Politik Kampus, Mendingan Golput Aja Deh

“Gue ngliat sama aja semua, poster gambarnya itu-itu aja. Bosen gue ngliatnya. Kalo di sosmed yang keluar bahasa melangit, gak paham gue ngomong apa mereka. Bahasanya ketinggian, g nyampe gue. Bingung juga ada temen yang tiba-tiba sms trus bilang suruh pilih calon dengan nomor urut tertentu. Terus kalo gue milih mereka apa? Apa gue dapet tambahan uang jajan gitu? Kuliah gue gratis atau minimal spp dan bop turun? Gue nyaman berangkat ke kampus dengan jalan kaki, ataupun naik sepeda tanpa ada orang nglakson gue dari belakang? Gue dapet bebas menghirup segarnya udara di kampus ataupun di kantin tanpa asap rokok? Gue bisa baca buku di perpus sampe larut malem? Kalo ada yang bisa bikin tuh kampus kayak gitu, gue pilih tu orang, kalo gak ada ngefeknya sama hidup gue di kampus ini mendingan golput aja deh.” Baca juga: Masa Bodoh Politik Kampus

Sangat menarik mencermati perilaku mahasiswa pada akhir tahun. Mahasiswa tiba-tiba saja menghentikan langkahnya sejenak di majalah dinding, di papan pengumuman atau bahkan pertigaan jalan besar lintas kompleks. Sembari mengangguk-anggukan kepala seolah paham apa yang terpampang di sana. Banyak pemandangan menarik di setiap sudut kampus berupa baliho ataupun poster. Kampus semakin semarak dengan warna-warni indah dan desain yang menawan. Janji-janji calon, visi dan misi, jargon-jargon menarik serta rincian program juga telah dipampang secara gamblang.

Memang setidaknya partisipasi pemilih dalam suatu penyelenggaraan pemilihan raya kampus trendnya semakin meningkat setiap tahunnya, namun belum menyentuh 50% mahasiswa aktif di kampus biru ini (UGM -red). Semakin gencarnya kampanye calon, semakin menarik dan beragam media kampanye, di maksudkan untuk menjaring pemilih sebanyak-banyaknya. Hal ini jelas membawa pada angin perubahan yang lebih baik. Suatu hal yang patut disorot adalah terlalu tingginya bahasa-bahasa yang digunakan dalam kampanye. Terlalu melangit dan menyebabkan mahasiswa menjadi sulit mencernanya. Ataupun poster yang kurang mencerdaskan, dengan hanya menampilkan foto calon, yang kita sama sekali tidak kenal atau paham dengan apa yang akan mereka angkat dan tawarkan kepada mahasiswa. Kampanye yang terjadi sekarang lebih bersifat kewajiban yang harus dituntaskan. Kampanye belumlah menjadi kenikmatan untuk menyampaikan edukasi politik yang membuat mahasiswa lain sadar, mengerti, dan paham untuk kemudian memantapkan dirinya menyalurkan hak suaranya.

Berbicara terkait mahasiswa dalam partisipasinya saat pemira, mahasiswa akan cenderung sebagai objek pemira, bukan subjek pemira. Mahasiswa yang menjadi peserta pemira lebih menjadikan mahasiswa lain sasaran kampanye, bukan sebagai partner untuk berkampanye. Karena itulah mahasiswa lain yang bukan peserta pemira bersifat pasif dalam penyelenggaraan pemilihan raya mahasiswa. Mungkin juga mereka mahasiswa yang bukan sebagai peserta tidak mengetahui ada atau tidaknya pemira, pemira dilakukan untuk memilih apa dan siapa, maka wajar mahasiswa yang bukan sebagai peserta pemira melupakan tanggal pemungutan suara untuk kemudian menyalurkan suaranya.

Beberapa terobosan memang diperlukan untuk menigkatkan partisipasi pemilih, maka mulailah muncul ide-ide kreatif yang mengatas namakan ugm. Hal tersebut tentu menarik perhatian masyarakat ugm, namun hal tersebut barulah sebatas di tingkat sosial media hingga poster yang seolah berbicara. Video juga menjadi sarana yang menarik untuk menyebarluaskan ide dan gagasan. Ada hal yang perlu lebih lanjut dilakukan guna merambah semua kalangan mahasiswa, hal yang sangat mungkin dilakukan antara lain melakukan gerakan-gerakan sosial di sekitar lingkungan kampus, menggelar sesi dengar pendapat di setiap kantin, melakukan dialog secara lebih masif kepada para mahasiswa di sudut-sudut strategis kampus. Jelas ini bukan hanya menjadi tugas calon seorang diri, namun lebih ke arah kerjasama sebuah tim.

Rasanya ketika ada mahasiswa yang tidak menyalurkan hak suara pada saat pemira bukan hanya dikarenakan tidak gencarnya Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa menyebarkan informasi, namun juga para peserta pemira yang perlu memikirkan strategi kreatif untuk mendapatkan simpati mahasiswa. Hal ini belumlah cukup, ketika organisasi di setiap fakultas sibuk dengan urusanya sendiri di akhir tahun untuk suksesi internal. Lembaga-lembaga di fakultas memiliki peranan penting untuk menyosialisasikan hajatan pemira di kampusnya. Sebagai kakak angkatan yang lebih senior juga ada peran yang bisa di ambil untuk setidaknya ikut menyebarluaskan even pemira lebih awal, sehinga adik tingkat semakin antusias dan mencoba menggali lebih dalam tentang pemira.

Media massa kampus hendaknya memiliki keterlibatan aktif saat menjelang pemira. Media massa baik tingkat fakultas maupun universitas akan sangat menarik mengangkat tentang pemira menjelang akhir tahun dengan beragam versi sudut pandang. Akan sangat menjadi suatu hal yang akan sangat diminati ketika ada update berita pemira setidaknya rutin seminggu sekali yang di edarkan dalam bentuk selebaran atau buletin khusus. Semuanya pasti akan memakan dana yang tidak sedikit karena memang demokrasi membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ketika semua yang dilakukan atas nama pengabdian dan pembelajaran maka semuanya akan senantiasa berkorban untuk suatu hal yang lebih besar.

Semua itu tidak akan di capai dalam waktu yang instan, diperlukan adanya keberlangsungan secara periodik yang berisikan rangkaian sukses story hasil-hasil pemira yang lampau. Tentunya partisipasi mahasiswa akan terus meningkat seiring semakin kreatifnya cara-cara menyosialisasikan pemira, beragamnya metode kampanye, perumusan program yang kongkrit dan mudah dicerna bagi mahasiswa serta tindakan kongkrit yang dilakukan segenap pihak. Hingga nantinya bukanlah tercetus kata Mendingan Golput Aja Deh berubah menjadi Aku Udah Menyalurkan Hak Suaraku, Kamu?

 

Oleh: Chandra Nur Triwiyanto
Mahasiswa yang sok tau dan sok peduli dengan kampusnya
Facebook