masjid, atau pengurus organisasi keislaman.

Kelima, yakini bahwa amanah ini “HARUS”. Apapun juga, selama kita tidak menganggapnya “HARUS”, kita tidak akan tergerak untuk gigih memperjuangkannya. Selain karena alasan fardhu, keharusan berda’wah dilandasi oleh kenyataan bahwa kondisi umat sudah demikian terancam. Keyakinan ini logikanya seperti saat kita sedang berjalan jauh, lalu kelelahan dan duduk di emperan toko. Ketika pemilik toko menyuruh kita pergi, kita masih punya alasan ‘lelah’ untuk tidak melangkah dan tidak merasa harus. Tetapi ketika tiba-tiba anjing menyalak dan menyerang (kita merasa terancam),  kita baru benar-benar berlari dan ternyata masih kuat. Kita kuat melakukan sesuatu karena meyakini sesuatu itu HARUS kita lakukan.

Keenam, tidak pernah merasa gagal. Apapaun yang terjadi adalah proses, dan kalaupun usaha kita berhasil, kita bukanlah penikmatnya. Allah dan rasul-Nya menilai apa yang kita perbuat dan niat kita, bukan keberhasilan simbolik yang menjerumuskan manusia pada riya dan ujub. Namun demikian, tidak merasa gagal bukan berarti selalu merasa berhasil. Satu kesuksesan dalam da’wah hanyalah hasil kecil yang akan terus disusul dengan amanah berikutnya.

Ketujuh, senantiasa menjaga dan memelihara ketika komitmen itu sudah tertanam. Penjagaan dapat kita lakukan dengan memperbanyak interaksi dengan Al Qur’an, meningkatkan amal sunnah, memohon kemantapan hati, dan  berinteraksi dalam jamaah para da’i yang bersemangat dan optimis. Semangat dan optimisme itu dapat menular, demikian juga dengan kemalasan dan keputusasaan.

Kita hendaknya menjauhkan perasaan ‘sendiri’ dalam berda’wah, dengan cara bersinergi dan membangtun kekuatan kolektif.  Misalnya untuk mendirikan TPA di masjid, kita dapat mengajak teman terdekat kita untuk sama-sama merintis. Atau ketika hendak menyelenggarakan aktivitas kerelawanan, kita dapat mengajak kerjasama organisasi relawan yang kita kethui komit terhadap islam.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (Ash-Shaff [61]:4)