Ibnu Athaillah As Sakandari mengatakan,
“Jika engkau berkeyakinan bahwa engkau sam¬pai kepada-Nya hanya setelah lenyapnya semua keburukanmu dan sirnanya semua hasratmu, maka engkau selamanya tidak akan sampai kepada-Nya. Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-Nya, watakmu dengan watak-Nya. Dia membuatmu sampai kepada-Nya dengan kebaikan yang diberikan-Nya kepadamu, bukan dengan kebaik.”
Banyak sekali dalil agama yang menunjukkan bahwa amal saleh adalah jalan ke surga, sedang amal buruk adalah ja¬lan ke neraka. Allah telah menjanjikan surga naim bagi kaum mukmin dan mengancam orang-orang durhaka dengan neraka jahim. Allah menolak mempersamakan dua kelompok itu dalam balasan, se¬bab itu tidaklah adil.
Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (Q.S. al-Qalam [68]: 34-36).
Allah memberitakan bahwa nikmat yang dirasakan oleh ahli iman yang beramal saleh itu kekal, tidak berubah.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka surga-surga yang penuh kenikmatan. Kekal mereka di dalamnya, sebagai janji Allah yang benar (Q.S. Luq¬mân [31]: 8-9).
Dia memberitakan bahwa orang-orang fasik dan kafir mesti merasakan azab yang menyakitkan.
Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesem¬bahan yang lain beserta Allah. Maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat. Yang menyertai dia berkata (pula), “Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dialah yang berada di ke¬sesatan yang jauh.” Allah berfirman, “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberi¬kan ancaman kepadamu.” Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku (Q.S. Qâf [50]: 24-29).
Ayat-ayat ini, juga ratusan ayat lainnya, menunjukkan de¬ngan jelas bahwa manusia sendirilah yang menentukan tempat kembalinya. Tangannya sendirilah membuat jalan untuk masa depannya. Takdir Tuhan tidak pernah membawa manusia ke negeri pembalasan dalam keadaan hina.
Yang manusia petik di akhirat adalah hasil dari yang mereka tanam di dunia. Kalau ada yang menyatakan pendapat selain pendapat ini, orang itu kalau tidak bodoh tentang Islam pastilah mengada-ada ajarannya.
Akan tetapi, di antara kesempurnaan amal saleh adalah harus sesuai de¬ngan ketentuan dan tidak melampui batasan-batasannya. Orang yang beranggapan bahwa ibadah beberapa tahun di bumi merupakan tiket memperoleh kekekalan di langit, sebenarnya adalah orang yang gegabah. Orang yang mengira bahwa ketaatan yang dipersembah¬kannya begitu bersih dan sempurna, sebetulnya adalah orang yang tertipu. Orang yang menduga bahwa amal-amal wajib dan sunah yang dilakukannya lebih berat dari nikmat-nikmat yang diterimanya di dunia, sesungguhnya adalah orang yang sedang melucu.
Sebenarnya, Allah melihat niat baik dalam hati orang beriman kemudian memaafkan banyak kesalahan yang mereka lakukan secara tak sengaja, memaafkan segenap keterbatasan mereka, dan memperbanyak amal mereka yang tidak seberapa, sebagaimana memperbanyak hasil panen tanaman petani meski benihnya sedikit. Kalau tidak demikian, maka tak se¬orang pun akan merasakan lezatnya keselamatan.
Dan kalau saja bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya ke¬pada ka¬lian, maka Dia selamanya tidak akan menyucikan seorang pun dari kalian, tetapi Allah menyucikan siapa yang dikehendaki-Nya (Q.S. al-Nûr [24]: 21).
Tertipu oleh ilmu yang dimiliki adalah kehinaan yang menjatuhkan nilai amal. Jika seseorang berpinta kepada Allah agar mendekatkannya kepada-Nya atau memperbanyak ganjaran baginya sebab ia merasa telah mengerahkan usa¬ha yang sungguh-sungguh untuk itu, maka sebenarnya ia tidak berhak mendapat se¬suatu yang istimewa di sisi Allah.
Yang harus dilakukan oleh muslim adalah memper¬sembahkan sesuatu kepada Allah seraya mengakui kekurangan dirinya, meyakini bahwa hak Allah sedikit pun tidak bisa ditebus dengan amal terbaiknya, meyakini bahwa kalau saja Allah tidak menyelamatkannya dengan rahmat-Nya, pastilah ia akan binasa. Betapa pun ia telah menyerahkan jiwa dan harta untuk-Nya, itu belum cukup untuk memperoleh ganjaran. Bukankah Dia ada¬lah Pencipta jiwa dan Pemberi harta itu? Jika kemudian Dia memasukkannya ke dalam surga, bukankah itu karunia dari-Nya?
Lihatlah serentetan amal yang engkau lakukan sepanjang usia¬mu. Amal manakah yang luput dari kecacatan nafsu dan bebas dari kekurangan? Kalau amal-amal itu adalah amal orang lain, lalu diberikan kepadamu, tentu kamu tidak akan menerimanya. Seorang mukmin hakiki hanya beramal, tetapi tidak pernah berharap banyak ataupun mengagung-agungkan amalnya.
Barangkali uraian di atas bisa menafsirkan hadis Nabi yang cukup masyhur, “Tak seorang pun yang akan masuk surga dengan amalnya.” Para sahabat berkata, “Tidak juga engkau, wahai Rasu¬lullah?” Nabi menjawab, “Tidak juga aku, kecuali kalau Allah meliputiku dengan rahmat-Nya.” (H.R. al-Bukhârî).
Anehnya, banyak orang memahami larangan berbangga diri sebagai pengguguran nilai amal secara keseluruhan. Sehingga, muncul di benak mereka pemahaman seperti ini; amal tidak me¬masukan pelakunya ke surga, maka tak perlu kita memerhatikan amal ataupun mengerahkan kesungguhan untuk ber¬amal! Mereka memutuskan bahwa amal saleh bu¬kan jalan menuju surga dan surga adalah pemberian Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya, walau orang itu tidak beramal sama sekali. Bahkan, beberapa ahli kalam yang bodoh beranggapan bahwa orang-orang jahat bisa masuk surga dan orang-orang baik masuk neraka.
Itu adalah pemikiran yang mengada-ada, mendustakan Allah dan Rasul-Nya.
Dan itulah surga yang diwariskan kepadamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang sebagiannya kamu makan. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam azab ne¬raka Jahanam. Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa. Dan tidaklah Kami menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (Q.S. al-Zukhruf [43]: 72-76).
Syaikh DR Muhammad Al Ghazali